Oleh : Fazila Adifia Sahal Universitas Andalas, Padang,SumateraBarat
Dalam beberapa tahun terakhir, gelombang gerakan sosial di Indonesia tampaknya tidak pernah surut. Dari isu lingkungan, iklim, hingga korupsi, masyarakat sipil terus bergerak menuntut perubahan. Namun, di balik euforia perubahan yang dibawa oleh gerakan sosial, terdapat pola sistematis yang mengkhawatirkan. Banyak gerakan sosial yang justru "dibajak" oleh kepentingan politik pragmatis. Secara empiris, kita dapat melihat bahwa saat ini banyak figur yang mengawali karier dari advokasi gerakan beralih menjadi politisi. Bahkan, beberapa orang dari mereka dapat dikatakan sebagai penumpang gelap demokrasi yang memanfaatkan energi rakyat untuk kepentingan pribadi. Fenomena ini secara perlahan menggerogoti integritas gerakan sosial dari dalam, mirip dengan bagaimana kanker menyebar dalam tubuh. Demokrasi kita sedang diuji oleh para oportunis yang bersembunyi di balik topeng aktivisme.
Secara sistematis, terdapat pola yang seringkali digunakan oleh "penumpang gelap" ini dalam meraih kekuasaan. Melalui infiltrasi, calon politisi masuk ke dalam gerakan sosial populer, kemudian memposisikan diri sebagai "juru bicara" atau "representasi suara rakyat". Berikutnya mengkonsolidasikan popularitas dengan memanfaatkan momentum gerakan. Setelah cukup terkenal, mereka meninggalkan gerakan dan beralih menjadi kandidat politik. Begitu tragis, agenda gerakan sering ditinggalkan begitu saja disaat mereka mendapatkan kursi kekuasaan. Pola ini berulang seperti siklus yang terorganisir rapi. Mereka memanfaatkan ketulusan aktivis sejati untuk ambisi pribadi.
Untuk memahami fenomena ini lebih dalam, kita dapat merujuk pada Teori Gerakan Sosial dari Alain Touraine. Touraine menekankan bahwa gerakan sosial harus menjadi "aktor historis" yang mengontrol perubahan sosial. Namun ketika aktor-aktor kunci justru terserap sistem, gerakan kehilangan daya transformasinya.
Sebagai contoh nyata dari fenomena ini, banyak alumni dari gerakan mahasiswa 98 yang pada saat itu menuntut terjadinya reformasi dan transisi demokrasi justru masuk dalam lingkaran pemerintahan. Fahri Hamzah salah satu aktivis yang mengorganisir gerakan melawan rezim Orde Baru. Namun, setelah terjadinya reformasi Fahri masuk dalam lingkungan pemerintah dengan menjadi Staf Ahli MPR periode 1999-2022. Pada Pemilu 2004, Fahri juga terpilih menjadi anggota DPR di Nusa Tenggara Barat, dan pada masa pemerintahan Presiden Prabowo, ia menjadi Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman. Sangat disayangkan, hal ini menjadi gambaran bahwa di balik layar, para pelaku politik melakukan transaksi yang mengorbankan idealisme gerakan.
Fenomena ini juga membawa dampak yang sangat merusak ekosistem demokrasi dan gerakan sosial, seperti terjadinya erosi kepercayaan publik terhadap gerakan sosial masyarakat sipil. Masyarakat juga menjadi sinis dan enggan terlibat dalam perjuangan kolektif, yang juga diakibatkan oleh gerakan sosial yang kehilangan momentum karena aktor-aktornya yang diserap oleh sistem. Energi perlawanan menjadi menguap begitu saja tanpa hasil nyata. Sementara itu, demokrasi kita diisi oleh politisi-politisi oportunis yang tidak memiliki komitmen yang jelas, rakyat menjadi korban dari permainan politik ini. Mereka dibiarkan kecewa dan merasa dikhianati oleh para mantan "juru bicara" mereka.
Lalu bagaimana membangun gerakan sosial yang kebal terhadap infiltrasi kepentingan? Pertama, gerakan harus dibangun dengan kepemimpinan kolektif, bukan figur tunggal. Sistem rotasi dan pembatasan masa jabatan perlu diterapkan. Kedua, diperlukan mekanisme akuntabilitas yang ketat bagi setiap juru bicara gerakan. Mereka harus bertanggung jawab kepada basis, bukan kepada ambisi pribadi. Ketiga, pendidikan politik harus terus diberikan kepada anggota gerakan. Mereka perlu memahami bahaya kooptasi dan pentingnya independensi gerakan. Keempat, gerakan harus membangun sistem pendanaan system yang mandiri. Kemandirian finansial mengurangi ketergantungan pada pihak eksternal.
Selain itu, perlu dibangun sistem kaderisasi yang jelas dalam gerakan sosial. Kaderisasi harus fokus pada pembentukan karakter dan konsistensi ideologis. Setiap kader harus melalui proses pendidikan yang panjang dan berjenjang. Filter yang ketat diperlukan untuk mencegah infiltrasi kepentingan dari awal. Gerakan juga perlu membangun aliansi strategis dengan berbagai elemen masyarakat. Jejaring yang kuat akan membuat gerakan lebih sulit dimanipulasi oleh individu tertentu. Transparansi dalam pengambilan keputusan juga mutlak diperlukan.
Masyarakat sipil dan media juga memegang peranan penting dalam mengawasi fenomena ini. LSM dan organisasi masyarakat harus berani menyuarakan praktik-praktik kooptasi gerakan. Media perlu memberitakan kasus-kasus pembajakan gerakan secara objektif dan berimbang. Pendidikan politik bagi masyarakat umum juga perlu ditingkatkan. Masyarakat yang melek politik akan lebih kritis dalam menilai para mantan aktivis yang beralih menjadi politisi. Mereka tidak akan mudah tertipu oleh retorika kosong tanpa bukti nyata.
Situasi ini menempatkan demokrasi Indonesia pada persimpangan yang menentukan, di mana gerakan sosial harus memilih antara mempertahankan integritas atau menjadi alat politik Gerakan sosial seharusnya menjadi pilar penopang demokrasi yang sehat. Namun ketika gerakan sosial dijadikan batu loncatan menuju kekuasaan, maka demokrasi kita sedang sakit. Kita membutuhkan konsolidasi gerakan sosial yang lebih matang dan berintegritas. Gerakan harus kembali kepada esensinya sebagai kekuatan penekan (pressure group) yang independen.
Didik Mukrianto dalam bukunya yang berjudul Penumpang Gelap Demokrasi, Melihat Dinamika dan Tantangan Demokrasi di Dunia dan Indonesia, menuliskan “Di era modern ini, pasti akan lebih sulit melihat bagaimana suatu tanda kehadiran para penumpang gelap demokrasi yang siap memberangus demokrasi. Mengingat saat ini demokrasi bisa dimatikan bukan oleh kediktatoran yang mencolok, dalam bentuk fasisme, komunisme, atau kudeta militer, melainkan bisa melalui pemilihan umum yang menghasilkan kemenangan para penumpang gelap demokrasi.”
Oleh karena itu, mari kita jaga kemurnian gerakan sosial dari kepentingan politik pragmatis. Demokrasi kita terlalu berharga untuk dijadikan permainan para penumpang gelap.
0 Comments