Maluku Utara mencatatkan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia pada tahun 2023, mencapai 20,49 persen. Angka ini hampir empat kali lipat dari rata-rata pertumbuhan nasional yang hanya sekitar 5 persen. Di atas kertas, capaian tersebut terlihat sebagai kisah sukses pembangunan wilayah timur Indonesia. Namun di balik euforia pertumbuhan, muncul pertanyaan yang tidak bisa dihindari: apakah lonjakan ekonomi ini benar-benar meningkatkan kesejahteraan masyarakat Maluku Utara?
Lonjakan pertumbuhan tersebut hampir sepenuhnya ditopang oleh sektor pertambangan dan industri pengolahan nikel. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Maluku Utara kini berasal dari sektor pertambangan dan industri logam dasar, terutama melalui kawasan industri besar seperti Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) dan Harita Nickel di Pulau Halmahera. Artinya, perekonomian daerah sangat bergantung pada satu sektor yang bersifat ekstraktif dan padat modal.
Masalahnya, sektor ini tidak banyak menyerap tenaga kerja lokal. Meski menjadi penyumbang terbesar PDRB, sektor pertambangan dan industri pengolahan hanya menyerap kurang dari 5 persen tenaga kerja Maluku Utara. Banyak posisi kerja strategis justru diisi oleh tenaga kerja dari luar daerah, sementara masyarakat lokal lebih banyak terserap di sektor informal dengan pendapatan rendah. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak otomatis menciptakan kesejahteraan yang luas.
Ketimpangan tersebut tercermin dari indikator sosial. Pada 2023, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Maluku Utara tercatat 69,84, masih jauh di bawah rata-rata nasional sebesar 74,39. Tingkat kemiskinan masih berada di kisaran 6,7 persen, dengan konsentrasi terbesar di wilayah non-industri dan pedesaan. Bahkan, koefisien Gini mencapai 0,384, menandakan bahwa kesenjangan pendapatan justru melebar di tengah pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi.
Dari sisi fiskal, pendapatan daerah memang meningkat. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Maluku Utara tumbuh lebih dari 20 persen pada 2023, seiring meningkatnya aktivitas pertambangan dan industri pengolahan. Namun, peningkatan pendapatan ini belum sepenuhnya diterjemahkan menjadi perbaikan layanan publik. Belanja pendidikan dan kesehatan masih relatif terbatas dibandingkan belanja rutin dan infrastruktur penunjang industri. Dengan kata lain, uang tumbuh cepat, tetapi kesejahteraan bergerak lambat.
Selain persoalan sosial, pertumbuhan berbasis tambang juga menyisakan biaya lingkungan yang besar. Aktivitas penambangan nikel di Pulau Halmahera telah memicu deforestasi, degradasi lahan, dan tekanan serius terhadap ekosistem pesisir, termasuk meningkatnya sedimentasi di Teluk Weda. Dampak ini mengancam mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada pertanian dan perikanan, serta berpotensi menjadi beban jangka panjang ketika aktivitas tambang berhenti.
Situasi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Maluku Utara saat ini masih bersifat elitis dan rapuh. Ketergantungan yang terlalu tinggi pada sektor tambang membuat perekonomian daerah rentan terhadap fluktuasi harga komoditas dan risiko pascatambang. Tanpa perubahan arah kebijakan, Maluku Utara berisiko mengalami ledakan ekonomi sesaat, diikuti perlambatan tajam ketika cadangan sumber daya alam menipis.
Karena itu, tantangan utama pemerintah daerah bukan sekadar menjaga laju pertumbuhan, tetapi mengubah kualitas pertumbuhan. Pendapatan dari sektor pertambangan harus diperlakukan sebagai modal pembangunan masa depan, bukan sekadar sumber belanja jangka pendek. Investasi pada pendidikan, pelatihan tenaga kerja lokal, serta pengembangan sektor non-tambang seperti pertanian bernilai tambah, perikanan, pariwisata berbasis ekologi, dan UMKM menjadi keharusan, bukan pilihan.
Pertumbuhan ekonomi yang sejati bukan tentang seberapa tinggi angka PDRB melonjak, tetapi tentang siapa yang menikmati hasilnya dan apa yang tersisa setelah tambang berhenti beroperasi.
Maluku Utara kini berada di persimpangan penting: apakah akan menjadi contoh keberhasilan industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan, atau justru menjadi ilustrasi baru dari paradoks daerah kaya sumber daya tetapi miskin kesejahteraan.
































0 Comments