Ticker

6/recent/ticker-posts

NEGARA YANG MENGELAK KETIKA ALAM SUMATERA MENGUNGKAP KEBENARAN YANG TIDAK MAU DIAKUI


Oleh :  Sarah Nur Azizah. Mahasiswi Biologi Universitas Andalas


Bencana di Sumatera bukan hanya peringatan dan tanda dari alam, tetapi juga pengadilan yang mengekspos kebohongan dan kebengisan negara. Setiap potongan kayu yang menghantam rumah warga adalah bukti materi, yang tidak dapat disangkal, bahwa ada penebangan hutan skala besar yang terjadi di hulu. Namun sekali lagi, pemerintah memilih untuk berbohong. Mereka bersembunyi di balik kalimat aman: "Ini murni disebabkan oleh hujan ekstrem." Waww Padahal kita semua tahu, hujan tidak pernah memotong kayu dengan gergaji. Dan alam tidak mengirimkan balok-balok kayu dalam jumlah besar kecuali ada tangan manusia yang telah merobohkan pohon-pohon itu terlebih dahulu.

Ketika pejabat muncul di layar media, wajah mereka yang sudah menua, mereka berbicara dengan nada pemikiran yang seolah-olah bijak dan dewasa, tetapi kosong. Mereka berbicara seolah mengerti kondisi dan realitas yang dirasakan rakyat. Mereka berbicara tentang koordinasi, mitigasi, regulasi, dan semua istilah indah seolah-olah mereka sedang membaca buku pedoman. Mereka tidak berada di lapangan ketika banjir bandang datang, membawa balok-balok besar yang menghancurkan dan merenggut nyawa di sebuah rumah. Mereka tidak melihat bagaimana sebuah desa terendam di bawah lumpur hitam yang mengandung potongan-potongan sejarah kayu yang hilang. Mereka terlalu jauh dari kenyataan untuk merasakan konsekuensi dari izin yang telah mereka tanda tangani selama lebih dari beberapa dekade.

Anak muda marah dan kemarahan itu dibenarkan. Kami generasi muda inilah yang akan hidup paling lama dengan konsekuensi dari keputusan generasi tua yang semakin memburuk. Mereka merusak hutan, dan kami ditinggalkan tanpa air bersih. Mereka membuka izin penambangan baru, dan kami menghadapi longsor setiap musim hujan. Mereka menghancurkan ekosistem sungai, dan kami mewarisi konsekuensi dari konflik satwa liar, dan krisis pangan yang semakin memburuk, dan lainnya. Mereka mungkin telah merampas masa depan tanpa berpikir, tetapi kami adalah yang ditinggalkan dengan masa depan yang panjang.

Kami telah mulai memahami bahwa bagi pemerintah, bencana hanyalah lebih banyak laporan dan grafik. Bagi kami, bencana adalah kenyataan pahit yang akan mendefinisikan masa depan kami. Kami telah melihat hutan Sumatera menyusut setiap tahun. Kami telah melihat sungai berubah warna, satwa liar kehilangan habitat mereka (dan) desa-desa tersapu oleh banjir yang telah diprediksi tetapi seharusnya dapat dicegah. Ketika mereka menyangkal fakta, mereka tidak hanya mengabaikan kenyataan. Kami tidak hanya kehilangan hutan. Kami kehilangan kepercayaan.

Hal yang paling menyakitkan adalah bagaimana negara terus menolak untuk mengakui bahwa ada industrialisasi yang tidak diatur yang menjadi inti dari masalah ini. Negara menolak untuk mengakui bahwa izin penambangan dan kelapa sawit adalah yang membuka jalan untuk deforestasi. Negara menolak untuk mengakui penegakan hukum yang lemah dan korupsi dalam perizinan yang terus berkembang. Negara menolak untuk mengakui bahwa ratusan ribu hektar hutan hilang akibat kebijakan mereka. Dan negara menolak untuk mengakui bahwa kayu-kayu yang tersisa setelah banjir bukanlah "sampah bencana alam", tetapi adalah bukti dari kejahatan ekologi.

Sumatera tidak bisa berbohong, sungai-sungai yang mengamuk bukan hanya membawa air tetapi juga membawa sejarah panjang dari pengabaian. Kayu-kayu yang dibawa pergi bukan hanya sisa-sisa hutan, tetapi juga potongan-potongan kesaksian diam tentang kesalahan negara yang telah ditutupi oleh narasi teknokratik. Banjir bukan hanya hasil dari hujan deras ataupun cuaca yang ekstrem, tetapi juga hasil dari dekade keserakahan yang dilegalkan, yang disetujui oleh para pejabat. Dan setiap bencana yang muncul adalah bukti bahwa alam telah berhenti berkompromi. Itu mengungkapkan kebenaran yang tidak ingin diakui oleh negara ini.

Kami marah, sangat marah, karena kalian terus berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi. Kami marah karena setiap bencana yang terjadi selalu kalian jawab dengan alasan lama yang basi. Kalian tidak pernah benar-benar peduli pada rakyat, kalian hanya peduli pada kekayaan diri kalian sendiri. Teganya kalian menjual hutan kami, masa depan kami, dan kesalamatan kami !!! demi keuntungan yang hanya kalian nikmati. Kami yang muda akan hidup paling lama dengan kerusakan ini, sementara kalian tinggal menunggu masa pensiun. Dan ketika kami marah seperti ini, kami akhirnya sadar kalian tidak pernah berada dipihak kami.

Generasi muda tidak hanya meminta jawaban tetapi juga konsekuensi. Kami tidak ingin hidup di negara di mana krisis ekologi diperlakukan sebagai kejadian yang normal. Kami tidak ingin masa depan kami dibentuk oleh mereka yang tidak merasakan konsekuensinya. Kami menginginkan sebuah negara yang bertanggung jawab, bukan negara yang bersembunyi di balik alasan cuaca. Jika para pembuat keputusan yang tua yang disebut-sebut, tidak bisa lagi memikirkan masa depan yang tidak akan mereka saksikan, maka saatnya menyerahkan kepemimpinan kepada generasi yang berani dan masih memiliki visi.

Bencana di Sumatera harus menjadi panggilan untuk waspada. Negara ini tidak hanya harus mengakui masalahnya tetapi juga harus melakukan sesuatu tentang hal itu dengan mencabut izin yang merusak, menghentikan ekspansi industri hulu, dan memulihkan hutan yang sudah rusak. Tanpa tindakan ini, gelombang air dan kayu akan datang, lebih besar dan lebih mematikan. Dan jika negara ini terus menghindar, sejarah akan mencatat bahwa penghancuran ini bukanlah hasil karya alam, tetapi kegagalan moral dan politik yang disengaja. Generasi muda akan ingat dan kami tidak akan tetap diam. .


Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS