Ticker

6/recent/ticker-posts

BANJIR ACEH AKHIR NOVEMBER–AWAL DESEMBER 2025: CURAH HUJAN EKSTREM PICU TRAGEDI BESAR, RATUSAN KORBAN JIWA DITEMUKAN


Sania Khoirina Mahasiswa Jurusan Biologi, Universitas Andalas, Padang. Email: saniakhoirina14@gmail.com


Provinsi Aceh kembali diterjang bencana besar pada akhir November hingga awal Desember 2025. Banjir dan longsor yang terjadi di hampir seluruh wilayah Aceh telah menimbulkan dampak yang begitu luas dan memilukan. Ribuan rumah rusak, ribuan hektare lahan pertanian tenggelam, puluhan jembatan putus, dan aktivitas masyarakat lumpuh total. Lebih memilukan lagi, jumlah korban jiwa yang ditemukan terus bertambah dalam beberapa hari terakhir. Bencana kali ini disebut sebagai salah satu kejadian hidrometeorologi terbesar yang melanda Aceh dalam dua dekade terakhir.

Menurut data terbaru dari Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), curah hujan ekstrem dengan intensitas di atas normal menjadi pemicu utama banjir besar tahun ini. Hujan turun tanpa henti selama beberapa hari, menyebabkan sungai-sungai besar seperti Krueng Aceh, Krueng Tamiang, dan Krueng Pase meluap dengan cepat. Tidak hanya banjir, longsor besar juga terjadi di sejumlah wilayah pegunungan, memutus akses jalan dan menimbun permukiman warga. BMKG melaporkan bahwa fenomena ini merupakan dampak dari anomali iklim regional dan global yang memperkuat pembentukan awan konvektif dalam skala luas.

Bencana ini berdampak pada hampir seluruh kabupaten/kota di Aceh, namun daerah paling parah meliputi Aceh Tamiang, Aceh Utara, Aceh Timur, Nagan Raya, Aceh Barat, dan Aceh Tengah. Di wilayah tersebut, air mencapai ketinggian 1 hingga 3 meter, menenggelamkan rumah-rumah dalam waktu singkat. Banyak warga tidak sempat menyelamatkan barang-barang berharga, bahkan beberapa korban ditemukan meninggal dunia saat berusaha melarikan diri dari arus banjir yang sangat deras.

Hingga laporan terakhir pada 8 Desember 2025, sebanyak 349 orang ditemukan meninggal dunia, dan 92 orang masih dinyatakan hilang. Jumlah korban ini diperkirakan masih bisa bertambah mengingat banyak desa yang masih terisolasi dan belum dapat dijangkau tim penyelamat. Terdapat pula korban yang diduga tertimbun longsor di wilayah dataran tinggi, terutama di Aceh Tengah dan Gayo Lues. Para relawan dan tim SAR terus bekerja tanpa henti meski cuaca buruk dan medan sangat sulit ditembus.

Selain itu, jumlah warga yang terdampak bencana juga sangat besar. Lebih dari 1.404.130 jiwa dilaporkan terpengaruh banjir dan longsor, sedangkan 775.346 jiwa terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman. Mereka tersebar di lebih dari 824 titik pengungsian di seluruh Aceh. Banyak dari titik pengungsian tersebut mengalami kekurangan logistik, terutama makanan, air bersih, selimut, obat-obatan, dan keperluan bayi. Beberapa posko melaporkan adanya kasus penyakit kulit dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akibat kondisi lingkungan yang lembap dan sanitasi yang kurang memadai.

Sementara itu, dampak ekonomi akibat bencana ini sangat besar. Ribuan hektare sawah dan ladang yang siap panen rusak total. Petani di Aceh Utara dan Aceh Barat mengalami kerugian berat karena padi yang telah menguning terendam banjir selama beberapa hari. Kerusakan ini diperkirakan menyebabkan lonjakan harga bahan pangan di tingkat lokal. Para peternak ikan air tawar juga mengalami kerugian besar, karena banyak kolam ikan jebol dan ikan hanyut terbawa banjir.

Di sektor pendidikan, ratusan sekolah terendam, buku dan peralatan belajar rusak, serta kegiatan belajar mengajar dihentikan sementara. Beberapa sekolah bahkan dijadikan posko pengungsian karena tidak adanya tempat lain yang aman bagi warga. Di sisi lain, fasilitas kesehatan juga terkena dampak. Beberapa puskesmas terendam dan tidak dapat beroperasi, membuat akses pelayanan kesehatan terganggu. Petugas medis bekerja keras memberikan pelayanan darurat meskipun fasilitas terbatas.

Penyebab banjir besar ini tidak hanya karena curah hujan ekstrem, tetapi juga diperparah oleh kondisi lingkungan yang terus memburuk. Beberapa daerah aliran sungai (DAS) di Aceh mengalami penurunan kualitas akibat pembukaan lahan, penebangan hutan, dan aktivitas pertambangan ilegal. Berkurangnya tutupan vegetasi membuat tanah kehilangan kemampuan menyerap air, sehingga air hujan langsung mengalir ke sungai dan menyebabkan luapan dalam waktu singkat. Sedimentasi sungai yang semakin parah juga mengurangi kapasitas sungai untuk menampung air hujan.

Banyak pakar lingkungan menyatakan bahwa Aceh sedang berada dalam fase rawan bencana yang membutuhkan penanganan serius. Rehabilitasi hutan, perbaikan DAS, normalisasi sungai, serta pembenahan tata ruang wilayah harus segera dilakukan agar bencana serupa tidak terus berulang setiap tahun. Tanpa langkah-langkah ini, Aceh akan tetap menjadi daerah yang rentan terhadap banjir besar setiap musim hujan.

Upaya Konservasi dan Mitigasi

Kementerian Kehutanan mengalokasikan Rp29 miliar untuk rehabilitasi DAS di Aceh, menargetkan reboisasi 464.598 hektare lahan kritis melalui penanaman di kawasan hutan dan kebun rakyat. BKSDA Aceh mengerahkan 4 gajah terlatih di Pidie Jaya untuk pemulihan lingkungan pasca-banjir di area sulit dijangkau alat berat, dengan survei ketat menjaga kesejahteraan satwa. Pemkab Aceh Jaya merumuskan strategi mitigasi berbasis data bersama BNPB, termasuk sistem peringatan dini, reforestasi DAS, dan tata ruang ulang untuk cegah banjir berulang.

Pemerintah Aceh, TNI, Polri, BPBD, dan berbagai lembaga kemanusiaan telah bergerak cepat dalam penanganan darurat. Perahu karet, alat berat, dapur umum, dan logistik bantuan terus didistribusikan ke wilayah terdampak. Tim SAR gabungan terus melakukan pencarian korban hilang di daerah yang susah dijangkau. Namun hingga kini, beberapa wilayah masih terisolasi akibat jalan putus, jembatan roboh, atau tertimbun longsor. Kondisi cuaca yang masih sering hujan juga menjadi tantangan besar bagi tim penyelamat di lapangan.

Solidaritas masyarakat Indonesia untuk Aceh terlihat sangat kuat. Berbagai komunitas, organisasi mahasiswa, lembaga kemanusiaan, dan warga dari berbagai provinsi membuka donasi serta mengirimkan bantuan. Media sosial dipenuhi dengan informasi penggalangan dana, lokasi posko, daftar kebutuhan mendesak, dan update kondisi terkini dari relawan di lapangan. 

Semangat gotong royong ini memberikan harapan bahwa masyarakat Aceh tidak sendirian menghadapi bencana berat ini.

Meski demikian, fase pemulihan pasca-bencana diperkirakan akan membutuhkan waktu lama. Perbaikan infrastruktur, pemulihan ekonomi masyarakat, pembangunan kembali rumah warga, dan rehabilitasi lingkungan memerlukan biaya yang sangat besar. Pemerintah daerah dan pusat diharapkan dapat bekerja sama untuk memastikan bahwa penanganan dilakukan secara cepat, tepat, dan berkelanjutan.

Tragedi banjir Aceh pada akhir November hingga awal Desember 2025 menjadi pengingat betapa besar ancaman perubahan iklim dan kerusakan lingkungan terhadap kehidupan manusia. Banjir tidak lagi menjadi kejadian musiman biasa, melainkan bencana besar yang menelan korban jiwa dan kerugian dalam skala luas. 

Aceh membutuhkan perhatian serius, dukungan penuh, dan langkah nyata untuk memastikan keselamatan masyarakatnya di masa depan.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS