Gelombang demonstrasi yang terjadi pada Agustus 2025 menjadi momen penting dalam perjalanan gerakan sosial digital di Indonesia.
Peristiwa tragis tewasnya Affan Kurniawan seorang pengemudi ojek online yang dilindas mobil rantis Brimob menjadi titik api yang memicu kemarahan publik secara luas. Hanya dalam hitungan jam, video insiden itu menyebar ke berbagai platform media sosial dan memunculkan gelombang solidaritas daring yang besar. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana ruang digital kini bukan sekadar tempat berbagi informasi, tetapi juga menjadi medan utama pembentukan opini publik dan mobilisasi massa.
Dalam waktu singkat, berbagai tagar bernada perlawanan mulai bermunculan dan mendominasi linimasa. Tagar seperti #PolisiMembunuhRakyat, #JusticeForAffan, hingga tagar internasional yang biasa muncul dalam konteks perlawanan terhadap kekerasan aparat ikut ramai digunakan. Penggunaan tagar-tagar ini bukan sekadar ekspresi kemarahan, tetapi menjadi alat penting untuk memperluas jangkauan isu, mempercepat penyebaran informasi, dan mengkonsolidasikan emosi kolektif publik. Setiap unggahan, thread, atau video pendek yang disertai tagar tersebut memperkuat narasi bahwa tindakan aparat dalam demo itu telah melampaui batas.
Fenomena ini dikenal sebagai demonstrasi digital, yaitu bentuk gerakan sosial yang berkembang dan dimobilisasi melalui ruang maya. Demonstrasi digital memungkinkan masyarakat untuk menyuarakan pendapat tanpa harus berada di lokasi fisik aksi. Media sosial seperti X (Twitter), Instagram, dan TikTok menjadi ruang publik baru, tempat masyarakat mengorganisasi diri, membentuk solidaritas, dan menekan pihak berwenang. Dalam kasus demo polisi 2025, ruang digital tidak hanya berperan sebagai sarana komunikasi, tetapi juga sebagai trigger yang mengubah kemarahan daring menjadi aksi nyata di jalanan.
Ribuan pengguna media sosial, terutama anak muda, menyebarkan ulang video kejadian, membuat infografik, dan menulis kronologi alternatif berdasarkan kesaksian warga. Tagar-tagar perlawanan itu dengan cepat masuk ke daftar trending nasional, bahkan menembus percakapan global. Akibatnya, narasi yang berkembang di ruang digital tidak lagi bisa diabaikan oleh media arus utama maupun pemerintah. Dalam hitungan jam, aksi protes mulai muncul di berbagai kota besar. Banyak peserta mengaku mengetahui informasi dan ajakan aksi bukan dari organisasi resmi, melainkan dari unggahan-unggahan media sosial yang viral.
Menariknya, pola mobilisasi dalam demonstrasi ini sangat berbeda dengan gerakan konvensional. Tidak ada satu tokoh sentral atau organisasi besar yang menjadi penggerak utama. Koordinasi berlangsung secara horizontal melalui grup daring, pesan siaran, dan unggahan terbuka. Sifat gerakan yang desentralisasi ini membuat mobilisasi menjadi sangat cepat dan sulit diprediksi oleh aparat. Media sosial memberikan ruang bagi partisipasi luas, terutama bagi masyarakat yang selama ini merasa tidak punya akses ke ruang-ruang politik formal.
Namun, demonstrasi digital juga menjadi arena pertarungan narasi. Di satu sisi, masyarakat sipil membanjiri ruang digital dengan dokumentasi, kesaksian lapangan, dan kritik terhadap kekerasan aparat. Di sisi lain, akun resmi kepolisian dan pemerintah merespons dengan klarifikasi, imbauan, serta pernyataan yang menekankan pentingnya ketertiban umum. Kedua narasi ini bertemu di ruang digital dan membentuk opini publik yang sangat dinamis. Dalam konteks ini, tagar-tagar perlawanan berfungsi bukan hanya sebagai alat ekspresi, tetapi juga sebagai counter-narrative terhadap informasi resmi yang dianggap tidak memadai oleh sebagian masyarakat.
Selain sebagai alat mobilisasi, penggunaan tagar perlawanan juga memperlihatkan perubahan bentuk solidaritas masyarakat. Tidak semua orang bisa hadir langsung di lokasi demonstrasi, tetapi mereka tetap bisa berpartisipasi melalui aktivitas digital seperti menyebarkan informasi, menggalang dana, atau memberikan dukungan moral. Ini menunjukkan bahwa keikutsertaan dalam gerakan sosial kini tidak lagi terbatas pada kehadiran fisik, melainkan juga dapat dilakukan secara virtual dengan dampak yang signifikan.
Demonstrasi digital juga menghadapi sejumlah tantangan. Informasi yang menyebar begitu cepat rentan menimbulkan misinformasi atau manipulasi narasi. Selain itu, sifat gerakan yang spontan dan desentralisasi seringkali membuat strategi jangka panjang sulit dibangun. Begitu intensitas percakapan digital menurun, kekuatan gerakan bisa ikut melemah jika tidak ada struktur atau organisasi yang mampu melanjutkannya. Peristiwa demo polisi 2025 menjadi contoh jelas bagaimana demonstrasi digital memainkan peran penting dalam dinamika sosial politik Indonesia saat ini. Dari tagar hingga aksi massa, dari unggahan video hingga tekanan publik, ruang digital telah mengubah cara masyarakat menyuarakan protes dan menuntut keadilan. Munculnya tagar-tagar perlawanan bukan sekadar tren sesaat, melainkan bentuk artikulasi kemarahan kolektif terhadap kekerasan negara dan ketimpangan kekuasaan. Pemerintah dan aparat perlu memahami bahwa ruang digital kini memiliki daya pengaruh besar, bukan hanya terhadap opini publik, tetapi juga terhadap arah pergerakan sosial secara keseluruhan.
0 Comments