Ticker

6/recent/ticker-posts

Pepatah Terbalik di Hutan Sumatra: Tak Ada Rotan, Akar Pun Hilang Akibat Penggundulan Massal

Najwa Tasyah Riyono (2310421002) Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas



 Tak ada rotan akar pun jadi, seperti itulah pepatah seharusnya, ironisnya berdasarkan peristiwa banjir yang terjadi di pulau Sumatra belakangan ini pepatah ini tak dapat lagi bermakna sama. Banjir yang melanda 3 provinsi di wilayah pulau Sumtara ini yaitu Provinsi Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat adalah bukti dari kegagalan manusia menjaga alam. 

Praktik penerbangan liar ilegal ini menghabiskan sumber daya hutan hingga ke akar-akarnya, memicu banjir bandang dan longsor mematikan di beberapa wilayah di Sumatra pada akhir 2025. Fenomena ini menyoroti kegagalan pengelolaan lingkungan yang mengancam ekosistem dan kehidupan masyarakat. Peristiwa banjir yang terjadi diyakini oleh pemerintah sebagai bentuk dari iklim ekstrim saja, namun banyak bukti-bukti dari alam itu sendiri bahwasanya hal ini tidak murni dari iklim ekstrim saja.

 Sejumlah wilayah yang diterjang banjir dan longsor di Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat masih ada yang terisolir karena sulitnya akses menuju lokasi banjir. Di Sumatra Barat ada jalan yang terputus, sementara di Aceh ada empat kabupaten yang saat ini masih terisolir usai dilanda banjir. Sedangkan di Sumatra Utara, juga banyak jalan yang terputus dan medan yang berat untuk dilalui jika melakukan evakuasi pada korban terdampak. Pada akhirnya masyarakat di wilayah Sumatra Utara terpaksa melakukan segala upaya untuk dapat bertahan hidup, seperti di Sibolga baru-baru ini masyarakat menjarah sejumlah tempat, seperti minimarket dan gudang bulog. Hal ini terpaksa dilakukan karena pasokan makanan dan minuman warga sudah habis. Dampak banjir yang tak terbayangkan ini menjadi masalah yang menimbulkan berbagai kekacauan dan tangis pilu bagi mereka yang menjadi korban banjir. Bencana alam banjir ini sampai saat ini masih belum ditetapkan sebagai bencana nasional dengan jumlah korban saat ini per tanggal 8 Desember 2025 menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan, total korban meninggal dunia akibat banjir mencapai 929 orang hingga senin pagi.

 Setelah banjir ini mereda banyak ditemukan potongan kayu gelondong yang menumpuk di muara sampai ke bibir pantai, seperti di pantai Purus Padang Sumatra Barat. Potongan kayu ini seakan berbicara tentang tangan-tangan manusia yang melakukan penggundulan hutan. Namun, kondisi ini nyatanya tak membuka mata mereka yang menjadi penyebab peristiwa ini terjadi. Banyaknya kayu-kayu yang terbawa arus banjir menimbulkan reaksi heran dari masyarakat, tidak mungkin pohon-pohon yang memiliki akar kuat bisa roboh hanya karena terjangan air saja, potongan kayu nya pun tampak rapi untuk dikatakan bahwa itu kejadian alami tanpa campur tangan manusia. Bahkan selang dua hari saja pasca banjir melanda sejumlah provinsi tersebut, melintas sebuah truk yang mengangkut kayu dari hasil peggundulan hutan. Bahkan seorang relawan di Sumatra Utara menemukan sejumlah kayu gelondongan yang terseret arus banjir dan memiliki nomor identifikasi. Temuan ini memicu perhatian publik karena diduga berkaitan dengan aktivitas penebangan dan pengangkutan kayu di hulu.

 Bencana banjir yang terjadi ini tentu bukan sekedar soal hujan, ini akibat dari sebuah kebijakan yang lemah dan keserakahan dari orang yang berkepentingan. Praktik Ilegal penebangan liar membebaskan hutan ditebang tanpa kontrol. Lereng dibiarkan botak dan sungai-sungai makin dangkal. Tak ada solusi dibalik semua ini, hingga akhirnya alam itu sendiri yang menghantarkan barang bukti dari semua peristiwa penebangan liar yang terjadi. Dampak ekologis dari hilangnya akar hutan juga berimbas pada siklus air lokal. Akar yang menahan air tanah membantu menjaga kelembaban hutan dan wilayah sekitarnya. Saat akar-akar ini hilang, distribusi dan penyerapan air terganggu, menyebabkan berkurangnya cadangan air tanah dan meningkatnya frekuensi banjir saat musim hujan. Kekeringan berkepanjangan pun kian menjadi ancaman saat musim kemarau, mengancam sumber kehidupan masyarakat.

 Upaya konservasi dan penghijauan di beberapa wilayah hutan Sumatra harus ditingkatkan untuk mengembalikan fungsi hutan yang telah rusak. Penanaman kembali pohon dan rotan serta perlindungan habitat alami menjadi langkah penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Pemerintah dan organisasi lingkungan diharapkan mampu mengimplementasikan kebijakan yang tegas terhadap praktik perusakan hutan secara ilegal.Partisipasi masyarakat lokal dalam menjaga kelestarian hutan juga sangat krusial. Pendekatan pemberdayaan masyarakat berbasis pemahaman ekologis dapat menguatkan kesadaran dan tanggung jawab mereka sebagai penjaga hutan. Edukasi terkait pentingnya akar pohon dan fungsi ekologisnya diharapkan mampu mengubah pola pikir yang sempat terkesan mengabaikan keberlanjutan lingkungan.

 Hutan yang telah gundul harus kembali ditanami pohon-pohon. 


Melihat kondisi ini, upaya restorasi dan reboisasi menjadi sangat mendesak. Restorasi harus bersifat ekologis, yaitu mengembalikan keanekaragaman hayati asli dan struktur hutan yang kompleks agar fungsi penyangga ekosistem dapat pulih, sebuah proses yang membutuhkan waktu puluhan, bahkan ratusan tahun. Jika masalah ini diabaikan hingga berlarut-larut maka, akan terulang kembali bencana besar yang menimpa pulau Sumatra ini. Akibatnya banyak orang-orang tak bersalah dibalik praktik ilegal ini turut menjadi korban dari penggundulan hutan.


Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS