Ticker

6/recent/ticker-posts

Bencana Banjir Sumatra: Alarm Besar Bagi Konservasi Hutan dan Pesisir


Oleh Adinda Pratiwi Mahasiswa Jurusan Biologi Universitas Andalas


Bencana banjir yang kembali menghantam Sumatra seharusnya tidak dianggap sebagai kejadian alam biasa saja. Banjir yang merendam pemukiman, menghancurkan tanah, dan menyebabkan korban jiwa sebenarnya menunjukkan masalah lingkungan yang lebih serius: kerusakan ekosistem yang telah menumpuk dan kini menuntut balasannya. Banjir yang membawa batang kayu besar hingga ke Pantai Parkit Padang bukanlah kebetulan, melainkan bukti nyata bahwa hutan di daerah hulu telah kehilangan kemampuan untuk menahan air dan menjaga keseimbangan lingkungan.

Kayu-kayu yang bertebaran di pantai tidak muncul tiba-tiba. Potongan-potongan pohon yang terbawa arus menandakan bahwa banjir membawa tanda-tanda kerusakan lingkungan dari daerah pegunungan ke pesisir. Saat tutupan hutan berkurang karena penebangan, perubahan fungsi lahan, serta kegiatan pertanian dan perkebunan tanpa pengendalian, kemampuan tanah menyerap air turun drastis. Hujan yang seharusnya disimpan oleh akar pohon malah mengalir deras dengan kekuatan merusak, mengisi sungai dan menyapu segala sesuatu hingga ke muara dan pantai. Laut serta pesisir, yang dulunya dianggap terlindung dari ancaman darat, kini menjadi "korban terakhir" dari bencana lingkungan ini.

Dampaknya tidak hanya terbatas pada kerusakan fisik. Ekosistem pesisir yang menjadi rumah bagi biota laut juga terganggu. Tumpukan kayu dan bahan organik dalam jumlah besar bisa mengubah kadar garam air, menutup dasar pantai, dan mengganggu organisme kecil yang menjadi dasar rantai makanan. Masyarakat pesisir pun terkena imbasnya: pariwisata terganggu, pendapatan nelayan menurun, dan wilayah pesisir kehilangan keindahan serta nilai ekologisnya. Semua ini menunjukkan hubungan erat antara hutan di hulu dan kehidupan di pesisir.

Fakta ini seharusnya membuat kita sadar bahwa pelestarian lingkungan tidak boleh dipisahkan antara darat dan laut. Melindungi pesisir tanpa menjaga hutan sama dengan membiarkan bom waktu yang akan meledak lagi sebagai bencana. Hutan bukan sekadar hamparan hijau, tapi pertahanan utama melawan bencana hidrometeorologi. Jika pertahanan itu hancur, bencana di hilir hanya soal waktu. Oleh karena itu, upaya mengatasi banjir tidak boleh hanya fokus pada tanggul, saluran air, dan penanganan darurat. Diperlukan keberanian untuk memulihkan fungsi ekologis daerah hulu agar siklus air kembali normal secara alami.

Dari sudut pandang sosial, masyarakat tidak boleh menjadi satu-satunya yang menanggung beban bencana. Penegakan hukum terhadap penebangan liar, perluasan perkebunan besar yang menghilangkan hutan, serta eksploitasi alam tanpa kajian lingkungan harus menjadi prioritas pemerintah pusat dan daerah. Selama kerusakan vegetasi dibiarkan, banjir akan menjadi kejadian tahunan yang semakin parah, bukan semakin terkendali. Selain itu, perusahaan dan pelaku bisnis yang mengelola sumber daya alam harus berkomitmen pada rehabilitasi dan konservasi yang nyata, bukan hanya kata-kata.

Di lain pihak, masyarakat perlu dikuatkan melalui pendidikan lingkungan dan keterlibatan langsung dalam kegiatan pelestarian. Ketika masyarakat menjadi penjaga ekosistem, konservasi akan memiliki dasar sosial yang kokoh. Program seperti penanaman pohon oleh komunitas, kelompok warga yang menjaga tepi sungai, dan pelatihan mengurangi bencana bukan hanya solusi teknis, tapi juga cara membangun rasa memiliki bersama terhadap lingkungan. Pengelolaan daerah aliran sungai yang melibatkan masyarakat, akademisi, pemerintah, dan swasta adalah bentuk kerja sama paling realistis untuk membalikkan tren kerusakan lingkungan.

Bencana banjir ini adalah peringatan kuat bahwa konservasi bukan opsional, melainkan kebutuhan dasar untuk melindungi kehidupan. Jika kita ingin memastikan pesisir tidak lagi menjadi tempat sampah kayu dari hulu, maka hutan harus dipulihkan, daerah penyerap air diperkuat, dan pengelolaan lingkungan dilakukan secara adil serta transparan. Sumatra masih punya kesempatan besar menjaga kekayaan alamnya tapi waktu tidak mendukung sikap ragu dan lalai.

Kesadaran masyarakat perlu dibangkitkan bahwa kerusakan lingkungan bukan masalah abstrak, melainkan ancaman nyata yang memengaruhi kehidupan sehari-hari. 

Banjir yang membanjiri rumah, lumpur yang menyumbat jalan, hingga kayu yang memenuhi pantai adalah cerminan hubungan manusia dengan alam yang sudah tidak seimbang. Oleh karena itu, perubahan kebijakan, perilaku, dan pengelolaan alam harus dilakukan sekarang, bukan nanti.

Banjir di Sumatra bukan sekadar bencana, tapi alarm besar tentang masa depan konservasi hutan dan pesisir Indonesia. Jika alarm ini diabaikan, masyarakatlah yang akan membayar mahal. 

Namun jika dijadikan titik balik, momentum bencana bisa berubah menjadi awal pemulihan. Kita punya pilihan, dan pilihan itu akan menentukan warisan ekologis untuk generasi berikutnya.


Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS