Oleh: M. Hifzil Azzikrillah mahasiswa universitas Andalas Padang
Tingginya angka partisipasi pemilih dari Generasi Z (Gen Z) pada Pemilu 2024 adalah sebuah fenomena yang patut disyukuri dan dirayakan. Dengan perkiraan kontribusi suara mencapai hampir 50% dari total pemilih, kaum muda ini secara de facto telah mengambil alih peran sebagai penentu arah politik bangsa. Partisipasi ini adalah simbol optimisme, menunjukkan bahwa apatisme politik yang sering disematkan pada generasi muda ternyata keliru.
Namun, di balik kegembiraan angka, ada bayangan gelap yang mengintai: apakah pilihan yang terekam di bilik suara tersebut didasari oleh analisis mendalam terhadap kecakapan dan visi Pasangan Calon (Paslon), atau sekadar euforia digital yang diarahkan oleh narasi buzzer?
Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Gen Z memang digital native, fasih di ruang siber, dan menjadikan media sosial sebagai arena utama dalam mengonsumsi informasi politik. Keberhasilan para Paslon menarik perhatian melalui TikTok, Instagram, hingga X (sebelumnya Twitter) adalah bukti adaptasi politik di era 5.0. Sayangnya, adaptasi ini juga membuka celah yang sangat lebar bagi praktik manipulasi.
Jerat Narasi dan Mesin Buzzer
Partisipasi politik Gen Z saat ini tampaknya lebih rentan dipengaruhi oleh apa yang disebut "Mesin Buzzer". Buzzer bukan sekadar pegiat media sosial biasa. Mereka adalah pihak terorganisir yang bertugas menyebar narasi terstruktur, seringkali dengan tujuan menggeser fokus diskusi dari substansi ke isu-isu personal, emosional, atau bahkan hoax.
Mereka bekerja dengan efektif menihilkan ruang diskusi rasional. Alih-alih membahas rekam jejak, program kerja, atau solusi Paslon terhadap krisis ekonomi dan lingkungan, percakapan publik dipenuhi dengan gimmick politik, personal attack, atau framing negatif yang dirancang untuk menciptakan polarisasi.
Media sosial yang seharusnya menjadi alat pencerahan, justru menjadi "bilik gema" (echo chamber) yang memperkuat bias politik. Buzzer berhasil menciptakan ilusi opini publik, di mana trending topic yang emosional jauh lebih berbobot daripada laporan investigatif atau analisis kebijakan yang komprehensif.
Bahaya Memilih "Gaya" daripada "Capaian"
Fenomena ini menimbulkan masalah fundamental: Gen Z berpotensi memilih pemimpin berdasarkan gaya atau vibes yang disajikan di media sosial, bukan berdasarkan kecakapan atau capaian yang telah teruji.
Para Paslon yang piawai dalam branding digital, mampu menciptakan konten yang 'relatable', atau memiliki dukungan dari influencer besar, seringkali unggul dalam popularitas. Sementara itu, substansi seperti visi-misi yang realistis, komitmen terhadap reformasi birokrasi, atau keberlanjutan fiskal, menjadi catatan kaki yang mudah diabaikan.
Ini adalah partisipasi politik yang kosong. Kita bersukacita melihat tingginya partisipasi, tetapi kita gagal memastikan bahwa partisipasi itu menghasilkan pilihan yang berkualitas. Ketika pemilih didikte oleh euforia digital, kita berisiko memilih pemimpin yang popularitasnya hanya berbasis di dunia maya, tetapi tidak memiliki kompetensi nyata untuk mengelola negara dan menghadapi tantangan kompleks di dunia nyata.
Bahaya jangka panjangnya sangat nyata. Generasi penerus bangsa ini terperangkap dalam pilihan yang didikte oleh popularitas dangkal, yang pada akhirnya akan merugikan mereka sendiri. Mereka akan mewarisi dampak dari keputusan politik yang tidak didasari oleh rasionalitas.
Kritik dan Ajakan untuk Sadar
Maka dari itu, tulisan ini adalah sebuah kritik keras yang membangun, terutama ditujukan kepada Gen Z. Suara Anda bukan sekadar penanda kehadiran di kotak suara; suara Anda adalah tanggung jawab moral yang menentukan nasib bangsa selama lima tahun ke depan.
Untuk menghindari jerat buzzer dan framing digital, Gen Z harus mengaktifkan mode skeptisisme digital.
1. Verifikasi Informasi: Jangan biarkan jempol Anda lebih cepat dari akal sehat Anda. Setiap klaim politik yang provokatif wajib dikonfirmasi ke sumber berita kredibel atau platform cek fakta.
2. Kembali ke Substansi: Alihkan perhatian dari personal attack dan gimmick Paslon. Fokuslah pada visi-misi, rekam jejak kepemimpinan, dan solusi yang ditawarkan. Tanyakan: "Apakah Paslon ini mampu memimpin, atau hanya lihai ber-TikTok?"
3. Memperluas Sumber: Jangan hanya bergantung pada feed media sosial yang sudah disaring oleh algoritma. Cari tahu pandangan yang berseberangan, baca analisis mendalam, dan hadiri diskusi yang substansial.
Partisipasi politik yang tinggi dari Gen Z adalah modal besar bagi masa depan demokrasi Indonesia. Jangan biarkan modal berharga ini disia-siakan dengan menjadi objek manipulasi narasi digital. Jadilah pemilih yang kritis, rasional, dan bertanggung jawab. Mari kita jadikan Gen Z sebagai generasi yang tidak hanya ramai di bilik suara, tetapi juga cerdas dalam membuat pilihan.
0 Comments