Oleh : Aulia Nurul Zuhri mahasiswa Biologi universitas Andalas Padang
"Kita adalah satu-satunya spesies yang telah merusak planet ini dan satu-satunya spesies yang dapat membersihkannya."
Di sudut hutan belantara Sumatra yang kian menyusut, sebuah bunga raksasa tanpa akar yang menopangnya juga tanpa daun yang memberi hijaunya, mekar dengan kilauan mata merah dengan aroma khas bak putri tidur didalam dongeng. Hanya dalam hitungan beberapa hari waktu yang singkat untuk melihatnya membuka tajuk, memberikan rintihan pada setiap geraknya ini seperti salam perpisahan dalam keheningan hutan Sumatera.
Rafflesia hasselti memberi pesan “Lihat aku dengarkan aku. Jaga aku jaga hutanku.”
Apa makna sesungguhnya yang ingin diberitahu oleh sekumtum bunga raksasa yang hanya mekar dalam waktu singkat ini dalam hitungan setahun? Bagi kita, mungkin hanya sekedar pemandangan langka nan indah memberikan moment takjub bak keajaiban dunia.
Namun, bagi para ilmuwan dan aktivis pelestarian lingkungan momen ini bagai peringatan adanya indikator vital mengenai kesehatan hutan.
Tapi kita luput akan keresahan yang diberikan dibalik keindahannya, ini alarm pertanda gentingnya ekosistem yang kehilangan daya tahan, terkoyaknya paru-paru bumi menuntut perhatian dari kita semua.
Rafflesia bukan bunga biasa ia sering dijuluki bunga penuh teka – teki. Ia tumbuh tersembunyi sebagai parasit sejati yang hidup sepenuhnya pada inang bernama Tetrastigma. Tanpa inang itu, ia tidak mungkin tumbuh. Tanpa kelembapan hutan, ia tidak bisa bertahan. Tanpa kegelapan lantai hutan, knopnya akan mati sebelum mekar. Karena itu, setiap kali Rafflesia mekar, itu berarti satu hal yang perlu ditekankan : hutan masih bekerja. Siklus alami keseimbangan cahaya, kelembapan, jejaring organisme yang masih utuh, hingga mikrohabitat yang nyaris tidak tersentuh, semua turut mendukung proses mekarnya bunga ini.
Tetapi apa jadinya bila hutan terus ditebangi?
Apa jadinya bila rajutan erat yang mengikat seluruh organisme mulai putus satu per satu?
Jawabannya ada pada rintihan bunga itu sendiri: “Aku mekar karena hutan masih bernapas. Jika hutanmu hilang, aku ikut hilang.”
Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika seorang pakar konservasi pernah menegaskan:
“Rafflesia bukan sekadar bunga; ia adalah pesan ekologis.”
Pesan inilah yang harus kita tanggapi, sebab ia kian hari kian mendesak untuk dipahami dan ditindaklanjuti.
Sumatera pernah menjadi salah satu pulau dengan tutupan hutan tropis paling megah di dunia. Beberapa periode terakhir Sumatera mencatat angka kehilangan hutan yang mengkhawatirkan. Kini, sebagian besar wilayah hutannya berubah dalam sekejap mata untuk pertanian dan perkebunan skala besar, pembangunan infrastruktur, daerah tambang dan pembukaan hutan telah secara drastis menyempitkan ruang hidup bagi berbagai flora dan fauna. Rafflesia, yang amat bergantung pada kualitas hutan primer atau hutan sekunder yang lestari, menjadi salah satu spesies yang paling rentan.
Habitat Rafflesia itu tidak fleksibel, ia tidak bisa hidup berdampingan dengan sawit, tidak bisa hidup di kualitas hutan primer dan sekundernya yang rusak, ia juga tidak bisa bertahan di rawa- rawa buatan atau lahan bekas tebangan apalagi daerah yang digerus terus – menerus untuk tambangan. Inang yang sebagai penopangnya hidup bisa hilang beserta juga dirinya. Logikanya sederhana, namun dampak ekologisnya bersifat fatal.
Pada akhirnya, setiap mekarnya Rafflesia sang bunga raksasa bukan hanya berita baik, tetapi juga konfirmasi bahwa sisa-sisa hutan kita masih mampu bernapas walau mungkin dengan perjuangan yang berat. Itulah mengapa ketika stabilitas itu hilang, bunga raksasa ini perlahan menghilang dari peta.
Fenomena kemunculan Rafflesia seringkali menarik perhatian besar dari wisatawan maupun masyarakat. Hal ini bisa menjadi positif asalkan kunjungan dikelola dengan benar. Ada juga di banyak lokasi, justru komunitas lokal lah yang bertindak sebagai garda terdepan dan penjaga paling setia bagi lokasi tumbuh Rafflesia. Namun, tanpa manajemen dan edukasi yang memadai, antusiasme pengunjung yang membludak dapat memicu ancaman: penginjakan yang merusak, akumulasi sampah, hingga pemadatan tanah yang membahayakan inang di sekitarnya.
Mahatma Gandhi pernah menyampaikan peringatan ini:
“Alam punya cukup untuk kebutuhan manusia, tetapi tidak untuk memenuhi keserakahan manusia.”
Karena alasan beberapa hal yang membuat kita kurang paham terhadap bunga raksasa ini kita sampai tidak menyadari bahwa Rafflesia semakin jarang ditemui, seperti penemuan Rafflesia hasselti setelah dilakukan pencarian selama 13 tahun di hutan Sumatera, alasan lainnya banyak lokasi yang sudah hilang setelah ia mekar, dan sedikitnya populasi yang masih sehat. Dari berita mekarnya bunga raksasa inilah kita bisa berfikir sejenak mengingat apakah kita sedang menikmati satu demi satu keajaiban alam yang akan hilang.
Di titik ini, bunga itu seperti berbisik lebih keras:
“Jangan hanya kagumi aku. Peluk hutanku.”
Melindungi Rafflesia tidak akan berhasil jika kita hanya berfokus pada bunganya saat mekar namun kita harus berfokus utama adalah pada habitatnya, apa yang diberikan dan dijalankan oleh alam secara alami sehingga Rafflesia dapat tumbuh dan mekar.
Filsuf Albert Einstein pernah berujar:
“Kita tidak bisa menyelesaikan masalah dengan menggunakan pola pikir yang sama yang menciptakan masalah itu.”
Prinsip ini berlaku bagi konservasi yang bukan hanya tugas ilmuwan, siswa biologi, atau pemerintah, tetapi kerja kolektif seluruh masyarakat. Ketika hutan hilang, otomatis itu akan berdampak juga pada kita seperti kehilangan sumber air, perlindungan banjir, udara bersih, keanekaragaman hayati, dan potensi ekonomi jangka panjang. Rafflesia hanyalah satu dari sekian banyak korban diam.
Rafflesia adalah simbol bukan hanya dari alam Indonesia, tetapi dari hubungan rapuh kita dengan hutan. Ia mengingatkan bahwa setiap keajaiban alam tidak hadir sendirian, tetapi bergantung pada keseluruhan sistem ekologis. Rafflesia adalah nyawa yang kita miliki, dari warisan hutan para leluhur, keduanya bak serentak mengeluarkan rintihan agar kita bertindak.
Kelak mungkin anak-anak kita bertanya, “Mengapa bunga raksasa itu tidak pernah mekar lagi?” Ketika hari itu tiba, jawaban kita tidak boleh berupa penyesalan tanpa ujung tidak hanya merenungi yang telah hilang dan luput. Rafflesia hasseltii telah berbisik berulang kali melalui mekarnya yang singkat: “Jaga aku, jaga hutanku.”
Jika kita ingin menikmati keajaiban fenomena ini terus ada sampai puluhan tahun lagi di masa dapan maka sudah menjadi kewajiban kita untuk memastikan itu akan terjadi kita pastikan hutan itu akan tetap kokoh di tempatnya. Jangan biarkan ketidakseimbangan hutan terganggu lagi. Sebab, tanpa hutan yang sehat, mustahil ada Rafflesia. Dan tanpa Rafflesia, hilang satu lagi bukti tak terbantahkan betapa istimewanya keanekaragaman hayati Indonesia. Kini tugas kitalah untuk menjadikan rintihan bunga raksasa itu sebagai seruan bersama agar hutan Sumatera tetap berdiri, dan keajaiban bunga raksasa itu terus dapat dilihat, dirayakan, dan dijaga oleh generasi mendatang.
Akhir kata, Pramoedya Ananta Toer pernah menulis:
“Selama manusia tidak merawat yang ia miliki, ia akan hilang dari sejarah.”
Semoga kita semua memilih untuk tercatat dalam sejarah sebagai generasi yang gigih menjaga warisan alam ini, bukan sebagai generasi yang membiarkannya punah.
































0 Comments