Oleh:Rafi Suafra. Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Andalas
Simbol Kemajuan atau Beban Fiskal?
Pada 2 Oktober 2023, Indonesia mencatatkan sejarah baru dalam dunia transportasi Asia Tenggara. Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang diberi nama Whoosh resmi beroperasi, menjadi kereta berkecepatan tinggi pertama di kawasan ini. Dengan kecepatan maksimal 350 kilometer per jam, Whoosh mampu memangkas waktu tempuh Jakarta-Bandung dari lebih dari tiga jam menjadi hanya sekitar 40-45 menit.Proyek ambisius ini diposisikan sebagai simbol modernisasi Indonesia, bukti bahwa negara kepulauan ini mampu menguasai teknologi tinggi dan bersaing di kancah global. Pemerintah Indonesia melalui PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) menghadirkan Whoosh—singkatan dari Waktu Hemat, Operasi Optimal, dan Sistem Hebat—sebagai solusi konektivitas antara dua pusat ekonomi utama di Pulau Jawa.Namun, di balik gemerlap teknologi dan prestise nasional tersebut, muncul pertanyaan krusial: apakah proyek ini benar-benar memberikan manfaat ekonomi yang sebanding dengan biaya yang harus ditanggung? Atau justru menciptakan beban fiskal baru bagi negara?
Janji Awal yang Berubah
Ketika proyek ini diinisiasi tahun 2016, Presiden Joko Widodo memberikan jaminan tegas: pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung tidak akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Proyek ini dipromosikan sebagai inisiatif bisnis murni yang dibiayai konsorsium BUMN Indonesia (60%) dan mitra dari China (40%),
Realitanya? Janji tersebut tidak bertahan lama.
Pembengkakan biaya proyek mencapai US$1,2 miliar, mendorong total investasi melonjak menjadi US$7,27 miliar atau sekitar Rp110 triliun. Kenaikan drastis ini memaksa pemerintah mengalokasikan dana APBN untuk menutupi kekurangan biaya. Yang semula dijanjikan sebagai proyek bisnis murni, kini bertransformasi menjadi proyek semi-publik dengan risiko fiskal yang signifikan.
Biaya Konstruksi yang Mencengangkan
Salah satu aspek paling memprihatinkan dari proyek Whoosh adalah tingginya biaya konstruksi per kilometer. Dengan panjang lintasan 142,3 kilometer, biaya pembangunan mencapai sekitar US$51 juta per kilometer—setara Rp770-800 miliar per kilometer. Jika dibandingkan dengan negara lain:
• China: US$17-30 juta per kilometer
• Jepang dan Eropa Barat: US$30-45 juta per kilometer
Biaya Whoosh berada di spektrum tertinggi, bahkan melampaui proyek serupa di negara-negara maju. Beberapa faktor penyebab tingginya biaya ini antara lain:
Kondisi Geografis Kompleks: Jalur yang melintasi perbukitan, sungai, dan kawasan urban padat memerlukan konstruksi jalur layang sepanjang 53,54 km dan terowongan sepanjang 15,63 km, termasuk Terowongan Walini yang mencapai 4,4 kilometer—salah satu terpanjang di Asia Tenggara.
Pembebasan Lahan yang Berlarut: Proses akuisisi lahan yang terlambat menyebabkan penyesuaian desain dan eskalasi harga material serta tenaga kerja.
Lemahnya Perencanaan Awal: Estimasi biaya yang tidak akurat dan koordinasi yang kurang solid antarpemangku kepentingan menghasilkan cost overrun yang masif.
Tantangan Operasional: Kursi Kosong dan Kerugian Menggunung
Setelah beroperasi, tantangan terbesar Whoosh bukanlah soal kecepatan atau teknologi, melainkan jumlah penumpang. Tingkat okupansi yang rendah menjadi masalah serius mengingat besarnya investasi yang telah ditanamkan.Harga tiket Whoosh berkisar antara Rp250.000 hingga Rp350.000 untuk sekali perjalanan—angka yang cukup tinggi bagi rata-rata masyarakat Indonesia. Akibatnya, layanan ini lebih banyak digunakan oleh kalangan menengah ke atas dan wisatawan, bukan sebagai transportasi komuter harian yang inklusif.Konsekuensi finansialnya mengkhawatirkan. Berdasarkan data PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), proyek ini mencatatkan kerugian sebesar Rp4,19 triliun pada tahun 2024. Kerugian masif ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah kajian kelayakan ekonomi (cost-benefit analysis) telah dilakukan secara komprehensif sebelum proyek dimulai?
Pendapatan operasional yang diperoleh belum mampu menutupi:
• Biaya operasional harian
• Biaya pemeliharaan dengan standar tinggi
• Ketergantungan pada suku cadang dan tenaga ahli asing
• Kewajiban pembayaran utang kepada China Development Bank
Paradoks Efisiensi vs Prestise
Meskipun Whoosh memangkas waktu tempuh secara signifikan, tingginya biaya investasi dan operasional justru menurunkan efisiensi ekonomi proyek. Infrastruktur ini berfungsi sebagai simbol kebanggaan nasional, tetapi sekaligus menciptakan beban keuangan jangka panjang.
Paradoks Pemerataan vs Eksklusivitas
Pembangunan infrastruktur publik seharusnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas. Namun, harga tiket yang tinggi membuat Whoosh lebih mudah diakses kelompok menengah ke atas, belum berfungsi sebagai transportasi massal yang inklusif. Manfaat proyek berskala besar ini belum dirasakan merata.
Paradoks Kemandirian vs Ketergantungan
Meskipun dipresentasikan sebagai bukti kemajuan teknologi nasional, pembangunan dan operasional Whoosh sangat bergantung pada pinjaman luar negeri, teknologi asing, dan tenaga ahli dari China. Ketergantungan ini meningkatkan risiko fiskal dan melemahkan kemandirian ekonomi jangka panjang.
Paradoks Percepatan vs Kualitas Perencanaan
Dorongan untuk segera merealisasikan proyek strategis nasional tidak diimbangi perencanaan matang, khususnya dalam estimasi biaya dan analisis manfaat ekonomi. Akibatnya, pembengkakan biaya dan tekanan finansial menjadi konsekuensi yang muncul di tahap operasional.
Rencana Ekspansi: Mengulangi Kesalahan yang Sama?
Pemerintah merencanakan perpanjangan jalur kereta cepat hingga Surabaya, melintasi Yogyakarta dan kawasan pegunungan selatan Jawa. Rencana ini menimbulkan kekhawatiran baru:
• Kontur tanah tidak rata akan meningkatkan biaya konstruksi
• Pembebasan lahan di kawasan padat akan memakan waktu dan biaya besar
• Risiko finansial bertambah jika proyek tahap pertama belum menunjukkan kinerja keuangan yang sehat
Pembelajaran untuk Masa Depan
Proyek Whoosh memberikan pelajaran berharga tentang pembangunan infrastruktur strategis di Indonesia:
1.Pentingnya Perencanaan Komprehensif
Cost-benefit analysis yang realistis, transparan, dan komprehensif harus menjadi prasyarat mutlak sebelum proyek dimulai. Analisis risiko fiskal jangka panjang tidak boleh diabaikan.
2. Disiplin Fiskal yang Ketat
Model pembiayaan harus dirancang untuk mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri dan meminimalkan potensi beban APBN di masa mendatang. Janji "tidak membebani APBN" harus benar-benar dijaga.
3. Inklusivitas sebagai Prioritas
Infrastruktur publik harus benar-benar melayani publik, bukan hanya kelompok tertentu. Strategi tarif yang lebih inklusif dan integrasi antarmoda transportasi perlu dioptimalkan agar Whoosh berfungsi sebagai transportasi publik harian yang terjangkau.
4.Evaluasi Sebelum Ekspansi
Pengembangan proyek lanjutan sebaiknya ditunda hingga proyek tahap pertama menunjukkan kinerja keuangan dan operasional yang stabil serta berkelanjutan. Ekspansi yang terburu-buru hanya akan menggandakan masalah.
5. Orientasi pada Keberlanjutan
Pembangunan infrastruktur berteknologi tinggi harus berorientasi pada keadilan sosial dan keberlanjutan ekonomi, bukan sekadar menjadi simbol prestise nasional.
Kesimpulan: Antara Ambisi dan Realitas
Kereta Cepat Whoosh adalah tonggak penting dalam sejarah transportasi Indonesia.
Dari sisi teknis, proyek ini menunjukkan pencapaian signifikan melalui penerapan teknologi kereta berkecepatan tinggi dan peningkatan konektivitas antarwilayah.
Namun, keberhasilan teknis tersebut belum diiringi keberlanjutan ekonomi dan fiskal. Pembengkakan biaya US$1,2 miliar, tingginya biaya konstruksi per kilometer, rendahnya okupansi penumpang, dan kerugian Rp4,19 triliun pada 2024 mempertegas adanya tekanan serius terhadap keberlanjutan finansial proyek.
Whoosh mencerminkan dilema pembangunan modern Indonesia ambisi besar untuk menunjukkan kemajuan global yang belum sepenuhnya diimbangi dengan perencanaan ekonomi yang matang, analisis manfaat-biaya yang komprehensif, serta strategi keberlanjutan jangka panjang.
































0 Comments