Ticker

6/recent/ticker-posts

Bencana Banjir Sumatera 2025: Peringatan Keras dari Alam atas Keserakahan Manusia

Penulis : M. Rafa Viandra Kafabi Universitas Andalas
Email : 


Akhir November 2025 menjadi mimpi buruk bagi masyarakat di Pulau Sumatera. Hujan deras yang tak henti-hentinya selama berhari-hari memicu banjir bandang dan tanah longsor yang melanda tiga provinsi utama: Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.


Wilayah seperti Sibolga, Tapanuli, Pesisir Selatan, dan Gayo Lues menjadi saksi bisu kehancuran yang luar biasa. Menurut data terbaru dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga 3 Desember 2025, korban meninggal mencapai 753 jiwa, dengan 650 orang masih hilang dan lebih dari 2.600 terluka. Lebih dari 3,3 juta jiwa terdampak, sementara ratusan ribu orang mengungsi di tengah rusaknya ribuan rumah, jembatan, dan fasilitas umum.

Dampak kerusakan material akibat banjir bandang di Kecamatan Malalak, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Bencana ini bukan semata-mata ulah alam. Penyebab utamanya adalah kombinasi cuaca ekstrem dari Siklon Tropis Senyar, yang diperburuk oleh degradasi lingkungan akibat ulah manusia. Hutan-hutan di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) telah rusak parah akibat deforestasi masif: antara 2016-2024, sekitar 1,4 juta hektare hutan hilang karena pertambangan ilegal, perkebunan kelapa sawit, dan proyek infrastruktur seperti PLTA Batang Toru.Curah hujan hingga 300 mm sehari, yang seharusnya diserap oleh hutan, malah menjadi limpasan air yang destruktif, menyebabkan erosi dan banjir bandang. Ini adalah “dosa ekologis” yang telah lama diabaikan, di mana izin tambang mencapai 1.907 unit seluas 2,45 juta hektare, meninggalkan tutupan hutan alam di bawah 30% di DAS kritis.

Dampaknya sungguh menghancurkan. Di Aceh, korban meninggal mencapai 277 orang di Sumatera Utara 299 dan di Sumatera Barat 200. Infrastruktur lumpuh 295 jembatan putus, ratusan sekolah dan rumah ibadah rusak, serta wilayah seperti Mandailing Natal terisolasi total. Kerugian ekonomi diperkirakan mencapai Rp 68,6 triliun, belum termasuk trauma psikologis bagi jutaan warga yang kehilangan rumah dan keluarga. Potret satelit menunjukkan perubahan dramatis: daratan hijau berubah menjadi lautan lumpur.

Potret banjir dan longsor yang melanda wilayah Sumatera, menunjukkan kerusakan luas pada permukiman dan vegetasi.

Respons pemerintah patut diapresiasi, meski terlambat. BNPB telah mendistribusikan bantuan darurat seperti sembako, tenda, dan dapur umum yang memproduksi 100 ribu bungkus nasi per hari. TNI AU mengerahkan pesawat untuk suplai ke daerah terpencil, sementara Wakil Presiden Gibran Rakabuming secara langsung mengunjungi lokasi pada 4 Desember 2025 untuk memantau penanganan. Bantuan internasional datang dari Malaysia dan Jepang, termasuk tim medis dan pemantauan kerusakan. 

Di media sosial, inisiatif donasi dari warga seperti “Warga Bantu Warga” melalui QRIS BCA telah mengumpul dana untuk korban. 9 Namun, mengapa bencana sebesar ini belum ditetapkan sebagai Darurat Nasional? Desakan untuk itu semakin kuat, agar korban mendapat hak perlindungan penuh, termasuk rekonstruksi dan pemulihan psikososial.

Bencana ini harus menjadi momentum perubahan. Pemerintah perlu segera evaluasi izin tambang dan kehutanan, seperti yang diinstruksikan Menteri Kehutanan dan ESDM. 

Kita tak boleh lagi mengorbankan alam demi keuntungan sesaat.


Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS