Oleh: Rizfan Rota Mahasiswa Jurusan Biologi, Universitas Andalas
Sirene ambulans meraung, warga berlarian menyelamatkan barang seadanya, dan aliran air coklat pekat menghantam rumah-rumah penduduk pemandangan itu kembali terjadi dalam peristiwa banjir besar yang melanda beberapa wilayah Indonesia beberapa pekan terakhir. Dari Sumatra Barat, Sumatera Utara, Aceh, dan beberapa wilayah lainnya, ribuan rumah terendam, puluhan jembatan runtuh, lahan pertanian hancur, dan aktivitas masyarakat lumpuh total. Setiap kali air bah datang, luka sosial-ekonomi muncul bersama tangis masyarakat yang harus kehilangan rumah, harta benda, bahkan keluarga yang dicintai. Banyak yang menyebut banjir ini sebagai bencana alam. Namun kenyataannya tidak sesederhana itu. Di balik setiap banjir bandang yang menggulung kota dan desa, ada cerita panjang tentang hutan-hutan yang ditebang, pegunungan yang gundul, dan tanah yang kehilangan kekuatannya untuk menahan air. Banjir bukan lagi sekadar peristiwa musiman, melainkan konsekuensi dari rusaknya sistem ekologis yang seharusnya melindungi manusia.
Indonesia telah lama dikenal sebagai negara dengan kekayaan hutan tropis terbesar ketiga di dunia. Hutan-hutan itu bukan sekadar ruang hijau, tetapi sistem penyangga kehidupan. Pohon-pohon besar dengan akar kuat mampu menyerap air hujan, mencegah erosi, menahan longsor, dan menjaga keseimbangan air tanah. Sementara kanopi hutan menahan curahan hujan agar tidak langsung menghantam permukaan tanah. Semua komponen ekosistem bekerja harmonis, menjaga agar wilayah hilir aman dari limpasan air berlebih. Namun dalam beberapa dekade terakhir, tutupan hutan di Indonesia mengalami penyusutan drastis. Penebangan liar, ekspansi perkebunan kelapa sawit, pembangunan tambang, serta pembukaan lahan tidak terencana membuat hutan kehilangan fungsinya. Ketika hutan digunduli, tanah menjadi rapuh dan mudah tergerus. Air hujan yang seharusnya terserap akar berubah menjadi aliran permukaan yang deras menuju sungai, menyebabkan peningkatan debit air secara tiba-tiba. Sungai yang dangkal karena sedimentasi tidak mampu lagi menampung air, dan akhirnya meluap.
Bencana banjir bukan hanya merusak fisik, tetapi juga membawa dampak sosial dan ekonomi yang panjang. Kerugian miliaran hingga triliunan rupiah harus dikeluarkan untuk perbaikan infrastruktur, bantuan logistik, evakuasi, dan pemulihan pasca bencana. Ribuan hektar sawah gagal panen, mengancam ketahanan pangan dan pendapatan petani. Sekolah dan fasilitas kesehatan terpaksa ditutup, memperlambat pemulihan kualitas hidup masyarakat. Di salah satu daerah terdampak, seorang warga mengungkapkan kekecewaannya: “Dulu tidak pernah separah ini. Setelah hutan di bukit atas ditebang untuk kebun sawit, setiap hujan besar pasti banjir. Kami tidak punya pilihan selain mengungsi.” Pernyataan ini menggambarkan realitas pahit: masyarakat kecil menjadi korban dari keputusan keliru yang terjadi jauh di tingkat kebijakan.
Ironisnya, konservasi lingkungan sering menjadi komitmen manis dalam pidato formal, tetapi kehilangan makna ketika berbenturan dengan kepentingan ekonomi. Regulasi dibuat namun implementasi longgar. Penegakan hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Pelaku penebangan kecil ditangkap, sementara jaringan besar tetap bebas beroperasi. Konservasi yang sejati bukan sekadar aksi menanam bibit pohon untuk keperluan dokumentasi dan seremoni. Pohon-pohon itu perlu dirawat bertahun-tahun hingga menjadi penyangga ekosistem. Konservasi juga berarti merestorasi hutan yang telah rusak, mengawasi izin industri ekstraktif, menjaga daerah resapan air, serta menempatkan keselamatan manusia sebagai prioritas utama dalam pembangunan. Kita sering bicara tentang kemajuan ekonomi, tetapi jarang menghitung biaya ekologis yang harus dibayar masyarakat. Jika setiap bencana mengakibatkan kerugian besar, benarkah perusakan hutan membawa kesejahteraan?
Bencana ekologis tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak saja. Dibutuhkan kolaborasi nyata. Pemerintah harus menerapkan penegakan hukum yang tegas, bukan sekadar wacana menjelang pemilihan. Perusahaan harus mengutamakan prinsip keberlanjutan dan tidak mengejar keuntungan dengan mengorbankan lingkungan. Masyarakat harus berani mengawasi dan menolak proyek yang merusak ruang hidup mereka. Akademisi dan peneliti perlu memberikan rekomendasi ilmiah berbasis data untuk pengelolaan ekosistem. Generasi muda harus dibekali pendidikan lingkungan agar memahami bahwa masa depan bumi berada di tangan mereka. Banyak daerah di dunia berhasil menerapkan konservasi dengan serius. Negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan beberapa wilayah Eropa melakukan rehabilitasi hutan besar-besaran dan berhasil mengurangi risiko banjir dan longsor. Indonesia, dengan kekayaan alam yang jauh lebih besar, seharusnya mampu melakukan hal yang sama jika ada komitmen kuat dan konsistensi kebijakan.
Setiap banjir yang datang adalah sebuah peringatan. Hutan yang hilang tidak akan tumbuh kembali dalam semalam. Jika kerusakan terus berlangsung, kita hanya menunggu bencana yang lebih besar. Tidak ada teknologi modern yang bisa menggantikan peran hutan sebagai pelindung alami bumi. Hutan adalah pelindung terakhir kita. Jika hari ini kita membiarkannya lenyap, maka esok anak cucu kita hanya akan mewarisi cerita: bahwa dulu pernah ada benteng hijau yang menjadi penjaga negeri ini. Dan ketika mereka bertanya mengapa semua itu hilang, jawaban tersulit adalah karena kita tidak menjaganya. Saatnya bertindak, bukan besok, bukan minggu depan tetapi sekarang. Karena ketika hutan hilang, bencana akan datang tanpa mengetuk pintu. Kini kita berada di persimpangan: Apakah kita akan terus membiarkan penebangan hutan demi keuntungan sesaat, atau mungkin kita memilih memperjuangkan konservasi demi masa depan yang aman dan layak?. Air bah yang menghancurkan rumah, sekolah, dan jembatan adalah suara alam yang memanggil kita untuk berubah. Dan perubahan itu harus dimulai sekarang bukan setelah kota tenggelam lagi, bukan setelah lebih banyak korban jatuh. Karena ketika hutan gugur, kita semua akan tenggelam. Dan ketika kita menjaga hutan, kita menjaga kehidupan.
































0 Comments