Rifka Andinna Mahasiswa Jurusan Biologi, Universitas Andalas, Padang Email: rifkaandinna173@gmail.com
Banjir bandang saat ini kembali menjadi menakutkan bagi masyarakat di berbagai daerah di Indonesia. Hampir setiap tahun lebih, cuaca ekstrem hujan menghantam permukiman, menghanyutkan rumah, dan memutus akses jalan terutama jembatan yang sudah banyak hanyut. Fenomena banjir bandang sering kali dikaitkan dengan curah hujan yang ekstrem, namum dimana para ahli menyampaikan akar permasalahannya tidak seperti itu. Minimnya upaya konservasi hutan ini dinilai sebagai pemicu utama yang dapat memperburuk terjadinya banjir bandang di berbagai wilayah.
Dalam ekosistem, hutan ini berfungsi sebagai “penyangga alam” yang mengatur siklus air. Tajuk, daun, batang, dan akar pepohonan membantu menahan air hujan agar tidak langsung mengalir ke sungai. Tanah yang sudah gembur mampu menyerap air yang lebih banyak dapat mengakibatkan memperkecil terjadinya limpasan permukaan yang dapat memicu menjadi banjir bandang.
Namun, pada kenyataanya di lapangan memperlihatkan kondisi yang sebaliknya, dimana kerusakan hutan akibat dari pembalakan liar, ahli fungsi lahan dan pembukaan kawasan seperti pertanian dan perkebunan yang dapat mengakibatkan berkurangnya vegetasi secara signifikan. Berdasarkan data dari berbagai penelitian, membuktikan bahwa korelasi kuat antara penurunan tutupan hutan dan peningkatan bencana secara hidrogis seperti banjir bandang, longsor dan kekeringan pada musim kemarau.
Ketika hulu kawasan tidak lagi mampu mencukupi vegetasi penahan, maka air hujan langsung turun dan mengalir dengan kecepatan tinggi yang membawa material tanah, batu, hingga pepohonan. Inilah yang akhirnya memicu terjadinya banjir bandang, “jelas seorang ahli hidrologi dari sebuah lembaga konservasi lingkungan.
Saat ini bagian yang paling rentan dan sering kali luput dari kawasan hulu sungai. Hulu merupakan awal aliran tata air, namun menjadi area dengan laju deforestasi tertinggi. Sekarang banyak kawasan hulu yang berubah menjadi lahan pertanian tanpa mempertimbangkan kontur tanah dan kemiringan lereng. Tanpa teknik konservasi seperti terasering atau agroforestry, lahan terbuka di daerah miring sangat rawan tererosi dan mempercepat laju aliran sungai.
Alih fungsi lahan yang secara massif dapat menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati yang berperan penting dalam menjaga stabilitas tanah. Akar tanaman hutan yang beragam dan memiliki kemampuan berbeda-beda dalam mengikat tanah, sehingga kombinasi dapat membuat struktur tanah lebih kuat. Jika keanekaragaman ini hilang, maka tanah akan menjadi lebih rapuh dan mudah terbawa arus air.
Tak hanya itu, pembukaan lahan untuk permukiman baru yang berada di sekitar bantaran sungai dapat memperparah kondisi. Sungai kehilangan ruang alaminya untuk meluap, sehingga ketika volume air secara tiba-tiba, tidak ada lagi wilayah penyangga yang dapat mengurangi kecepatan aliran.
Secara degradasi ekologis, perubahan iklim berperan besar dalam memperparah risiko banjir bandang. Pemanasan global dapat menyebabkan pola cuaca semakin tidak menentu. Hujan ekstrem yag biasanya terjadi beberapa kali setahun ini dapat muncul frekuensi lebih tinggi dan durasi lebih panjang.
Saat kondisi hutan yang telah rusak, hujan ekstrem dapat menimbulkan bahaya yang sangat serius. Tanpa adanya kemampuan tanah untuk menyerap air secara efektif, air hujan akan lebih cepat mengalir langsung ke sungai. Peningkatan volume air yang drastis ini menyebabkan sungai meluap, sehingga dapat terjadinya bencana banjir bandang.
Namun, para ahli sepakat bahwa meski perubahan iklim adalah faktor yang memperburuk, sehingga kerusakan ekologis khususnya di Kawasan hulu tetap menjadi alasan utama mengapa banjir bandang semakin sering dan semakin parah.
Upaya mitigasi bencana umumnya lebih menekankan tindakan darurat, seperti membangun tanggul, menata aliran sungai, atau memasang sistem peringatan dini. Walaupun langkah-langkah ini penting, ada tindakan dasar yang kerap diabaikan yaitu menjaga kelestarian hutan dan memulihkan ekosistem.
Konservasi hutan tidak hanya berkaitan dengan aktivitas menanam pohon, tetapi mencakup seluruh upaya menjaga agar fungsi ekologis hutan tetap berjalan dengan baik. Para ahli merekomendasikan beberapa langkah penting, salah satunya adalah memulihkan kondisi kawasan hulu melalui penanaman kembali jenis-jenis pohon lokal yang mampu mengikat tanah serta dapat menyerap air dengan baik, sehingga dapat disesuaikan dengan sistem agroforesty agar masyarakat tetap memperoleh manfaat ekonomi.
Selain itu, kawasan hutan lindung juga perlu diperkuat dengan pengawasan yang lebih ketat dan penegakan aturan yang tegas untuk mencegah alih fungsi lahan maupun pembalakan liar. Perencanaan tata ruang harus berbasis ekosistem, sehingga wilayah yang rentan banjir bandang tidak lagi dijadikan kawasan permukiman atau lokasi industri.
Peran masyarakat lokal sangat penting, dengan adanya edukasi dan program pemberdayaan yang berbasis konservasi, sehingga dapat menjadi garda terdepan dalam menjaga keberlanjutan hutan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Upaya lain juga tak kalah penting seperti memulihkan kondisi sungai beserta zona hijau di sekitarnya, karena area penyangga alami ini dapat membantu memperlambat aliran air, menjaga kestabilan tanah, dan menyaring sedimen sebelum masuk ke sungai.
Setiap banjir bandang melanda, perhatian masyarakat langsung tertuju pada masalah tersebut dan desakan agar pemerintah segera mengambil tindakan tindakan. Namun saat situasi kembali stabil, pembahasan mengenai konservasi biasanya mereda dan kembali tersisihkan oleh berbagai agenda pembangunan lain.
Padahal berbagai studi sudah membuktikan bahwa investasi dalam konservasi hutan jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya penanganan pasca bencana. Kerugian dari akibat banjir bandang tidak hanya berupa kerusakan fisik, tetapi juga berdampak hilangnya mata pencarian, gangguan sosial dan hingga penurunan kualitas lingkungan dalam jangka panjang.
Para ahli lingkungan menekankan bahwa Indonesia perlu mengubah cara pandang dalam mengelola sumber daya alam. Pembangunan tidak cukup yang hanya berfokus pada infrastruktur, tetapi harus dilakukan dengan cara menghormati dan menyesuaikan diri dengan kapasitan ekologi.
Jika upaya konservasi hutan dilakukan secara serius, potensi terjadinya banjir bandang bisa berkurang secara drastis. Keberhasilan sejumlah wilayah dalam memperbaiki kondisi daerah yang ada di aliran sungai dapat menunjukkan bahwa upaya ini bukan hanya dapat dilakukan, tetapi terbukti sangat efektif.
Banjir bandang yang kian memburuk terutama disebabkan oleh lemahnya konservasi hutan dan buruknya pengelolaan ekositem. Dengan memperkuat upaya konservasi, memperbaiki tata ruang, dan melibatkan masyarakat, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengurangi risiko bencana ini.
Merawat hutan bukan lagi pilihan, tetapi kebutuhan mendesak agar banjir bandang tidak terus berulang dan semakin parah.






























0 Comments