Ticker

6/recent/ticker-posts

Ketika KPK "Dikebiri": Tantangan Memberantas Korupsi di Era Disrupsi Penegakan Hukum



Oleh : Indah Putri Andini


Secara historis, kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada awal milenium menjadi sebuah oase optimisme dalam upaya penegakan hukum di Indonesia, didesain sebagai badan ad hoc dengan kewenangan luar biasa (superbody). Namun, semangat awal tersebut kini dihadapkan pada tantangan signifikan pasca-revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019. Perubahan legislatif ini menciptakan disrupsi mendalam terhadap mekanisme kerja dan independensi institusi. Dua aspek krusial yang paling menonjol dalam pelemahan institusional adalah pembentukan Dewan Pengawas (Dewas) serta perubahan status kepegawaian. Keharusan memperoleh izin Dewas untuk tindakan pro-yustisia seperti penyadapan dan Operasi Tangkap Tangan (OTT), secara faktual telah mengikis elemen kejutan dalam penindakan.

Data kinerja menunjukkan korelasi kuat: pada tahun 2018—sebelum revisi—KPK berhasil melaksanakan 30 kali OTT, namun angka tersebut merosot drastis menjadi hanya 7 kasus pada tahun 2021, mengindikasikan bahwa persyaratan izin telah mengurangi kelincahan respons KPK di lapangan. Disrupsi internal lain terjadi melalui transisi status pegawai menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), yang implementasinya—khususnya melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK)—menyebabkan eksodus personil berpengalaman, termasuk puluhan penyidik dan penyelidik senior. Hilangnya talenta inti ini tidak hanya menciptakan defisit sumber daya manusia (SDM) tetapi juga hilangnya memori institusional terkait penanganan korupsi berskala kompleks.

Pelemahan SDM ini, menurut pengamat hukum, ditafsirkan sebagai upaya terselubung untuk "mengeliminasi" individu berintegritas, yang secara langsung memengaruhi kapabilitas lembaga dalam menjalankan fungsi deterrence. Penurunan efektivitas KPK terjadi di tengah maraknya kasus mega korupsi. Meskipun penegak hukum lain, seperti Kejaksaan Agung, berhasil mengungkap kasus luar biasa seperti Tata Niaga Timah (2015-2022) dengan kerugian yang mencapai ratusan triliun rupiah, serta Korupsi BTS Kominfo (2020-2024) yang melibatkan pejabat tinggi, keberadaan kasus-kasus ini menyoroti bahwa praktik grand corruption tetap merajalela. Hal ini sekaligus menimbulkan pertanyaan reflektif tentang efektivitas koordinasi antarpenegak hukum di tengah isu pelemahan kewenangan KPK.

Transisi regulasi yang termanifestasi dalam UU 19/2019 telah menempatkan KPK pada persimpangan kritis. Data kuantitatif mengenai penurunan operasi penindakan dan isu disrupsi SDM menguatkan opini akademis bahwa telah terjadi degradasi independensi dan kapabilitas operasional lembaga. Untuk mengembalikan momentum pemberantasan korupsi, diperlukan tinjauan kritis dan evaluasi yang jujur terhadap kerangka regulasi yang berlaku, dengan mendesak revisi substansial pada pasal-pasal pelemahan, terutama yang berkaitan dengan fungsi Dewan Pengawas. 

Tanpa penguatan kelembagaan yang independen dan solid, Indonesia berisiko terperosok lebih dalam ke dalam state capture corruption, di mana penegakan hukum anti-korupsi justru tersandera oleh kepentingan politik dan birokrasi yang seharusnya diawasi

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS