Politik Indonesia tahun 2025 tampak semakin ramai, bahkan bisa dibilang terlalu berisik. Setiap hari, ruang publik baik di media massa maupun media sosial dipenuhi dengan suara politisi, pejabat publik, dan para pendukungnya. Mereka berbicara tentang kebijakan, capaian, janji, dan kadang juga saling serang. Namun di tengah kebisingan itu, satu hal justru terasa hilang: kemampuan untuk mendengar.
Komunikasi politik seharusnya menjadi jembatan antara pemerintah dan rakyat, bukan sekadar alat untuk membangun citra atau mempertahankan kekuasaan. Sayangnya, komunikasi politik kita masih sering dijalankan secara satu arah: dari atas ke bawah, dari penguasa kepada publik. Pemerintah atau politisi sibuk berbicara tentang program dan keberhasilan, tetapi jarang benar-benar membuka ruang untuk mendengar suara rakyat yang hidup dengan kenyataan di lapangan.
Era digital memang mengubah cara komunikasi berlangsung. Media sosial seperti TikTok, Instagram, dan YouTube kini menjadi arena utama di mana para politisi berlomba menarik perhatian publik. Setiap kebijakan disulap menjadi konten singkat yang menarik, penuh efek visual dan slogan yang mudah diingat. Namun, di balik kemasan yang menarik itu, seringkali substansi pesan menjadi kabur. Politik berubah menjadi pertunjukan; kata-kata menjadi strategi, bukan lagi cerminan kejujuran.
Fenomena ini melahirkan apa yang disebut banyak pengamat sebagai “krisis komunikasi publik.” Masyarakat kini lebih kritis, lebih melek informasi, dan lebih cepat bereaksi terhadap isu-isu politik. Tetapi di sisi lain, mereka juga dibanjiri oleh hoaks, manipulasi data, dan ujaran kebencian yang membuat batas antara fakta dan opini semakin tipis. Akibatnya, suara rakyat seringkali tenggelam di tengah hiruk-pikuk informasi yang saling bertabrakan.
Masalah lain yang menonjol adalah ketidaksinkronan komunikasi di tubuh pemerintah sendiri. Tidak jarang, pernyataan antarpejabat saling bertentangan, menimbulkan kebingungan di publik. Sebagai contoh, kebijakan ekonomi atau sosial yang diumumkan di pusat kadang tidak sejalan dengan implementasi di daerah. Hal ini memperkuat kesan bahwa komunikasi politik kita lebih fokus pada pencitraan ketimbang konsistensi.
Padahal, dalam sistem demokrasi, komunikasi politik yang sehat harus berjalan dua arah. Pemerintah berbicara, rakyat menanggapi; pejabat menjelaskan, masyarakat memberikan umpan balik. Proses mendengar itu penting karena menjadi sarana untuk mengoreksi kebijakan, memahami kebutuhan rakyat, dan memperbaiki kepercayaan yang selama ini menurun. Tetapi justru di sinilah titik lemahnya politik kita: terlalu banyak bicara, terlalu sedikit mendengar.
Kegagalan mendengar rakyat bisa berdampak serius. Ketika suara rakyat diabaikan, muncul jarak antara kebijakan dan realitas sosial. Program-program yang seharusnya menolong justru menjadi beban karena tidak sesuai kebutuhan masyarakat. Contohnya, berbagai program bantuan sosial yang dikampanyekan besar-besaran di media, namun pelaksanaannya di lapangan sering tidak tepat sasaran. Di sinilah letak pentingnya komunikasi yang empatik komunikasi yang bukan hanya menyampaikan, tetapi juga memahami.
Di tengah tantangan ini, literasi politik dan digital menjadi kunci. Rakyat perlu dibekali kemampuan untuk menilai pesan politik secara kritis, agar tidak mudah termakan propaganda atau hoaks. Namun tanggung jawab terbesar tetap berada di tangan pemerintah dan para politisi. Mereka harus mengubah gaya komunikasi dari monolog menjadi dialog. Rakyat bukan objek yang hanya mendengar, melainkan subjek yang harus didengarkan.
Sudah saatnya komunikasi politik di Indonesia bertransformasi dari sekadar panggung citra menjadi ruang dialog yang tulus. Pemerintah perlu menunjukkan keterbukaan terhadap kritik, bukan menghindarinya. Politisi perlu berani berbicara dengan kejujuran, bukan sekadar mencari simpati. Dan media sosial yang selama ini menjadi sumber kebisingan politik bisa menjadi ruang belajar bersama, jika digunakan dengan bijak dan bertanggung jawab.
Politik yang berisik mungkin tampak hidup, tetapi tanpa kemampuan mendengar, ia kehilangan makna. Sebab, inti dari demokrasi bukan pada siapa yang paling keras berbicara, melainkan siapa yang paling tulus mendengar. Jika para pemimpin mampu membuka telinga seluas mereka membuka mulut, mungkin politik kita akan lebih tenang dan yang lebih penting, lebih manusiawi.
0 Comments