Ticker

6/recent/ticker-posts

Bukan Ahli Gizi, Dosen IPB Jadi Kepala BGN, Dikelilingi Jenderal Pensiunan: Ada Apa dengan Logistik Makanan Gratis?

 


Oleh : Indah Irma Suryani mahasiswa ilmu politik universitas Andalas Padang 



Pembentukan Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai pelaksana utama Program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah memicu perdebatan publik, terutama setelah maraknya kasus keracunan massal. Sorotan kini tertuju pada struktur kepemimpinan BGN yang dinilai janggal: Dr. Ir. Dadan Hindayana, seorang dosen IPB yang berlatar belakang ahli entomologi (ilmu serangga), menjabat sebagai Kepala BGN, sementara posisi strategis di bawahnya didominasi oleh purnawirawan perwira tinggi TNI dan Polri. Struktur kepemimpinan yang minim ahli gizi murni ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai prioritas dan strategi BGN dalam mengelola logistik pangan berskala triliunan rupiah yang seharusnya sangat sensitif terhadap aspek higienitas dan nutrisi.

Pelantikan Dadan Hindayana sebagai Kepala BGN oleh Presiden Joko Widodo pada Agustus 2024 menjadi kejutan. Alih-alih memilih profesional atau akademisi dari fakultas gizi, Presiden menunjuk seorang ahli serangga dan proteksi tanaman dari Fakultas Pertanian IPB. Tugas BGN sangat vital, yaitu mengawal program MBG yang menyasar jutaan penerima manfaat, mulai dari peserta didik hingga ibu hamil. Namun, kritik muncul karena program ini sejak awal peluncurannya telah diwarnai oleh berbagai insiden, terutama kasus keracunan makanan yang menurut data Kemenkes dan lembaga pemantau telah mencapai belasan ribu orang di berbagai daerah. Di tengah kegaduhan dan laporan ribuan korban keracunan yang dicatat lembaga independen, Presiden Prabowo Subianto memberikan pembelaan keras terhadap program MBG. Beliau menekankan bahwa insiden keracunan yang terjadi sangat minim dibandingkan skala program yang masif.

"Ada kekurangan? Ya. Ada keracunan makanan? Iya," ujar Presiden Prabowo dalam pidatonya saat penutupan Munas VI PKS di Jakarta pada 29 September 2025. "Kita hitung dari semua makanan yang keluar. Penyimpangan atau kekurangan atau kesalahan itu adalah 0,00017%... Ini tidak membuat kita puas, tapi namanya usaha manusia yang demikian besar yang belum pernah dilaksanakan saya kira dalam sejarah dunia."

Klaim data bahwa angka kesalahan hanya 0,00017% ini sontak menimbulkan polemik, sebab data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) per akhir September 2025 mencatat ribuan anak mengalami keracunan, jauh melampaui perhitungan kasar dari persentase tersebut.

Selain masalah higienitas, fokus menu BGN juga menjadi sumber kritik, terutama setelah insiden keracunan yang melibatkan menu asing. Menu yang disajikan di beberapa daerah, seperti spageti dan burger, dinilai tidak relevan dengan kebutuhan pangan lokal dan bahkan memicu masalah baru.

"Kami mendengar laporan bahwa di beberapa daerah, siswa keracunan setelah menyantap menu yang tidak familiar bagi mereka, seperti spageti," Bahkan ada yang menyebut keracunan terjadi karena anak-anak belum terbiasa makan menu seperti itu.

Kritikan keras juga dilontarkan oleh Ahli Gizi dr. Tan Shot Yen dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di DPR, yang menyoroti penggunaan tepung terigu sebagai bahan dasar spageti dan burger yang bukan tanaman asli Indonesia. Namun, Ahli Gizi Undip, Fitriyono Ayustaningwarno, memberikan pandangan yang lebih teknis. Ia menilai bukan spageti sebagai menu yang bermasalah, melainkan proses masaknya.

"Itu yang menyebabkan pertumbuhan mikroba kemudian terjadi keracunan makanan. Ini yang perlu diperhatikan," kata Yusta. Ia menyebut makanan matang idealnya tidak dibiarkan pada suhu ruang lebih dari empat jam (danger zone), yang kemungkinan besar dilanggar oleh penyedia di lapangan, bukan karena siswa "kaget" menyantap spageti.

Struktur BGN dipimpin oleh ahli entomologi, Dadan Hindayana, dan dikelilingi oleh jajaran purnawirawan militer memperkuat dugaan bahwa fokus utama BGN adalah komando, distribusi, dan kecepatan penyaluran logistik.

"Penempatan para Jenderal pensiunan jelas menunjukkan BGN memprioritaskan kemampuan komando dan distribusi cepat, seolah-olah program ini adalah operasi logistik militer, bukan operasi gizi dan kesehatan publik," jelas Analis Kebijakan Publik.

Kegagalan BGN untuk mencegah keracunan berulang, terlepas dari data persentase yang diklaim kecil, menunjukkan bahwa kekuatan logistik tidak dapat menggantikan kebutuhan akan keahlian gizi klinis, sanitasi, dan keamanan pangan yang harusnya ada di garis depan pengawasan.

Struktur kepemimpinan BGN saat ini menjadi simbol dilema program MBG: di satu sisi, program ini berhasil menjangkau jutaan penerima dengan kecepatan yang didukung oleh kemampuan logistik militer; di sisi lain, keamanan pangan terancam akibat kurangnya kompetensi spesifik di jajaran atas dan kesalahan dalam pemilihan menu yang tidak adaptif. 


Demi keselamatan dan kesehatan jutaan anak, BGN harus segera merevisi struktur dan SOP-nya dengan menempatkan ahli gizi dan sanitasi sebagai garda terdepan pengawasan, bukan hanya mengandalkan komando dari purnawirawan jenderal.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS