Oleh: Lailaturrahmi Fakultas ekonomi dan bisnis universitas Andalas Padang
Pertumbuhan ekonomi sering kali dipahami sebagai sinyal positif bagi keuangan daerah. Ketika aktivitas ekonomi meningkat, sektor usaha bergerak, dan konsumsi masyarakat tumbuh, penerimaan pajak dan retribusi daerah umumnya diasumsikan ikut naik. Namun, realitas di tingkat daerah tidak selalu sesederhana itu. Pengalaman Kota Bukittinggi dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan penerimaan daerah tidak selalu berjalan searah.
Dalam struktur Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bukittinggi, pajak daerah dan retribusi daerah memegang peranan penting. Selama periode 2022–2024, pajak hotel menjadi penyumbang terbesar penerimaan pajak daerah. Dominasi pajak hotel mencerminkan karakteristik ekonomi Bukittinggi yang bertumpu pada sektor pariwisata dan jasa akomodasi. Tingginya kunjungan wisatawan dan aktivitas perhotelan memberikan kontribusi nyata terhadap penerimaan daerah. Selain itu, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) juga memberikan kontribusi signifikan, seiring dengan dinamika pembangunan perkotaan dan aktivitas transaksi properti yang terus berlangsung.
Di sisi lain, penerimaan retribusi daerah didominasi oleh retribusi jasa usaha. Retribusi ini berasal dari pemanfaatan fasilitas dan aset milik pemerintah daerah, seperti pasar, terminal, dan berbagai fasilitas ekonomi lainnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa layanan publik dan pengelolaan aset daerah memiliki potensi besar sebagai sumber pendapatan daerah, khususnya jika dikelola secara efektif dan berorientasi pada peningkatan kualitas layanan.
Namun demikian, perkembangan penerimaan pajak dan retribusi daerah di Kota Bukittinggi selama periode 2022–2024 menunjukkan pola yang fluktuatif. Pada tahun 2022, penerimaan daerah berada pada tingkat yang relatif baik seiring dengan mulai pulihnya aktivitas ekonomi pascapandemi. Akan tetapi, pada tahun 2023, penerimaan pajak dan terutama retribusi daerah justru mengalami penurunan, meskipun pertumbuhan ekonomi daerah mengalami peningkatan. Fakta ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang positif tidak serta-merta berbanding lurus dengan peningkatan penerimaan daerah.
Kondisi tersebut semakin menarik ketika memasuki tahun 2024. Pada saat laju pertumbuhan ekonomi sedikit melambat, penerimaan pajak dan retribusi daerah justru kembali meningkat, bahkan penerimaan retribusi daerah melampaui capaian tahun 2022. Fenomena ini memperlihatkan bahwa kinerja penerimaan daerah tidak hanya dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, tetapi juga oleh kebijakan fiskal daerah, efektivitas sistem pemungutan, kualitas administrasi, serta tingkat kepatuhan wajib pajak dan pengguna layanan.
Penyesuaian kebijakan pajak dan retribusi daerah melalui peraturan daerah menjadi salah satu faktor yang memengaruhi dinamika penerimaan tersebut. Kebijakan fiskal yang dirancang untuk meningkatkan PAD berpotensi memberikan dampak positif, namun juga menuntut kesiapan pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pengawasan. Tanpa tata kelola yang baik, kebijakan peningkatan tarif atau perluasan objek pungutan justru berisiko menimbulkan resistensi dan menurunkan tingkat kepatuhan.
Pengalaman Kota Bukittinggi memberikan gambaran bahwa upaya memperkuat kemandirian fiskal daerah tidak cukup hanya mengandalkan pertumbuhan ekonomi. Optimalisasi pajak dan retribusi daerah memerlukan strategi yang adaptif, terintegrasi, dan berkelanjutan. Peningkatan kualitas layanan publik, transparansi pengelolaan, serta penguatan sistem pemungutan menjadi kunci agar potensi ekonomi daerah benar-benar dapat dikonversi menjadi sumber pendanaan pembangunan.
Pada akhirnya, potret Kota Bukittinggi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah peluang, bukan jaminan. Tantangan sesungguhnya terletak pada bagaimana pemerintah daerah mampu mengelola peluang tersebut agar pajak dan retribusi daerah tidak hanya meningkat secara nominal, tetapi juga stabil dan berkelanjutan dalam mendukung pembangunan serta kemandirian fiskal daerah.
































0 Comments