Ticker

6/recent/ticker-posts

SUMATERA TENGGELAM: BANJIR-LONGSOR 2025 DAN PANGGILAN MENDESAK UNTUK KONSERVASI EKOSISTEM



Oleh Diva Purnama Juwita Mahasiswa Jurusan Biologi Universitas Andalas


Banjir dan longsor yang saat ini melanda Pulau Sumatera merupakan bencana alam dengan dampak kemanusiaan dan ekologis yang sangat signifikan. Dari akhir November hingga awal Desember 2025, beberapa wilayah di Sumatera mengalami curah hujan ekstrem, memicu banjir bandang dan longsor parah, terutama di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Apakah kita telah siap menghadapi bencana berulang seperti ini? Hingga 5 Desember 2025, tercatat 836 jiwa meninggal dunia dan 509 orang hilang, sementara ratusan ribu warga terpaksa mengungsi. Kejadian ini menunjukkan kerentanan tinggi wilayah Sumatera terhadap bencana hidrometeorologi, di tengah tantangan perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang berkelanjutan.

Fenomena banjir dan longsor ini berakar pada masalah ekologis mendalam, khususnya penggundulan hutan dan kerusakan lahan gambut yang luas di Pulau Sumatera. Penebangan liar, alih fungsi lahan untuk perkebunan sawit dan pertambangan, serta pembakaran hutan mengurangi kapasitas tanah dan vegetasi dalam menyerap air hujan. Di Aceh Tamiang dan daerah pegunungan Sumatera Utara seperti Sibolga serta Tapanuli Selatan, longsor menimbun desa-desa dan merusak infrastruktur jalan serta jembatan. Sebagian besar sungai utama meluap, merendam ribuan rumah dan lahan pertanian. Di Sumatera Barat, wilayah seperti Lubuk Minturun di Kota Padang mengalami banjir setinggi 2 meter dengan puluhan korban jiwa, serta ribuan warga kehilangan tempat tinggal. Data BNPB menunjukkan bahwa 570 ribu warga mengungsi akibat bencana ini.

Dari sudut pandang konservasi dan ekologi, bencana ini sangat merusak keanekaragaman hayati yang menjadi ciri khas Pulau Sumatera, sebagai habitat spesies langka dan endemik. Kehilangan hutan tropis menyebabkan hilangnya habitat utama bagi satwa seperti harimau Sumatera, orangutan Tapanuli, serta berbagai spesies burung dan tanaman yang belum sepenuhnya dipelajari. Kerusakan ini tidak hanya memperburuk ancaman kepunahan satwa, tetapi juga mengganggu keseimbangan ekosistem sungai, yang berperan sebagai penahan sedimentasi dan sumber kehidupan bagi masyarakat pesisir melalui ikan migrasi. Ketidakmampuan vegetasi menahan tanah saat hujan deras memicu erosi masif dan sedimentasi sungai, yang selanjutnya meningkatkan risiko banjir dan longsor berulang.

Mahasiswa bidang biokonservasi dan masyarakat umum dapat berkontribusi aktif dalam mengatasi masalah ini. Contohnya, pemantauan daerah aliran sungai melalui teknologi citizen science, pelaporan penggundulan hutan secara real-time, dan edukasi konservasi di masyarakat merupakan langkah praktis yang dapat diambil. Selain itu, kritik terhadap kebijakan yang belum efektif dalam mencegah deforestasi dan alih fungsi lahan perlu disuarakan agar pemerintah memperkuat regulasi dan penegakan hukum. Ini bukan sekadar masalah lingkungan, melainkan isu kemanusiaan yang memerlukan perhatian mendesak.

Solusi jangka panjang untuk mencegah bencana serupa harus fokus pada rehabilitasi ekosistem dan pengelolaan sumber daya alam berbasis sains. Langkah penting meliputi moratorium ketat terhadap konversi hutan dan lahan kritis, penguatan perlindungan hutan lindung, program reboisasi dan agroforestri yang menanam kembali spesies asli seperti meranti dan jelutung yang efektif menahan erosi, integrasi data cuaca BMKG dan peta ekosistem KLHK sebagai dasar perencanaan tata ruang di kawasan rawan bencana, serta pengembangan program konservasi partisipatif yang melibatkan masyarakat sekitar sebagai pengawas dan pelaku restorasi lingkungan, didukung teknologi seperti aplikasi pelaporan deforestasi real-time.

Pendekatan mitigasi bencana ini perlu didukung peningkatan kapasitas institusi lokal dan nasional, khususnya BNPB, serta forum komunikasi antar pemangku kepentingan yang menekankan kesiapsiagaan dan respons cepat saat bencana terjadi. 

Dana darurat harus dialokasikan tidak hanya untuk penanganan korban, tetapi juga pembangunan kembali yang ramah lingkungan dan restorasi ekosistem. Peningkatan kesadaran publik tentang pentingnya konservasi sebagai bagian mitigasi bencana harus terus didorong melalui edukasi, penyuluhan, dan media massa.

 Dengan demikian, pemulihan Sumatera pasca-banjir dan longsor bukan hanya membangun kembali wilayah secara fisik, tetapi juga memperkuat ketahanan alam dan masyarakat dari ancaman bencana masa depan.

Kini saatnya bagi akademisi, praktisi konservasi, dan masyarakat luas untuk bersatu mengedukasi dan mengadvokasi kebijakan pro-lingkungan. 

Dengan korban mencapai ratusan jiwa, ribuan hilang dan mengungsi, tragedi ini merupakan peringatan keras bahwa degradasi lingkungan tidak boleh dibiarkan berlanjut. 

Melalui upaya konservasi terintegrasi, Pulau Sumatera memiliki peluang menjadi model adaptasi dan mitigasi bencana berbasis ekosistem bagi Indonesia dan dunia. 


Saatnya banjir dan longsor tidak lagi menjadi ancaman mematikan, melainkan panggilan untuk menjaga warisan alam lestari bagi generasi mendatang.


Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS