Ticker

6/recent/ticker-posts

Politik Lingkungan dan Banjir Sumatera Barat: Antara Kepentingan dan Keselamatan Rakyat

 


Oleh : tri indah sjafitri , mahasiswa departemen ilmu politik, fakultas ilmu sosial dan ilmu politik, Universitas Andalas 



Banjir yang terus datang tiap tahun di Sumatera Barat sebenarnya bukan hal baru lagi. 

Orang-orang di Padang, Solok, Pesisir Selatan, Agam, sampai Padang Pariaman sudah terlalu sering menghadapi rumah terendam, jalan putus, dan aktivitas yang tiba-tiba berhenti karena air naik.

 Banyak yang bilang ini cuma “musibah alam”, tapi kalau dipikir-pikir, penyebabnya nggak sesederhana itu. 

Ada banyak keputusan yang diambil bertahun-tahun lalu—mulai dari pembukaan hutan, izin lahan, sampai pembangunan yang nggak mikirin kondisi tanah—yang akhirnya bikin banjir makin parah (Kompas, 2024).

     Salah satu masalah paling besar itu kerusakan hutan di daerah hulu. 

Dulu, banyak kawasan di Sumbar yang masih hijau dan rapat. Tapi sekarang, sebagian sudah berubah jadi kebun, permukiman, atau lahan pertanian yang dikelola seadanya. Begitu pohon hilang, tanah jadi keras dan nggak bisa lagi menahan air. 

Jadi waktu hujan deras, air langsung lari ke sungai. Sungai-sungai besar kayak Batang Kuranji, Batang Arau, dan Batang Anai akhirnya gampang banget meluap. 

Menurut saya, ini bukti kalau alam itu punya batas, dan kalau batas itu dilewati, ya kita sendiri yang kena akibatnya.

     Selain kerusakan hutan, persoalan tata ruang juga jadi masalah besar. Banyak daerah yang seharusnya jadi tempat air meresap malah dibangun rumah, ruko, atau proyek lain. Contohnya di Padang, pembangunan di kawasan Khatib Sulaiman dan Siteba itu cepat banget. Bagus sih buat ekonomi, tapi dampaknya air hujan jadi nggak punya tempat buat masuk ke tanah.

 Jadinya ya langsung ngumpul di jalan dan bikin banjir meskipun hujan cuma sebentar (Tempo, 2025). Menurut saya, ini contoh nyata gimana pembangunan yang nggak direncanakan dengan baik bisa bikin masalah baru.

     Urusan izin lahan juga nggak kalah penting. Banyak izin yang dikeluarkan tanpa kajian lingkungan yang benar-benar matang. Pemerintah daerah kadang terjebak antara ingin menarik investor dan harus menjaga lingkungan. Tapi seringnya, yang menang itu kepentingan ekonomi. Ada izin yang tumpang tindih, ada perusahaan yang buka lahan melebihi batas, dan ada juga pengawasan yang cuma formalitas. Kalau izin bisa keluar tanpa pertimbangan jangka panjang, ya wajar kalau banjir makin sering terjadi (Mongabay, 2023).

     Di beberapa daerah seperti Solok Selatan dan Pesisir Selatan, aktivitas tambang juga bikin kondisi makin buruk. Banyak tambang yang buka lahan di dekat sungai atau di lereng bukit yang rawan longsor. Begitu hujan turun, tanah yang gundul gampang banget hanyut dan masuk ke sungai. Sungai yang makin dangkal otomatis lebih cepat meluap. Ada laporan yang bilang kalau tingkat sedimentasi di beberapa sungai naik drastis dalam lima tahun terakhir karena tambang ilegal (CNN Indonesia, 2024). Ini bukan cuma soal banjir, tapi juga soal bagaimana lingkungan diperlakukan tanpa mikirin dampaknya.

     Yang paling kasihan tentu masyarakat kecil. Mereka yang nggak pernah ikut merusak hutan atau buka tambang justru yang paling menderita. Rumah mereka terendam, barang-barang rusak, anak-anak nggak bisa sekolah, dan usaha kecil-kecilan terhenti. Banyak yang harus ngungsi berhari-hari tanpa tahu kapan bisa pulang. Di beberapa tempat, banjir juga merusak sawah dan ladang, bikin petani kehilangan penghasilan. Ini bentuk ketidakadilan lingkungan yang sering terjadi di banyak daerah.

     Selain dampak langsung, banjir juga bikin ekonomi Sumatera Barat terganggu. Jalan yang putus bikin distribusi barang terhambat. Pariwisata yang jadi andalan daerah juga ikut kena. Wisatawan jadi takut datang karena daerahnya dianggap rawan bencana. Pelaku usaha kecil yang bergantung pada wisata pun ikut merasakan dampaknya. Kalau kondisi ini terus berulang, Sumbar bakal terus terjebak dalam siklus bencana yang sama tiap tahun (The Jakarta Post, 2025).

     Nah, kalau kita lihat lebih jauh, semua masalah ini sebenarnya sangat berkaitan dengan cara sistem politik Indonesia bekerja. Mulai dari proses perizinan, tata ruang, sampai pengawasan lingkungan, semuanya diatur lewat kebijakan politik. Pemerintah daerah dan pusat punya peran besar dalam menentukan apakah sebuah kawasan boleh dibuka, apakah tambang boleh beroperasi, dan apakah pembangunan tertentu layak dijalankan. Di sinilah politik sering ketemu dengan kepentingan ekonomi. Ketika keputusan lebih banyak dipengaruhi oleh tekanan investor atau kepentingan kelompok tertentu, dampaknya langsung terasa ke masyarakat. Jadi menurut saya, banjir di Sumbar bukan cuma soal alam atau cuaca, tapi juga hasil dari bagaimana kebijakan dibuat, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang akhirnya harus menanggung akibatnya.

     Kalau mau banjir di Sumatera Barat berkurang, politik lingkungan harus berubah. Kebijakan harus benar-benar mikirin keselamatan masyarakat, bukan cuma keuntungan jangka pendek. Pemerintah daerah perlu memperketat izin, memperkuat pengawasan, dan memastikan setiap pembangunan punya analisis dampak lingkungan yang jelas. 

Masyarakat juga harus dilibatkan dalam keputusan yang menyangkut lingkungan mereka. Pembangunan itu penting, tapi jangan sampai bikin alam rusak dan nyawa orang terancam.


Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS