Oleh : Tanzilla Wulandari, mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas.
Setiap 9 Desember, kita diingatkan Kembali dengan bahaya korupsi. Biasanya, yang muncul dibenak kita adalah kasus besar seperti suap pejabat, mark-up anggaran, atau proyek fiktif. Namun ada bentuk tindakan koruptif yang jauh lebih dekat dengan kita, berjalan sunyi, dan justru sering terjadi dan yang sering kita anggap biasa aja.
Di banyak organisasi dan kepanitiaan mahasiswa, mengambil uang kas Rp5.000 atau Rp10.000 sering dianggap sepele. Alasannya pun terdengar ringan “uang jalan”, “cuma sebentar”, “nanti juga diganti”. Teman-temanya tahu, tetapi diam. Lingkungan sekitar menganggapnya tidak apa-apa, padahal dari sinilah akar masalah dimulai. Karena, korupsi tidak tumbuh di ruang kosong, tetapi dimulai dari pembiaran kecial yang dibiarkan berulang.
Psikolog moral Dan Ariely menyebut perilaku ini sebagai Slippery Slope of Dishonesty yaitu ketika pelanggaran kecil dibiarkan, batas moral kita akan bergeser sedikit demi sedikit. Pada akhirnya, bukan lagi soal jumlah uangnya tetapi soal keberanian untuk melanggar. Jika seseorang terbiasa mengambil uang yang bukan hak nya walaupun dalam jumlah kecil, sebenarnya ia sedang memberi sinyal kepada dirinya sendiri bahwa tindakan itu tidak apa-apa dan dapat ditoleransi. Lama-kelamaan angka itu tidak lagi penting, yang penting adalah rasa keberanian untuk melanggar, hal inilah yang sebenarnya lebih berbahaya.
Kebiasaan ini subur karena budaya organisasi sering longgardalam urusan administratif. Seperti pencatatan yang tidak rapi, bukti transaksi tidak ada, dan audit internal jarang dilakukan. Bendahara sering bekerja sendiri tanpa pengawasan, sementara anggota lain enggan menegur karena takut akan menimbulkan konflik. Situasi inilah yang menciptakan ruang bagi kebiasaan yang buruk. Padahal, justru di lingkungan kecil, seperti kampus, komunitas, atau kepanitiaan, karakter integritas seseorang itu mulai terbentuk. Jika ditempat sekecil itu orang dibiarkan mengambil uang dengan nominal kecil tanpa izin, maka mereka belajar bahwa mengambil sesuatu yang bukan haknya bisa ditoleransi. Jumlahnya mungkin tampak kecil, tetapi dampaknya sangat besar, dimana menimbulkan berkurangnya rasa bersalah dan timbul keberanian untuk melanggar semakin tumbuh.
KPK berulang kali mengingatkan bahwa pendidikan antikorupsi harus dimulai sejak dini. Koruptor besar tidak muncul tiba-tiba; mereka tumbuh dari pembiaran terhadap pelanggaran kecil. Fenomena mengambil uang kegiatan adalah contoh nyata pembiaran tersebut. Ketika pelanggaran kecil dianggap lumrah, kita sedang membuka jalan bagi pelanggaran lebih besar di masa depan.
Masalah ini memang sering kali dianggap sepele karena jumlah uang yang diambil itu kecil, namun dampak yang panjang dan serius sedang menunggu: (1) Kepercayaan sesama anggota hilang, karena jika ada kecurangan sekecil apapun maka organisasi secara tidak langsung kehilangan kredibilitas di mata anggotanya; (2) Budaya permisif terbentuk, karena telah membiasakan hal-hal yang salah; (3) Mentalitas “asal tidak ketahuan” tumbuh, Ini jauh lebih berbahaya daripada nominal uangnya. Orang mulai merasa aman melanggar aturan selama tidak ada yang melihat; (4) Kebiasaan terbawa ke dunia kerja, sikap seperti ini jarang hilang begitu saja, ia ikut menempel ketika seseorang masuk ke lingkungan profesional.
Jika pembiaran kecil itu terus terjadi, kita sebenarnya sedang membentuk generasi pemimpin yang menganggap pelanggaran kecil adalah hal wajar. Pada akhirnya, pola ini berkontribusi pada karut-marut korupsi yang mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga di negeri ini. Integritas runtuh bukan karena satu tindakan besar, tetapi karena kebiasaan kecil yang dibiarkan. Peringatan Hari Antikorupsi seharusnya tidak berhenti pada poster, slogan, atau seruan yang terdengar setiap tahun. Momen ini penting untuk melihat kembali perilaku kecil yang sering kita anggap biasa, terutama dalam lingkungan organisasi. Justru dari ruang-ruang kecil inilah integritas seseorang mulai terbentuk.
Organisasi, sekecil apa pun, perlu menerapkan tata kelola yang jelas dan transparan. Hal dasar seperti buku kas yang rapi, laporan keuangan bulanan, bukti transaksi, dan mekanisme teguran seharusnya menjadi standar. Bukan untuk terlihat kaku, tetapi untuk menumbuhkan budaya saling mengingatkan. Jika ada penyimpangan kecil, ia perlu dibahas secara terbuka agar tidak menjadi kebiasaan. Integritas tidak lahir dari pidato panjang atau seminar mahal. Ia hadir dari pilihan sehari-hari: ketika kita menolak mengambil uang kas tanpa izin, ketika kita berani menegur teman yang mencoba “meminjam sebentar”, atau ketika kita memastikan setiap pengeluaran dicatat dengan benar, dan jujur meski tidak ada yang melihat. Hal-hal kecil seperti inilah yang perlahan memperkuat karakter seseorang.
Seperti kata pepatah “integritas adalah melakukan hal yang benar meski tidak ada yang melihat”.
Jika kita ingin generasi yang bebas dari korupsi besar, maka kita harus berani menghentikan pembenarannya dari yang paling kecil. Integritas tumbuh dari kebiasaan, bukan dari keberuntungan.
Hari antikorupsi bukan hanya tentang mengutuk koruptor besar.
Ia tentang bercermin pada diri sendiri dan lingkungan terdekat.
Ketika kita menganggap mengambil uang kas Rp5.000 sebagai hal biasa, saat itu pula kita ikut melanggengkan budaya korupsi. Sebelum berbicara tentang reformasi besar, mari mulai dari tindakan kecil: tidak mengambil uang kas organisasi tanpa izin. Karena di situlah integritas seseorang diuji, bukan pada saat memegang miliaran, tetapi ketika berhadapan dengan lima ribu yang tampak “tidak seberapa”. Sekali lagi hari antikorupsi bukan hanya peringatan.
Ia adalah ajakan untuk bercermin.
Sebelum menuntut reformasi besar, mari mulai dengan hal paling sederhana: berhenti membenarkan pelanggaran kecil. Dari sana, perubahan yang lebih besar dapat tumbuh.






























0 Comments