Ticker

6/recent/ticker-posts

HIJAU YANG HILANG, BENCANA YANG MENETAP – PANGGILAN DARURAT UNTUK KONSERVASI SUMATERA


Oleh : Adhiana Sutanti Mahasiswa Biologi Universitas Andalas, 


DiTengah detak jantung Indonesia, Pulau Sumatera pernah menjadi permata hijau Asia Tenggara. Hutan hujan tropis yang lebat bukan hanya rumah bagi satwa seperti, harimau, gajah, dan orangutan, tetapi juga penyangga iklim global. Ironisnya, hutan hujan tropis Sumatera, yang pernah membentang luas itu kini semakin tergerus. Deforestasi, penebangan liar, perluasan Perkebunan kelapa sawit, serta infrastruktur jalan raya telah mengubah permata hijau itu menjadi pemandangan yang mengkhawatirkan. Hilangnya tutupan hutan bukan hanya menjadi ancaman bagi keanekaragaman hayati, tetapi juga pemicu terjadinya bencana lingkungan yang bersifat permanen seperti halnya saat ini banjir dan tanah longsor.

Menurut data terbaru dari Global Forest Watch (2025), Sumatera telah kehilangan lebih dari 1,2 juta hektar hutan primer dalam lima tahun terakhir. Angka ini menjadikan Sumatera sebagai salah satu pulau dengan laju deforestasi tertinggi di Asia Tenggara. Penyebab utamanya? Perkebunan kelapa sawit, jalan raya, tambang, dan pembukaan lahan illegal. Akibatnya, bencana yang jarang terjadi sekarang sudah menjadi langganan dan dengan Tingkat risiko yang tinggi, seperti banjir bandang dan tanah longsor.

Hingga pertengahan Desember 2025, warga di sejumlah wilayah Sumatera Kembali terpaksa mengungsi akibat banjir, padahal fasilitas darurat yang dibangun usai bencana sebelumnya belum lama ini rampung. Namun, semua Kembali hancur karena tanah gundul tak mampu menahan air hujan. Tanpa akar pohon yang telah ditebang, air yang sebenarnya tidak begitu deras justru mengalir liar, membawa lumpur dan batang kayu menerjang pemukiman.

Selain di musim hujan, musim kemarau pun juga ikut menyumbangkan bencana akibat kebakaran hutan dan lahan di beberapa provinsi di Sumatera. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2025), lebih dari 60% titik panas di Indonesia berada di Sumatera. Aktivitas pembukaan lahan illegal dengan cara membakar masih menjadi praktik umum di sejumlah daerah terpencil.

Di balik angka dan statistik, ada manusia yang kehilangan identitas, Masyarakat adat seperti Orang Rimba di Jambi, suku anak dalam di Sumatera Selatan, dan kelompok Melayu Tua di Riau hidup selaras dengan hutan selama berabad-abad. Kini, mereka terdesak akibat lahan adat diklaim Perusahaan, Sungai mereka tercemar, dan jalur migrasi spiritual mereka terputus. Sayangnya, hak Kelola hutan adat meski diakui dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/2012 masih minim implementasi di lapangan. Hingga kini, kurang dari 5% hutan adat di Sumatera yang telah diversifikasi dan dikukuhkan oleh pemerintah (AMAN, 2025).

Beberapa inisiatif restorasi mulai menunjukkan harapan. Restorasi Ekosistem Riau (RER), misalnya, telah merehabilitasi lebih dari 75.000 hektar hutan gambut di Semenanjung Kampar sejak 2013. Sementara itu, program Perhutanan Sosial pemerintah telah menyerahkan akses Kelola hutan kepada lebih dari 300 kelompok tani hutan di Sumatera hingga 2025 (KLHK, 2025). Namun, skala Upaya ini masih jauh dari cukup. Dibutuhkan pendekatan sistemik moratorium permanen terhadap konversi hutan primer dan lahan gambut, penegakan hukum tegas terhadap Perusahaan pembakar lahan, serta pengakuan penuh terhadap wilayah adat.

Indonesia berkomitmen mencapai net zero emission pada 2060, dan hutan Sumatera adalah kunci utama pencapaian itu. Namun, target ini mustahil terwujud jika deforestasi terus berlangsung. Oleh karena itu, pemerintah perlu untuk :

- Memperkuat penegakan hukum terhadap pelaku deforestasi illegal.

- Menghentikan pemberian izin baru di Kawasan hutan primer dan gambut.

- Mempercepat pengukuhan hutan adat.

- Mendorong sertifikasi sawit berkelanjutan yang benar-benar diawasi.

Di sisi lain, Masyarakat sipil dan konsumen juga punya peran. Memilih produk yang ramah hutan, mendukung LSM lingkungan, atau bahkan menolak proyek infrastruktur yang merusak ekosistem semua itu adalah bentuk aksi nyata.

Hijau Sumatera sedang sekarat. Jika tidak ada Tindakan kolektif sekarang maka bencana yang menetap bukan lagi metafora, melainkan kenyataan permanen. Anak cucu kita mungkin hanya akan mengenal harimau Sumatera lewat buku Sejarah dan hutan hujan tropis hanya sebagai cerita dari masa lalu. Saatnya berhenti mengorbankan alam demi pertumbuhan semu. Saatnya menyelamatkan Sumatera bukan hanya untuk satwa dan pohon, tapi untuk manusia yang hidup di dalamnya.


Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS