Oleh: Nindy Dwi Syahira mahasiswi universitas Andalas
Dalam beberapa tahun terakhir, ruang digital telah menjadi arena baru bagi pertarungan ide, kepentingan, dan wacana politik.
Media sosial yang awalnya berfungsi sebagai sarana komunikasi dan hiburan kini berubah menjadi medan pertempuran simbolik antara kebenaran dan disinformasi. Fenomena ini semakin kompleks ketika arus informasi yang berlimpah justru melahirkan information disorder, di mana batas antara fakta, opini, dan manipulasi menjadi kabur (Wardle & Derakhshan, 2017).
Di tengah kondisi ini, muncul satu bentuk perlawanan baru yang khas dari era digital: penggunaan hashtag atau tagar sebagai alat mobilisasi dan resistensi sosial. Hashtag bukan sekadar simbol digital, melainkan representasi dari suara kolektif masyarakat yang berusaha menantang dominasi wacana politik arus utama. Di Indonesia, muncul berbagai gerakan sosial daring seperti #SaveKPK, #GejayanMemanggil, hingga yang terbaru #IndonesiaGelap, yang memperlihatkan dinamika politik digital generasi muda. Fenomena ini menunjukkan bahwa bentuk perlawanan di era disinformasi tidak lagi berpusat pada aksi fisik di jalanan, melainkan pada kemampuan menguasai narasi di dunia maya.
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana hashtag digunakan sebagai alat perlawanan dalam konteks gerakan sosial daring di Indonesia, khususnya di tengah maraknya disinformasi politik. Pembahasan akan mencakup dinamika gerakan sosial digital, karakteristik aktivisme daring, serta analisis terhadap kasus terbaru #IndonesiaGelap, yang menjadi representasi paling aktual dari politik digital Indonesia tahun 2025.
gerakan sosial daring: dari jalanan ke layar gawai
Gerakan sosial secara tradisional dipahami sebagai upaya kolektif masyarakat untuk mendorong perubahan sosial, politik, atau ekonomi melalui aksi bersama yang berkelanjutan (Tarrow, 2011). Namun, perkembangan teknologi informasi dalam dua dekade terakhir telah merevolusi cara masyarakat melakukan mobilisasi. Konsep “gerakan sosial daring” atau digital activism muncul sebagai respons terhadap meningkatnya penggunaan internet dan media sosial dalam mengorganisasi, mengkomunikasikan, dan memperjuangkan isu-isu sosial (Earl & Kimport, 2011).
Di Indonesia, digitalisasi gerakan sosial mulai tampak jelas sejak pertengahan 2010-an. Generasi muda yang lahir dalam era internet memanfaatkan media sosial seperti Twitter, Instagram, dan TikTok untuk menyuarakan pendapatnya. Perubahan ini tidak hanya menggeser lokasi perlawanan dari ruang publik fisik ke ruang digital, tetapi juga mengubah pola komunikasi politik. Ruang publik yang dahulu diatur oleh media massa kini menjadi lebih horizontal, di mana siapa pun dapat menjadi produsen wacana (Castells, 2012). Dengan demikian, media sosial berperan ganda: sebagai alat komunikasi dan sebagai arena kontestasi politik. Setiap tweet, unggahan, dan hashtag menjadi bagian dari “politik representasi”, di mana pengguna berupaya membentuk makna dan persepsi publik. Dalam konteks inilah hashtag menjadi penting, karena ia berfungsi sebagai simpul yang menghubungkan berbagai narasi, emosi, dan solidaritas kolektif.
Disinformasi politik dan krisis kebenaran
Salah satu tantangan utama dalam gerakan sosial daring adalah disinformasi politik. Disinformasi, yang didefinisikan sebagai penyebaran informasi salah secara sengaja untuk tujuan politis, telah menjadi strategi yang umum digunakan untuk mengontrol opini publik (Bennett & Livingston, 2018). Di Indonesia, praktik ini semakin menonjol menjelang momen politik besar seperti Pemilu 2019 dan 2024, di mana ruang digital dipenuhi oleh hoaks, fitnah, dan manipulasi visual yang bertujuan menggiring persepsi publik. Fenomena ini menimbulkan apa yang disebut oleh McIntyre (2018) sebagai post-truth politics, yaitu situasi ketika kebenaran objektif menjadi kurang penting dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi. Dalam konteks tersebut, masyarakat mudah terjebak dalam “echo chamber” — ruang gema digital di mana seseorang hanya berinteraksi dengan pandangan yang sejalan dengan kepercayaannya (Sunstein, 2018). Gerakan sosial daring pun tidak luput dari ancaman ini. Banyak gerakan progresif diserang dengan disinformasi untuk mendeligitimasi tuntutan mereka. Dalam situasi seperti ini, hashtag berfungsi bukan hanya sebagai alat mobilisasi, tetapi juga sebagai counter-narrative — cara masyarakat melawan manipulasi dan membangun kembali kebenaran kolektif.
Hashtag sebagai ruang perlawanan
Secara sosiologis, hashtag dapat dipahami sebagai bentuk baru dari “frame alignment”, yakni upaya menyelaraskan makna dan pesan antarindividu dalam sebuah gerakan sosial (Snow & Benford, 1988). Dalam konteks digital, hashtag memungkinkan terjadinya konektivitas cepat dan luas di antara pengguna dengan kepedulian serupa. Ia mengubah pesan individual menjadi wacana kolektif dengan daya resonansi tinggi.
Sebagai alat perlawanan, hashtag bekerja dalam tiga dimensi utama:
1. Dimensi simbolik, di mana hashtag menjadi tanda atau identitas gerakan (misalnya #SaveKPK).
2. Dimensi komunikatif, yaitu fungsi hashtag sebagai penghubung antarpartisipan dalam ruang digital.
3. Dimensi politis, yakni kapasitas hashtag untuk menekan penguasa dengan membentuk opini publik dan visibilitas media.
Kekuatan hashtag terletak pada kesederhanaannya: satu kata atau frasa yang mudah diingat dan direplikasi dapat menyatukan ribuan, bahkan jutaan suara. Ia berfungsi sebagai networked frame, yang menghubungkan partisipan tanpa perlu struktur organisasi formal (Bennett & Segerberg, 2012). Hal ini berbeda dengan gerakan sosial tradisional yang bergantung pada kepemimpinan dan hierarki.
Analisis kasus: #Indonesia gelap
Gerakan #Indonesia gelap 2025
Gerakan #IndonesiaGelap muncul pada Februari 2025 sebagai bentuk kritik luas terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Tagar ini pertama kali dipopulerkan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) dalam rangkaian aksi nasional di berbagai kota (Jakarta Daily, 2025). Makna “gelap” dalam tagar ini bukan sekadar metafora krisis listrik atau energi, tetapi juga simbol atas kondisi politik, ekonomi, dan moral bangsa yang dianggap “tidak terang” atau tidak berpihak kepada rakyat. Dalam waktu singkat, tagar ini menjadi viral di platform X (dulu Twitter), menempati posisi teratas trending topic nasional. Gelombang unggahan datang dari mahasiswa, aktivis, jurnalis, hingga masyarakat umum yang mengekspresikan kekecewaan mereka terhadap berbagai isu: kenaikan harga kebutuhan pokok, dugaan pelanggaran hukum oleh pejabat, dan ketimpangan sosial yang semakin melebar.
Hashtag ini menjadi ruang kolektif untuk mengekspresikan kemarahan, frustrasi, sekaligus solidaritas. Menurut analisis media sosial yang dilakukan oleh Jakarta Daily (2025), sekitar 81% sentimen publik terhadap tagar ini bersifat negatif terhadap pemerintah, menunjukkan tingkat ketidakpercayaan masyarakat yang tinggi. Namun di sisi lain, intensitas diskursus yang muncul juga memperlihatkan vitalitas ruang publik digital Indonesia. Kekuatan tagar ini terletak pada kemampuannya mengkonsolidasikan wacana. “Indonesia Gelap” menjadi simbol yang fleksibel bisa berarti kritik terhadap berbagai aspek kehidupan sosial: korupsi, ketidakadilan, dan krisis kepercayaan. Selain itu, aksi yang menyertai tagar ini di dunia nyata memperkuat daya legitimasi gerakan digital. Mahasiswa turun ke jalan membawa poster bertuliskan “Indonesia Gelap: Saat Rakyat Kehilangan Cahaya”, menunjukkan kesinambungan antara dunia maya dan dunia nyata.
Namun, seperti gerakan digital lainnya, #IndonesiaGelap juga menghadapi tantangan serius. Beberapa media dan akun politik menuduh gerakan ini ditunggangi oleh oposisi atau kelompok radikal, sebuah bentuk delegitimasi melalui disinformasi. Narasi tandingan juga muncul di platform yang sama, berusaha mengalihkan makna tagar menjadi sekadar kritik pesimis tanpa solusi. Di sinilah peran literasi digital dan kontrol narasi menjadi penting agar gerakan tidak kehilangan fokus politiknya di tengah arus hoaks dan manipulasi digital. Dengan demikian, gerakan #IndonesiaGelap memperlihatkan dinamika khas dari politik digital kontemporer: antara perjuangan dan disinformasi, antara solidaritas dan polarisasi. Ia menjadi bukti bahwa hashtag masih menjadi instrumen politik yang efektif dalam menyuarakan resistensi dan memproduksi makna kolektif di tengah ruang digital yang padat kepentingan.
Tantangan dan masa depan gerakan sosial daring
Meskipun gerakan sosial daring memiliki potensi besar untuk mendorong perubahan sosial, ia tidak luput dari berbagai keterbatasan. Pertama, gerakan digital sering kali bersifat sementara dan fluktuatif. Partisipasi yang tinggi di awal kampanye bisa menurun drastis setelah isu tidak lagi viral (slacktivism). Kedua, ruang digital tidak selalu aman. Banyak aktivis yang mengalami peretasan, intimidasi, atau kriminalisasi akibat aktivitasnya di media sosial. Ketiga, persoalan kesenjangan digital masih menjadi hambatan. Tidak semua kelompok masyarakat memiliki akses yang sama terhadap teknologi dan literasi digital, sehingga suara yang muncul di ruang maya sering kali didominasi oleh kelas menengah perkotaan. Hal ini menimbulkan risiko eksklusivitas gerakan, di mana isu-isu akar rumput kehilangan tempat dalam diskursus publik.
Namun demikian, masa depan gerakan sosial daring di Indonesia tetap menjanjikan. Munculnya berbagai komunitas digital yang berfokus pada literasi politik, fact-checking, dan advokasi kebijakan publik menandakan adanya evolusi menuju civic tech movement. Gerakan ini menggabungkan teknologi dengan partisipasi warga untuk memperkuat akuntabilitas politik (Susanto, 2023). Dalam konteks politik Indonesia yang masih diwarnai oligarki dan patronase, hashtag tetap menjadi salah satu alat paling efektif untuk membuka ruang partisipasi dan mengawasi kekuasaan. Ia memberi peluang bagi masyarakat untuk berbicara, mengorganisasi diri, dan membentuk opini publik tanpa harus melalui struktur formal kekuasaan.
Penutup
Perubahan teknologi komunikasi telah mengubah wajah gerakan sosial di Indonesia. Dari aksi turun ke jalan menuju trending topic, dari spanduk ke hashtag transformasi ini menandakan pergeseran bentuk perlawanan masyarakat terhadap kekuasaan. Di tengah derasnya arus disinformasi politik, hashtag menjadi simbol perlawanan baru: singkat, cepat, namun penuh makna politik. Fenomena seperti #IndonesiaGelap menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia, terutama generasi muda, tidak pasif menghadapi ketimpangan informasi dan kekuasaan. Mereka memanfaatkan logika media sosial untuk melawan balik melalui narasi, kreativitas, dan solidaritas digital.
Namun, tantangan besar tetap ada: menjaga agar ruang digital tidak menjadi sekadar ajang viralitas tanpa substansi. Gerakan sosial daring harus terus bertransformasi menjadi ruang pembelajaran politik yang kritis dan berkelanjutan. Dalam era disinformasi, perlawanan terbesar bukan hanya melawan kekuasaan, tetapi melawan lupa dan kebingungan melalui upaya kolektif menjaga kebenaran dan akal sehat di ruang publik digital.
0 Comments