Pada bulan Juni 2025, masyarakat kembali dikejutkan dengan berita ditemukannya bangkai gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) di area Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Kabupaten Pelalawan, Riau. Menurut data dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, tercatat 23 gajah telah meninggal di Tesso Nilo sejak tahun 2015, yang menandakan kesedihan dan kerentanan bagi spesies hewan terbesar di Sumatra ini. Supartono, Kepala BBKSDA Riau, menyebut tahun 2015 sebagai “masa yang sangat kelam” untuk populasi gajah, di mana kematian mereka terjadi tanpa henti karena berbagai alasan. Kejadian tragis ini bukan hanya tentang hilangnya hewan, tetapi juga tentang kerentanan ekosistem dan kegagalan kolektif dalam melindungi tempat tinggal mereka.
Tesso Nilo dikenal sebagai salah satu daerah perlindungan terakhir bagi satwa liar Sumatra. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kawasan ini menghadapi beban berat akibat pembukaan lahan ilegal, pertanian kelapa sawit, hilangnya hutan, serta meningkatnya interaksi antara manusia dan hewan. Hutan yang dulunya menjadi habitat luas bagi gajah kini terpecah menjadi bagian-bagian kecil, yang mengakibatkan gajah kehilangan jalur jelajah, sumber makanan, dan tempat tinggal yang aman. Dalam situasi yang terjepit seperti ini, konflik antara manusia dan satwa menjadi tidak dapat dihindari: gajah memasuki ladang, penduduk memasang jerat, dan siklus tragedi terulang kembali. Kematian yang terus terjadi akhirnya dianggap sebagai hal yang “biasa”, padahal itu sebenarnya adalah tanda bahaya bagi ekosistem yang sedang mengalami keruntuhan.
Di antara 23 kematian yang tercatat, penyebabnya bervariasi: beberapa mati karena jerat, keracunan, konflik dengan manusia, hingga kondisi alam yang diperburuk oleh tekanan lingkungan. Yang paling memprihatinkan adalah pola berulang yang tak kunjung berhenti. Setiap tahun muncul laporan tentang bangkai baru, tetapi inti masalahnya tidak akan pernah teratasi. Pengawasan terhadap kawasan tetap lemah, jalur pergerakan gajah semakin terbatas, dan pembalakan hutan tidak juga berhenti. Saat hutan berubah menjadi ladang dan pemukiman, gajah terpaksa memasuki wilayah yang bukan miliknya lagi. Dan saat itu terjadi, hewan tersebut hampir selalu menjadi pihak yang dirugikan.
Kejadian tragis ini menunjukkan bahwa upaya konservasi di Tesso Nilo tidak bisa hanya mengandalkan patroli, penertiban, atau penegakan hukum sesekali saja. Kematian 23 gajah seharusnya menjadi sebuah peringatan bahwa metode konservasi selama ini masih bersifat reaktif, bukan pencegahan. Perhatian hanya muncul ketika masalah terjadi; padahal akar permasalahannya adalah hilangnya habitat dan lemahnya pengelolaan kawasan. Pengelolaan taman nasional juga berhadapan dengan realitas pahit: banyak area yang seharusnya dilindungi telah beralih menjadi kebun sawit ilegal yang dikelola oleh jaringan besar yang sulit disentuh oleh hukum. Tanpa adanya keberanian untuk melaksanakan kebijakan yang tegas, keadaan ini akan terus berulang setiap tahunnya.
Krisis yang terjadi di Tesso Nilo lebih dari sekadar masalah gajah; ini juga menggambarkan benturan nyata antara konservasi dan pertumbuhan ekonomi. Di satu pihak, gajah dianggap sebagai simbol penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Di pihak lain, tekanan ekonomi dan nilai tinggi dari komoditas pertanian menjadikan area konservasi sasaran yang menguntungkan untuk diubah menjadi lahan pertanian. Karena hal ini, gajah yang seharusnya memiliki area jelajah yang luas terpaksa harus hidup di tempat yang terlalu sempit. Ketika habitat mereka semakin menyusut, hewan-hewan ini harus beradaptasi dengan cara yang dapat membahayakan diri mereka sendiri, seperti mendekati ladang, mengikuti jalur manusia, atau mencari makanan di tempat yang berbahaya. Dalam keadaan seperti ini, kematian bagi mereka seolah menjadi sesuatu yang "bisa diprediksi".
Namun, situasi ini tidak seharusnya dianggap sebagai nasib yang tidak bisa dihindari. Banyak langkah konservasi yang bisa dilakukan dengan cara yang lebih efektif. Pertama, pemulihan dan perlindungan hutan harus diutamakan tanpa kompromi. Kawasan TNTN harus dibersihkan dari perkebunan ilegal dan dikembalikan fungsinya sebagai ekosistem. Kedua, membuat koridor satwa yang menghubungkan potongan-potongan hutan dapat membantu gajah bergerak dengan lebih aman dan mengurangi kemungkinan terjadinya konflik. Ketiga, masyarakat sekitar harus dilibatkan dalam usaha konservasi, tidak hanya sebagai sasaran sosialisasi, tetapi juga sebagai mitra utama dalam pelestarian. Jika masyarakat memiliki kepentingan ekonomi dan sosial dalam perlindungan gajah, maka konflik dapat diminimalkan secara signifikan.
Selain itu, teknologi dapat memberikan kontribusi besar dalam yang berkaitan dengan pemantauan dan pengurangan risiko. Sistem pelacakan pergerakan satwa berbasis GPS, pemanfaatan drone, hingga identifikasi dini konflik dapat membantu petugas bertindak lebih cepat sebelum insiden yang tidak diinginkan terjadi. Konservasi modern tidak hanya memerlukan patroli; ia memerlukan gabungan ilmu pengetahuan, teknologi, dan pendekatan sosial yang saling terintegrasi. Dengan menurunnya jumlah gajah di Sumatra, kita tidak punya banyak waktu tersisa. Setiap kematian gajah adalah pukulan bagi seluruh ekosistem dan kehilangan yang tidak dapat digantikan.
Saat ini, Tesso Nilo berada dalam kondisi kritis. Jika kematian sebanyak 23 gajah dalam sepuluh tahun terakhir tidak dianggap sebagai tanda darurat, maka risiko kepunahan lokal bukan hanya sekadar ancaman, tetapi sebuah realita yang mengintai. Oleh karena itu, keadaan ini seharusnya menjadi momentum untuk berubah. Pemerintah, organisasi konservasi, masyarakat, sektor usaha, dan seluruh pihak terkait harus memahami bahwa pelestarian gajah memiliki kepentingan yang lebih besar daripada sekadar bagi hewan itu sendiri; ini juga menyangkut kepentingan manusia, ekologi, ekonomi, dan moral. Gajah Sumatra adalah bagian dari identitas pulau ini. Hilangnya mereka berarti hilangnya sebagian dari jiwa hutan di Sumatra.
Sekarang, pertanyaannya bukan lagi "berapa banyak gajah yang telah mati? ", tetapi "berapa banyak gajah yang bisa kita selamatkan sebelum terlambat? ". Jika kita tidak bertindak dengan cepat dan tegas, angka 23 bukanlah akhir dari tragedi, melainkan awal dari daftar yang lebih panjang. Tesso Nilo memerlukan tindakan nyata, bukan sekadar empati.
Gajah-gajah Sumatra menunggu keputusan kita hari ini untuk menentukan apakah mereka masih memiliki masa depan di tanah yang telah menjadi rumah mereka selama ribuan tahun.
































0 Comments