Ticker

6/recent/ticker-posts

Sawit vs Hutan: Hijau Semu yang Menipu Mata



Penulis : Chintya Aulia Rizta
Mahasiswa Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas


Hari ini, Anda mungkin merasa sudah peduli lingkungan. Anda memilah sampah, mengurangi plastik, atau menikmati hamparan sawit hijau yang membentang luas. 

Tapi pernahkah Anda berhenti sejenak dan bertanya dari mana hijau itu berasal, apakah pandangan hijau tersebut masih berupa pepohanan rimbun? Dan apa yang hilang dari pemandangan itu? kenyataanya di banyak wilayah Indonesia, pemandangan hijau tersebut merupakan kebun sawit yang lahir dari bekas hutan alam, bukan “hutan baru” seperti klaim yang sering digaungkan.

Beberapa pihak menyebut sawit bisa menyerap karbon, menghasilkan oksigen, dan ramah lingkungan. 

Di atas kertas terdengar masuk akal, namun fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya, hamparan kebun sawit tersebut sebenarnya menutupi kerusakan ekologis yang menghilangkan hutan yang jauh lebih banyak memiliki fungsi. 

Kerusakan ekologis nyata seperti hilangnya habitat satwa, terganggunya kehidupan manusia, dan perubahan iklim yang terasa di banyak daerah.

Hutan alam bukan sekadar pepohonan. Ia adalah jaringan kehidupan kompleks, 

Hutan menampung ribuan spesies, mengatur siklus air, menjaga kesuburan tanah, menyimpan karbon, dan menstabilkan iklim. Fungsi hutan ini tidak mungkin digantikan oleh kebun sawit monokultur yang seragam dan miskin keanekaragaman hayati. 

Satwa liar kehilangan rumah seperti orangutan, gajah, dan banyak hewan lainnya yang terusir, akibatnya hewan tersebut sering masuk ke kebun atau permukiman, menimbulkan konflik.

Data Kementerian Kehutanan menunjukkan deforestasi netto Indonesia pada 2024 mencapai sekitar 175.400 hektare, mayoritas di hutan sekunder, terutama di Kalimantan dan Sumatra. Sebagian lahan hutan kemudian dikonversi menjadi perkebunan, termasuk sawit. Fakta ini menegaskan bahwa mengganti hutan dengan sawit bukan reboisasi, melainkan deforestasi. Fungsi ekologis yang hilang tidak bisa dikembalikan hanya dengan menanam sawit.

Selain hilangnya habitat, ekspansi sawit mempercepat pemanasan global. Hutan menyimpan jauh lebih banyak karbon dibanding sawit saat ditebang, karbon dilepas cepat ke atmosfer. Sawit tidak bisa menyerap karbon sebanyak penyerapan karbon yang dilakukan hutan, sehingga deforestasi mengubah pola cuaca dan meningkatkan risiko banjir, longsor, dan panas yang ekstrem.

Kerusakan hutan juga menimbulkan dampak sosial. Wilayah adat kehilangan tempat hidup, hutan keramat berubah menjadi kebun sawit, sumber pangan dan obat tradisional terkikis, serta nilai budaya perlahan menghilang. Narasi sawit sebagai “hutan baru” menjadi bentuk greenwashing warna hijau menenangkan mata, tapi kerusakan berlangsung sistematis.

Industri sawit memang penting bagi ekonomi nasional, menyerap jutaan tenaga kerja dan devisa. Namun keuntungan jangka pendek tidak boleh dibayar dengan kerusakan jangka panjang. Hutan yang hilang diwariskan kepada generasi mendatang, sementara sawit tidak bisa menggantikan fungsinya, baik secara ekologis maupun sosial.

Melindungi hutan berarti melindungi air, udara, pangan, dan fondasi kehidupan kita. Indonesia masih punya kesempatan untuk memilih jalur yang benar pembukaan hutan harus dibatasi dengan ketat, wilayah adat dijamin perlindungannya, dan industri sawit bertanggung jawab. Perlawanan tidak selalu berarti turun ke jalan bisa dimulai dari kesadaran, memahami fakta, dan menyuarakan kebenaran.

Pilihan ada di tangan kita terus terbuai oleh hijau semu yang menipu mata, atau menjaga hijau sejati yang menopang kehidupan. Sawit mungkin tetap memiliki peran dalam perekonomian, tetapi satu kebenaran tidak bisa ditutup-tutupi sawit bukan hutan. 

Mengganti hutan dengan sawit adalah deforestasi, bukan reboisasi. Melindungi hutan adalah investasi nyata bagi bumi, masyarakat, dan generasi mendatang. 

Mulailah peduli sekarang, sebelum alam memberi peringatan yang tak bisa diabaikan.


Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS