Penulis : Alya Risyda Afifah Mahasiswa Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas
Sering kali kita menyalahkan hujan sebagai penyebab banjir bandang dan tanah longsor. Akan tetapi, apakah benar curah hujan yang tinggi tersebut menjadi kambing hitam? Atau justru malah tangan-tangan manusia yang menebangi hutan tanpa kendali, membuka lahan tanpa perhitungan, serta membiarkan lereng gundul hingga tak mampu lagi menahan aliran air? Bencana ekologis yang terjadi beberapa minggu lalu terutama di Sumatera Barat seharusnya menjadi peringatan keras: alam sedang mengembalikan apa yang telah kita rusak selama ini.
Kerusakan hutan di berbagai wilayah Sumatera bukanlah merupakan isu baru. Dalam satu minggu terakhir, tekanan terhadap ekosistem hutan meningkat drastis akibat pembalakan liar, ekspansi perkebunan, hingga pembangunan infrastruktur yang tidak memperhatikan daya dukung terhadap lingkungan. Pada kondisi alami, hutan berfungsi sebagai sistem penyangga yang sangat kuat, seperti akar pohon yang menyimpan air, memperkuat struktur tanah, dan mengatur aliran permukaan. Akan tetapi, ketika hutan digunduli, tanah akan kehilangan perisai utamanya. Lereng-lereng bukit yang sebelumnya stabil akan berubah rapuh dan mudah runtuh. Ketika curah hujan tinggi, air tak lagi meresap kedalam tanah, akan tetapi akan mengalir deras membawa lumpur, batu, bahkan banyaknya batang pohon sisa tebangan. Hal seperti ini akan mengakibatkan banjir bandang seperti yang terjadi di Sumatera Barat.
Pembalakan liar seperti ini bukan hanya soal penebangan pohon secara ilegal, tetapi akan mencerminkan hilangnya pengawasan, dan rendahnya kesadaran ekologis masyarakat. Banyak Kawasan-kawasan lindung di Sumatera menjadi target karena nilai ekonomi kayu yang tinggi.
Kerugian ekologis yang ditimbulkan jauh lebih besar dari pada keuntungan ekonomi yang didapatkan dalam jangka pendek tersebut. Kerusakan hutan menghasilkan bencana yang berulang yang dapat memakan biaya rehabilitasi, kerusakan rumah, hilangnya pencaharian masyarakat, hingga korban jiwa. Banjir bandang yang terjadi beberapa minggu lalu membawa material kayu gelondongan dalam jumlah besar membuktikan bahwa pembalakan liar masih berlangsung di hulu. Kayu-kayu inilah yang dapat menyebabkan sungai menyumbat, meningkatkan tekanan air, dan memperparah kebanjiran.
Banjir bandang dan tanah longsor bukan hanya sekadar fenomena alam, keduanya merupakan bencana ekologis yang dapat diprediksi dari perubahan lanskap di hulu. Ketika tutupan hutan berkurang drastis, perubahan kecil seperti pada intensitas hujan pun dapat memicu bencana seperti banjir dan longsor. Di Sumatera Barat seperti daerah yang berada di antara lereng curam dan lembah sempit sangat bergantung pada kestabilan hutan pegunungan. Ketika pohon-pohon hilang, disitulah tanah tidak mampu lagi untuk menyerap air, debit sungai meningkat begitu cepat, dan struktur lereng menjadi tidak stabil seperti semula. Banjir bandang yang terjadi di Sumatera Barat minggu lalu mengalir dengan deras, membawa material besar dan juga menghantam permukiman tanpa sempat memberi ruang bagi warga untuk menyelamatkan barang berharga dan termasuk menyelamatkan diri. Bencana ini merupakan hasil kolaborasi tragis antara curah hujan yang sangat tinggi dan kerusakan lingkungan yang berlangsung selama bertahun-tahun.
Pasca bencana, upaya rehabilitasi hutan seringkali dilakukan, tetapi tanpa pengawasan yang ketat, kerusakan serupa akan terulang kembali. Reboisasi hanyalah solusi jangka panjang, sementara pembalakan liar bisa terjadi setiap hari. Pemerintah daerah, aparat hukum, hingga masyarakat adat memiliki peran penting dalam menjaga ekosistem hulu agar tetap stabil. Di sisi lain, masyarakat perlu memahami bahwa bencana tidak muncul secara tiba-tiba. Hasil dari satu pohon yang ditebang hari ini mungkin baru terasa beberapa tahun kemudian seperti dalam bentuk banjir bandang atau tanah longsor. Ketika lingkungan telah rusak, yang paling dirugikan adalah masyarakat itu sendiri. Karena itu, keberlanjutan ekosistem harus menjadi prioritas bersama, bukan wacana tahunan yang hanya muncul ketika bencana datang.
Hutan adalah benteng terakhir yang melindungi kita dari bencana. Ketika benteng itu diruntuhkan oleh tangan manusia itu sendiri, kita tidak bisa lagi hanya menyalahkan curah hujan yang tinggi. Hutan bukan hanya sekedar kumpulan pohon-pohon, hutan juga merupakan penjaga keselamatan manusia. Selama pembalakan liar, deforestasi, dan pengelolaan lahan yang serampangan masih dibiarkan, maka bencana hanya tinggal menunggu waktu. Kita tidak bisa terus berharap alam dapat memaafkan secara terus-menerus kerusakan yang kita lakukan, karena dari bencana yang terjadi ini merupakan peringatan keras bahwa alam memiliki batas kesabaran.
Jika kita tidak segera menghentikan pembalakan liar, dan memulihkan hutan, maka bencana akan menjadi cerita berulang yang dapat memakan korban lebih banyak lagi. Saatnya berhenti untuk menyalahkan hujan, dan mulai memperbaiki diri. Sebab, menyelamatkan hutan berarti kita juga dapat menyelamatkan kehidupan kita sendiri.






























0 Comments