Oleh:Ara Belia Rhamadani_2410721015
(Mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia,Fakultas Ilmu Budaya,Universitas Andalas)
Oleh:Ara Belia Rhamadani_2410721015
(Mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia,Fakultas Ilmu Budaya,Universitas Andalas)
Batagak kudo-kudo merupakan tradisi yang erat kaitannya dengan nilai gotong royong dalam membangun rumah atau surau. Istilah ini berasal dari bahasa Minang, yang berarti menegakkan kuda-kuda istilah dari batagak kudo-kudo yaitu komponen utama dari rangka atap bangunan.
Batagak kudo-kudo identitas dan jati diri masyarakat Padang Pariaman yang perlu dijaga, dilestarikan, dan diwariskan kepada generasi mendatang, dari proses tersebut menjelaskan bahwa ketika akan mendirikan rumah ada tahapan prosesnya dengan tradisi lokal yang telah diwariskan oleh orang-orang dahulu.
Langkah pertama yang dilakukan adalah berkumpul bersama seluruh anggota saudara untuk membahas secara detail rencana pembangunan, mulai dari lokasi, desain rumah, hingga perkiraan waktu dan biaya yang dibutuhkan. Setelah itu, mereka akan memberitahu masyarakat sekitar secara bertahap, sama seperti ketika akan mengadakan pesta besar. Orang-orang di lingkungan sekitar biasanya akan merespons dengan baik dan datang secara sukarela untuk membantu setiap tahapan proses pembangunan. Terkadang mereka juga membawa bahan bangunan seperti semen secara mandiri sebagai bentuk kontribusi nyata untuk mendukung pekerjaan tersebut, tanpa perlu diminta terlebih dahulu.
Pemberitahuan batagak kudo-kudo kepada masyarakat dilakukan secara tradisional melalui cara lisan dari mulut ke mulut, yaitu dengan menyampaikan langsung kepada tetangga dekat, kemudian informasi tersebut menyebar secara alami ke seluruh lingkungan kampung. Proses ini tidak melalui sarana seperti pengumuman di masjid atau pemberitahuan tertulis apapun. Misalnya, akan disampaikan secara jelas kepada setiap keluarga bahwa "si anu mau mendirikan rumah" dan bahwa pada hari tertentu telah ditentukan untuk orang-orang berkumpul untuk melakukan tahapan "memasukkan batu". Istilah khusus yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk merujuk pada suatu proses meletakkan batu pertama sebagai dasar pondasi rumah. Sebelum tahap memasukkan batu ini dilakukan, keluarga yang membangun rumah harus mempersiapkan semua bahan yang dibutuhkan seperti batu ukuran sesuai, pasir yang telah disaring, dan air untuk mencampur bahan, semuanya disiapkan terlebih dahulu agar pekerjaan berjalan lancar. Selain itu, mereka juga akan membuat makanan untuk dihidangkan kepada orang-orang yang datang membantu menanam atau memasukkan batu ke dalam lokasi pondasi yang telah disiapkan. Makanan yang disiapkan biasanya berupa hidangan khas daerah seperti gulai daging atau ikan, serta sambal yang dibuat khusus, yang disiapkan dengan jumlah cukup untuk semua pekerja yang datang membantu tanpa terkecuali.
Hari yang bagus untuk melaksanakan proses batagak kudo-kudo dimulai dari penentuan hari yang dianggap baik dan sesuai dilakukan dengan cara berbicara secara langsung kepada orang yang disebut "palo mudo" atau kepala muda di nagari yaitu seorang tokoh yang secara resmi ditunjuk atau diangkat oleh masyarakat untuk menangani segala hal yang berkaitan dengan tradisi, acara bersama, dan urusan masyarakat yang membutuhkan koordinasi. Saat ini, kepala muda yang menjabat di daerahnya adalah Edi, yang tinggal di dalam kampung (lokasinya lebih dalam dari area tempat wawancara berlangsung) dan biasanya menghabiskan pagi harinya bekerja di sawah untuk mengurus tanamannya sebelum melakukan aktivitas lain yang berkaitan dengan tugasnya sebagai kepala muda. Lokasi pembangunan rumah bisa dipilih secara fleksibel, baik berada di tanah pusaka atau pusako di Minang keluarga yang telah diwariskan turun-temurun maupun di tanah yang dibeli secara pribadi sendiri melalui proses transaksi. Namun, ada aturan yang berlaku secara turun-temurun jika akan membuat kedai atau ruko yang digunakan untuk usaha dagang, tidak diperbolehkan mendirikan kudo-kudo dan juga tidak bisa melakukan acara "pa-alek-kan" yaitu suatu istilah khusus untuk acara di mana masyarakat berkumpul bersama untuk membantu pembangunan seperti saat mengadakan pesta. Sedangkan untuk rumah tinggal yang akan dihuni oleh keluarga, hal tersebut dapat dilakukan sesuai dengan tradisi yang telah ada.
Istilah "mendirikan batu" perlu dibedakan dengan cermat agar tidak salah paham, jika istilah tersebut disebut dalam konteks kematian atau upacara pemakaman, itu adalah hal yang sama sekali berbeda dan memiliki makna serta proses tersendiri. Sedangkan "memasukkan batu" dalam konteks pembangunan rumah secara khusus merujuk pada tahapan meletakkan batu dasar untuk pondasi rumah yang akan menjadi landasan utama struktur rumah. Setelah batu dasar pondasi terpasang dengan benar dan kuat, proses pembangunan akan dilanjutkan dengan membangun tembok hingga mencapai ketinggian tertentu, dan ketika sampai pada tahap di mana saatnya memasang seng pada atap, masyarakat akan diberitahu kembali dengan cara yang sama seperti mengadakan pesta. Pada tahap ini, orang yang datang untuk membantu terkadang membawa seng sebagai bentuk kontribusi mereka untuk menyelesaikan bagian atap rumah. Untuk tahapan khusus mendirikan kudo-kudo sendiri, acara biasanya berlangsung selama waktu yang cukup lama, mulai dari pagi hari saat matahari mulai terbit hingga malam hari sekitar jam 9 atau bahkan lebih lambat tergantung pada kemajuan pekerjaan. Selain membawa seng, terkadang orang juga membawa beras sebagai bantuan tambahan yang bisa digunakan untuk makanan atau dibagikan kepada keluarga yang membangun rumah. Tidak ada aturan khusus yang menetapkan jam mulai atau berakhir acara, karena semuanya diatur sesuai dengan kesepakatan bersama dan kemampuan dari seluruh masyarakat yang membantu.
Batagak kudo-kudo tidak ada pantangan khusus apapun yang harus dihindari secara mutlak dalam proses mendirikan rumah, semua tahapan dapat dilakukan sesuai dengan rencana keluarga yang membangun dan kemampuan finansial serta tenaga yang mereka miliki. Proses pembangunan rumah tidak selalu memiliki tahapan yang terbagi secara jelas atau terjadwal per hari, jika keluarga yang membangun memiliki cukup uang untuk melanjutkan pekerjaan tanpa jeda atau mengumpulkan bahan secara cepat, proses pembangunan dapat dilanjutkan secara berurutan tanpa harus menunggu waktu tertentu. Setiap kali akan melakukan tahapan penting seperti "pa-alek-kan" atau memasang bagian krusial dari rumah, masyarakat akan diberitahu kembali agar mereka bisa datang membantu jika ingin. Setelah seluruh struktur rumah telah selesai dibangun secara keseluruhan dan sudah siap untuk dihuni, sebelum penghuni benar-benar tinggal di dalamnya dan menggunakan semua ruangan, akan dilakukan acara doa bersama yang melibatkan seluruh anggota keluarga (baik yang tinggal di dekat maupun yang datang dari jauh) serta tetangga sekitar rumah yang telah membantu selama proses pembangunan. Doa yang dilakukan tidak selalu harus disertai dengan hidangan makanan khas daerah seperti malamang atau makanan tradisional lainnya yang membutuhkan persiapan rumit, namun biasanya akan disiapkan makanan sederhana namun cukup seperti nasi putih hangat dan buah jeruk yang digunakan untuk acara "cuci mulut" sebagai bentuk simbolis pembersihan energi rumah dan permulaan hidup baru yang baik dan penuh berkah bagi seluruh penghuni.
Mendirikan kudo-kudo di daerah Pariaman memiliki makna yang sangat dalam dan sama seperti mengadakan pesta besar bagi masyarakat setempat, karena prinsip saling membantu dan gotong royong adalah nilai yang sangat kuat dan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya lokal sejak zaman dahulu. Jika seseorang mengundang orang lain untuk membantu membangun rumah atau mendirikan kudo-kudonya, maka dia juga memiliki kewajiban moral untuk datang membantu ketika ada orang lain di lingkungan yang mengadakan acara serupa. Ini adalah bentuk imbal balik yang telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat dan dijunjung tinggi oleh semua kalangan. Orang yang menjabat sebagai "palo mudo" harus diberitahu terlebih dahulu tentang setiap acara penting, baik itu acara doa maupun setiap tahapan krusial dalam pembangunan rumah, meskipun pada akhirnya dia tidak bisa hadir secara langsung karena alasan tertentu, hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan yang tinggi kepada peran penting dan kedudukannya sebagai tokoh masyarakat yang mengatur urusan tradisi. Batu pertama yang diletakkan pada tahap pondasi menjadi bagian yang sangat penting dalam pembangunan rumah, karena dasar pondasi rumah di daerah ini biasanya menggunakan batu alam sebagai struktur utama yang kuat, tahan lama, dan mampu menahan bobot rumah secara maksimal. Sedangkan bagian atas dari pondasi hingga seluruh tembok rumah menggunakan bahan bangunan modern lainnya seperti bata atau semen sebagai penguat agar struktur rumah berdiri lebih kokoh dan aman dari berbagai gangguan alam.
Dari pengalaman dan pengetahuannya yang diperoleh dari cerita orang tua dan masyarakat sekitar, tidak ada perbedaan signifikan dalam cara mendirikan kudo-kudo atau proses pembangunan rumah secara keseluruhan antara zaman dahulu dan zaman sekarang, tradisi tersebut tetap dilakukan dengan cara yang sama persis, tanpa ada bagian yang hilang atau diubah secara drastis meskipun ada beberapa penyesuaian kecil dengan perkembangan zaman seperti penggunaan bahan bangunan modern.
Pendirian rumah beserta kudo-kudo biasanya dimulai ketika sepasang suami istri atau ayah dan anak ingin membangun tempat tinggal di tanah pusaka istri. Awalnya, mereka berbicara dengan keluarga perempuan (mamak, mak uniang, makdang, atau abang) untuk menyampaikan rencana dan menentukan lokasi yang cocok. Lokasi yang disarankan biasanya dekat dengan batang pisang dan merupakan tanah pusaka umum yang sudah disiapkan untuk digunakan. Setelah lokasi ditentukan, mereka mencari orang yang akan membantu membangun dan membeli bahan-bahan untuk bagian kudo-kudo.
Rencana pendirian tidak langsung dilaksanakan, melainkan direncanakan dengan matang dan keluarga diberitahu agar tidak dilakukan pada waktu pesta, hal ini untuk memastikan semua orang bisa berkumpul dan membantu tanpa ada halangan acara lain. Pada hari yang telah ditentukan untuk meletakkan batu pertama, masyarakat berkumpul bersama-sama. Mereka bersama-sama memecah batu, memasang pondasi dengan seksama agar rumah berdiri kokoh, dan melanjutkan seluruh tahapan pembangunan rumah mulai dari struktur dasar hingga dinding. Setelah rumah secara keseluruhan berdiri dan siap untuk dilengkapi atap, langkah selanjutnya adalah mendirikan kudo-kudo, yang juga dilakukan pada hari khusus yang telah ditentukan dengan mengumpulkan masyarakat kembali untuk bekerja sama.
Penentuan hari untuk mendirikan kudo-kudo dilakukan oleh pihak yang akan membangun rumah dengan memberitahu keluarga perempuan terlebih dahulu. Mungkin ada unsur melihat alam sekitar dan doa-doa dalam proses penentuan hari tersebut, beberapa orang juga memperhatikan kondisi cuaca, pertumbuhan tanaman di sekitar lokasi, atau bahkan tanda-tanda alam lainnya seperti arah angin, kondisi bulan, atau kelakuan hewan peliharaan yang dianggap sebagai pertanda baik atau buruk untuk memulai pekerjaan besar seperti ini. Syarat dan persiapan mendirikan kudo-kudo sedikit berbeda antar orang, tergantung kepercayaan masing-masing keluarga atau komunitas. Barang-barang yang akan dilekatkan pada kayu harus dibawa lengkap beserta bahan dan mantra sesuai kepercayaan, beberapa bahkan menyertakan benda-benda kecil yang dipercaya dapat membawa keberuntungan bagi penghuni rumah, seperti biji-bijian untuk kelimpahan rejeki, anyaman bambu yang melambangkan keuletan, atau kain tenun dengan motif khusus yang memiliki makna budaya. Hari pendirian kudo-kudo biasanya berbeda dengan hari pembangunan rumah lainnya, dan acara ini secara resmi disebut pesta kudo-kudo atau dengan bahasa alus "minta tolong membelikan seng", istilah ini digunakan sebagai bentuk permintaan bantuan yang sopan tanpa membuat pihak lain merasa tertekan.
Nama "kudo-kudo" berasal dari fungsinya sebagai tumpuan utama kayu-kayu penyangga atap dan memiliki makna sebagai pertahanan rumah serta pertahanan atap seng dari berbagai gangguan, baik alamiah seperti angin kencang atau hujan deras, maupun yang dipercaya sebagai hal-hal gaib. Ini berbeda dengan kuda dalam silat yang merupakan pertahanan tubuh bagi pelaku seni bela diri. Permintaan bantuan dilakukan secara halus dan penuh rasa hormat, misalnya dengan mengatakan "Bang, tolong melihat mendirikan kudo-kudo" padahal secara fisik sudah berdiri, hal ini menunjukkan nilai kesopanan, rasa kekeluargaan, dan rasa hormat yang kuat dalam budaya lokal terhadap sesama masyarakat. Setelah banyak orang datang membantu dan membawakan seng sebagai bentuk kontribusi, pada malam hari dilakukan perhitungan pengeluaran secara bersama-sama untuk memastikan pastinya. Seringkali seng yang terkumpul berlebih sehingga perlu mencari tukang khusus yang ahli dalam memasang seng untuk menyelesaikan bagian atap setelah kudo-kudo terpasang dengan benar. Seng yang berlebih terkadang juga dibagikan kepada tetangga yang sedang membutuhkan atau disimpan dengan baik untuk keperluan perbaikan rumah di masa mendatang agar tidak terbuang percuma.
Jenis kayu untuk kudo-kudo biasanya dipilih yang memiliki kualitas tahan lama dan kuat agar bisa menahan bobot atap dalam waktu yang panjang. Mayoritas masyarakat di daerah pedesaan menggunakan batang kelapa karena mudah ditemukan di sekitar lingkungan dan memiliki ketahanan yang baik terhadap cuaca dan serangga. Sedangkan di kota-kota lebih banyak menggunakan kayu ajua karena lebih mudah ditemukan di pasar bahan bangunan dan memiliki kekuatan fisik yang lebih besar untuk menopang atap yang lebih luas atau berat. Dalam tradisi lama, jumlah kasau (bagian kayu yang menopang dan menghubungkan antar bagian atap) tidak boleh genap dan harus ganjil, hal ini dipercaya dapat menjaga keseimbangan energi dalam rumah, mencegah hal buruk datang, dan membawa keberuntungan bagi seluruh penghuni. Ada juga yang mencari batang kayu khusus yang dipercaya tidak akan memanggil api dan dapat mencegah orang maling masuk ke dalam rumah (disebut tangkal-tangkal), beberapa jenis kayu seperti kayu cemara, kayu meranti, atau kayu ubar juga sering dipilih karena dianggap memiliki sifat pelindung alamiah dan spiritual. Berbagai jenis kayu bisa digabungkan dalam satu struktur kudo-kudo, dan semakin beragam jenis kayunya dianggap semakin baik, karena dipercaya dapat menggabungkan berbagai kelebihan fisik dan makna budaya dari masing-masing kayu.
Orang yang meletakkan batu pertama pada tahap pondasi biasanya adalah tukang yang pandai dan berpengalaman dalam membangun rumah tradisional, yang juga akan memberikan petunjuk secara diam-diam terkait dengan posisi dan kedalaman pondasi agar rumah kokoh dan tahan lama terhadap gempa atau longsor. Selain itu, sebelum batu pertama diletakkan, terkadang dilakukan doa bersama oleh kepala keluarga dan beberapa orang tua masyarakat untuk memohon perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa, keberuntungan bagi rumah serta penghuninya, dan keselamatan selama proses pembangunan berlangsung. Kayu jengkol atau jariang sering digunakan sebagai bagian dari struktur kudo-kudo karena dipercaya dapat membuat orang yang memiliki niat buruk menjadi malas untuk masuk ke dalam rumah, meskipun kayu tersebut mudah lapuk akibat cuaca, digunakan hanya untuk memenuhi syarat tradisi dan biasanya ditempatkan di bagian tertentu yang tidak terlalu terpapar cuaca atau dilapisi dengan bahan pelindung agar lebih awet. Jenis kayu yang dipercaya anti api tidak dapat diingat dengan jelas oleh Angku Suwardi, namun ia menyebutkan bahwa hal tersebut masih menjadi bagian dari pengetahuan lisan yang diwariskan antar generasi melalui cerita atau tunjuk langsung dari orang tua kepada anak muda. Pada zaman dulu, pencarian kayu untuk pembangunan dilakukan secara gotong royong bersama seluruh masyarakat, dan mereka akan tinggal di pondok yang dibuat khusus di sekitar lokasi pembangunan selama dua minggu menjelang pesta, selama masa ini mereka bekerja bersama dari pagi hingga sore, berbagi makanan yang disediakan oleh berbagai keluarga, dan saling membantu dalam segala hal terkait pembangunan mulai dari mencari bahan hingga merawat alat kerja. Namun sekarang, dengan perkembangan zaman, sebagian besar orang membeli kayu secara langsung dari penjual bahan bangunan dan biaya pembangunan seperti sewa tenda untuk acara, makanan untuk tamu dan pekerja, serta gaji tukang dibiayai dari uang pribadi atau melalui utang, dengan nilai yang bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah tergantung pada ukuran dan kemewahan rumah yang dibangun.
Dalam aturan tradisional yang telah ada sejak lama, jarak antara rumah yang akan dibangun dengan rumah tetangga ditentukan minimal satu meter, aturan ini dibuat tidak hanya untuk menjaga hubungan baik antar tetangga dengan menghindari sengketa tanah, tetapi juga untuk mencegah terjadinya masalah kesehatan akibat genangan air atau kelembapan yang berlebih di sekitar rumah, serta memastikan sirkulasi udara yang baik agar rumah tetap sejuk dan sehat. Secara aslinya tidak ada pantangan khusus yang baku dalam membangun rumah agar menjadi baik dan nyaman, namun sekarang yang paling utama adalah bekerja keras dan mencari uang untuk membeli bahan berkualitas serta membayar tenaga ahli agar rumah menjadi baik dan aman untuk dihuni. Meskipun demikian, sebagian masyarakat masih memegang teguh nilai-nilai tradisional seperti menjaga kebersihan lingkungan sekitar rumah, menghormati batasan tanah milik orang lain, dan tidak membangun struktur yang mengganggu pemandangan atau kenyamanan tetangga. Rumah pusaka biasanya ditempati oleh perempuan karena warisan tanah pusaka di Minangkabau pada hakikatnya milik perempuan secara turun temurun, meskipun laki-laki memiliki peran penting dalam pengelolaan dan pemeliharaannya. Contohnya, jika mamak (keluarga perempuan yang menjadi pemilik resmi tanah pusaka) tidak berunding dengan laki-laki dalam keluarga sebelum membangun atau melakukan perbaikan besar, laki-laki memiliki hak untuk melarangnya sebagai tanda bahwa mereka memiliki peran dalam pengelolaan, namun tidak boleh menguasainya secara pribadi, menjualnya, atau mengubah fungsinya tanpa izin dari seluruh anggota keluarga perempuan. Laki-laki setelah menikah akan pergi tinggal di rumah istri atau di tanah pusaka keluarga istri, kecuali jika ada kondisi khusus seperti ketika istri bersedia tinggal bersama keluarga suami atau ketika keluarga perempuan membutuhkan bantuan laki-laki dalam mengelola tanah pusaka akibat kondisi tertentu.
Sebelum mendirikan kudo-kudo, sebagian orang melakukan tradisi mendarahi kayu dengan menyembelih ayam dan mengoleskan darahnya pada bagian ujung atau sambungan kayu, ayam yang digunakan biasanya ayam betina yang sehat dan dipercaya dapat membawa kesuburan, kebahagiaan, serta keharmonisan bagi keluarga yang akan tinggal di rumah. Ayam yang disembelih kemudian bisa digulai dengan bumbu khas daerah dan disajikan kepada seluruh masyarakat yang membantu pembangunan dalam acara makan bersama yang meriah, atau diberikan kepada masyarakat dalam acara piliak (pembagian makanan kepada orang banyak) sebagai bentuk rasa terima kasih dan penghormatan terhadap bantuan yang diberikan secara sukarela. Beberapa orang juga menuliskan simbol-simbol atau kata-kata pendukung pada bagian kayu kudo-kudo menggunakan cat alami atau bahan alami lainnya seperti getah pohon tertentu yang tidak mudah pudar, seperti yang pernah disebutkan oleh ibu sebelah yang menyebutkan tentang "siapan ayam" atau tulisan-tulisan khusus yang memiliki makna perlindungan dan keberuntungan. Tradisi ini masih berlanjut hingga sekarang, bahkan di kalangan masyarakat yang sudah tinggal di perkotaan dan memiliki rumah modern, sebagai cara untuk menjaga hubungan erat dengan akar budaya mereka dan meneruskan nilai-nilai yang telah ada sejak lama.
































0 Comments