Ticker

6/recent/ticker-posts

Spontanitas Rakyat dan Penjarahan Rumah Pejabat sebagai Bentuk Frustrasi terhadap Kebijakan Elite di Tengah Gejolak Sosial


Oleh : Moga Dio Lestari, Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas


Spontanitas rakyat dan penjarahan rumah pejabat sebagai bentuk frustrasi terhadap kebijakan elite di tengah gejolak sosial perlu mendapat pembacaan yang jernih agar respon politik dan hukum tidak saling memperburuk situasi. Ketika kemarahan kolektif memuncak, sebagian orang memilih jalan instan untuk mengekspresikan protes namun tindakan yang melanggar hukum seperti menjarah rumah pejabat, ini bukanlah cara yang dapat dibenarkan. Penjarahan rumah pejabat menyentuh dua aspek penting sekaligus yaitu kerusakan pada hak milik pribadi dan gangguan terhadap ketertiban publik. 

Dari perspektif hukum, mengambil barang milik orang lain tanpa izin telah memenuhi unsur pencurian, maka dapat dikenai ketentuan dengan ancaman pidana yang lebih berat. Di Indonesia, tindakan mengambil barang milik orang lain tergolong pencurian dan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 362 KUHP misalnya mengatur tentang tindak pidana pencurian seperti tindakan pengambilan barang milik orang lain dengan maksud memiliki secara melawan hukum dapat dipidana. 

Apabila penjarahan disertai dengan kekerasan atau dilakukan secara bersama-sama dalam kerumunan yang menggunakan kekerasan, unsur pidana lain juga dapat terpenuhi. KUHP mengatur pencurian dengan kekerasan (Pasal 365) serta penggunaan kekerasan bersama terhadap orang atau barang (Pasal 170), yang masing-masing membawa konsekuensi hukum yang lebih berat. Selain itu, perbuatan yang merusak atau menghancurkan barang milik orang lain dapat dikualifikasikan sebagai perusakan berdasarkan ketentuan Pasal 406 KUHP. 

Berangkat dari penjelasan teoritis, fenomena penjarahan sebagai bentuk spontanitas rakyat dapat dipahami melalui Teori Penularan (LeBon’s Contagion Theory) yang diperkenalkan oleh Gustave LeBon. Dalam pandangan LeBon, ketika individu menjadi bagian dari sebuah kerumunan atau crowd, mereka akan mengalami penurunan kemampuan berpikir rasional dan kehilangan kendali atas perilaku pribadi. Dalam situasi ini, kesadaran individu larut dalam kesadaran kolektif yang dikendalikan oleh emosi massa. LeBon menyebutnya sebagai “aktivitas tidak disadari dari kerumunan” atau unconscious activity of crowds, di mana tindakan seseorang dalam kerumunan tidak lagi sepenuhnya berada dalam kendali pribadinya. Emosi yang dominan dalam massa bersifat menular, sehingga ketika satu orang melakukan tindakan ekstrem seperti melempar, merusak, atau menjarah, anggota lain cenderung mengikuti karena terpengaruh oleh suasana emosional tersebut.

Dalam konteks gejolak sosial, teori LeBon ini memberi penjelasan mengapa penjarahan rumah pejabat bisa muncul secara tiba-tiba tanpa perencanaan yang jelas. Individu yang semula tidak berniat melakukan kekerasan dapat terseret oleh arus emosional kolektif yang diwarnai oleh kemarahan, frustrasi, dan kekecewaan terhadap elite politik. Dalam keadaan semacam itu, rasionalitas pribadi melemah dan digantikan oleh dorongan emosional untuk menyalurkan kemarahan secara langsung.

Oman Sukmana dalam buku Konsep dan Teori Gerakan Sosial turut menjelaskan bahwa teori perilaku kolektif, termasuk teori LeBon, menempatkan gerakan sosial sebagai reaksi spontan terhadap ketegangan dan krisis sosial. Ketika norma-norma sosial dan saluran politik formal tidak lagi berfungsi, masyarakat berpotensi bertindak di luar kendali. Emosi yang menumpuk, ditambah dengan lemahnya pengendalian sosial, dapat menciptakan situasi di mana tindakan irasional dianggap wajar dalam kerumunan. 

Penjarahan adalah tindakan kriminal, padahal ada beberapa alternatif yang lebih aman dan efektif bagi masyarakat yang ingin menuntut perubahan tanpa melanggar hukum. Pertama, mengorganisir tuntutan secara kolektif dan berbasis data sehingga pesan tuntutan sulit diabaikan. Kedua, menggunakan jalur litigasi strategis untuk menantang kebijakan yang merugikan kepentingan publik. Ketiga, membangun koalisi antara organisasi masyarakat sipil akademisi dan aktor politik reformis untuk mendorong agenda perubahan melalui proses demokrasi. Keempat, menyelenggarakan aksi massa yang terkoordinasi damai dan komunikatif agar tekanan politik jelas dan terukur.

Peran negara dan aparat penegak hukum dalam situasi seperti ini adalah menjaga keamanan sekaligus memastikan penegakan hukum yang adil dan proporsional. Penindakan terhadap tindak pidana harus dilakukan tanpa diskriminasi dan dengan penghormatan terhadap hak asasi sehingga tidak terkesan sebagai alat pembungkaman terhadap protes yang sah. Di saat yang sama elite politik harus lebih responsif membuka ruang dialog dan memperbaiki kebijakan yang menimbulkan ketidakpuasan agar akar konflik dapat diatasi.

Spontanitas rakyat adalah sinyal politik yang penting namun sinyal itu tidak memberi legitimasi untuk melakukan penjarahan rumah pejabat. Tindakan tersebut melanggar hukum dan menimbulkan kerugian bagi korban serta memperburuk kondisi sosial yang justru menghambat perubahan. 


Perubahan yang berkelanjutan hanya mungkin dicapai melalui jalur yang sah dan konstruktif sehingga aspirasi publik dapat diwujudkan tanpa mengorbankan hak warga lain dan tanpa melanggar aturan yang menjadi dasar kehidupan bersama.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS