Oleh: Ahmad Hadi Radhiyallah mahasiswa ilmu politik universitas Andalas Padang
Dalam satu dekade terakhir, politik Indonesia mengalami perubahan besar. Jika dulu opini publik dibentuk oleh media konvensional seperti televisi dan koran, kini kekuatan baru bernama algoritma media sosial menjadi aktor tak kasat mata yang menentukan arah pikiran politik masyarakat. Fenomena ini bukan sekadar persoalan teknologi, tetapi juga menandai lahirnya budaya politik baru budaya politik digital yang diwarnai logika algoritmik.
Media sosial hari ini bukan hanya ruang ekspresi, tetapi juga arena politik yang kompleks. Setiap like, share, atau komentar yang kita berikan adalah data yang dikumpulkan oleh algoritma untuk memetakan preferensi kita. Ia kemudian bekerja seperti “kurator politik”, menyajikan konten yang sesuai dengan pandangan kita. Akibatnya, pengguna kerap terjebak dalam ruang gema (echo chamber), di mana mereka hanya mendengar opini yang serupa dengan keyakinan sendiri.
Paradoks muncul di sini. Di satu sisi, media sosial memperluas partisipasi politik. Generasi muda kini lebih mudah mengakses informasi, menyuarakan pendapat, bahkan mengorganisasi gerakan sosial melalui platform digital. Namun di sisi lain, algoritma justru mempersempit ruang dialog dengan menyajikan informasi yang bias dan bersifat konfirmatif.
Budaya politik yang seharusnya rasional dan deliberatif berubah menjadi budaya politik yang emosional dan reaktif. Dalam masa pemilu, misalnya, konten politik di media sosial sering kali bukan soal gagasan atau visi calon, melainkan narasi berbasis emosi dan sentimen. Akibatnya, masyarakat tidak lagi memilih berdasarkan pertimbangan rasional, tetapi karena afiliasi digital dan persepsi yang dibentuk algoritma.
Kini, politik bukan lagi perebutan kekuasaan, melainkan perebutan perhatian digital. Popularitas di dunia maya sering kali lebih menentukan daripada substansi gagasan. Fenomena ini memperlihatkan gejala komodifikasi opini public di mana algoritma menjadi instrumen kekuasaan baru yang mengatur siapa yang didengar dan siapa yang tenggelam dalam kebisingan dunia maya.
Teori budaya politik yang dikemukakan Gabriel Almond dan Sidney Verba menekankan bahwa partisipasi politik idealnya tumbuh dari kesadaran dan pengetahuan warga negara terhadap sistem politiknya. Namun di era algoritmik, kesadaran politik itu sering kali semu. Banyak pengguna media sosial merasa terlibat dalam politik, padahal yang terjadi hanyalah konsumsi konten yang dikendalikan sistem algoritmik. Partisipasi digital menjadi ilusi keterlibatan yang menenangkan, tetapi tidak mengubah apa pun di dunia nyata. sNamun, kesalahan tidak sepenuhnya ada pada teknologi. Budaya politik digital juga mencerminkan karakter masyarakat kita. Ketika publik lebih menyukai isu sensasional ketimbang substansi kebijakan, algoritma pun “belajar” untuk memprioritaskan konten emosional. Dengan kata lain, algoritma hanyalah cermin dari kebiasaan kita sendiri. Apa yang kita klik hari ini, menentukan arah politik kita esok
Menghadapi fenomena ini, kuncinya adalah literasi digital dan kesadaran politik kritis. Masyarakat perlu memahami cara kerja algoritma dan dampaknya terhadap opini politik. Perguruan tinggi, media, dan lembaga publik memiliki tanggung jawab menumbuhkan budaya politik digital yang sehat di mana warga tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga produsen gagasan yang sadar akan nilai kebenaran dan keberagaman pandangan.
Kita memerlukan transformasi budaya politik yang tidak tunduk pada logika algoritma semata, melainkan berpijak pada rasionalitas, empati, dan tanggung jawab sosial. Demokrasi digital seharusnya menjadi ruang untuk memperluas partisipasi dan memperkuat kualitas wacana publik, bukan medan tempur opini yang dikendalikan sistem tak terlihat.
Di tengah derasnya arus informasi, kesadaran kritis menjadi senjata utama untuk menjaga kualitas demokrasi kita. Budaya politik yang sehat hanya tumbuh ketika masyarakat mampu berdialog di atas perbedaan, bukan sekadar bereaksi terhadap apa yang tampil di layar gawai mereka. Karena pada akhirnya, demokrasi bukan soal siapa yang paling viral, tetapi siapa yang paling rasional dalam berpikir dan bertindak.
0 Comments