Ticker

6/recent/ticker-posts

Aktivisme Digital: Kekuatan dan Keterbatasan Gerakan Sosial di Era Media Sosial



Oleh: Taufiq Herlambang.               Mahasiswa Ilmu Politik


Ketika ribuan warganet Indonesia memadati timeline Twitter dengan tagar #ReformasiDikorupsi pada 2019, atau ketika gerakan #MeToo menyebar seperti api dalam sekam ke seluruh dunia, kita menyaksikan kekuatan baru yang mengubah lanskap gerakan sosial. Media sosial telah menjelma menjadi medan pertempuran ide, alat mobilisasi massa, sekaligus ruang publik digital yang mendefinisikan ulang bagaimana masyarakat sipil memperjuangkan perubahan. Namun, di balik euforia aktivisme digital, pertanyaan kritis muncul: apakah like, share, dan retweet benar-benar mampu menggerakkan perubahan sosial yang substantif? Atau justru menciptakan ilusi partisipasi yang meninabobokan kita dalam apa yang disebut Malcolm Gladwell sebagai "slacktivism"?

Tak dapat dipungkiri, media sosial telah mendemokratisasi akses terhadap gerakan sosial. Jika dahulu untuk mengorganisir demonstrasi membutuhkan jaringan organisasi yang kuat, sumber daya finansial, dan struktur hierarkis, kini cukup dengan smartphone dan koneksi internet, siapa pun dapat menjadi pemicu perubahan. Kasus Prita Mulyasari yang viral pada 2009 menjadi bukti awal bagaimana netizen Indonesia dapat bersatu melawan ketidakadilan. Media sosial juga mempercepat difusi informasi secara eksponensial. Gerakan Arab Spring membuktikan bagaimana Twitter dan Facebook mampu memobilisasi massa dalam hitungan jam, menembus sensor pemerintah otoriter, dan menyebarkan narasi alternatif yang tidak pernah muncul di media mainstream. Di Indonesia, gerakan tolak Omnibus Law pada 2020 menunjukkan bagaimana informasi dapat tersebar cepat lintas pulau, memungkinkan koordinasi aksi serentak di berbagai daerah.

Lebih dari itu, aktivisme digital memberikan suara kepada kelompok marginal yang selama ini terpinggirkan dari ruang publik konvensional. Perempuan korban kekerasan seksual, komunitas LGBTQ+, buruh, hingga masyarakat adat kini memiliki platform untuk menyuarakan narasi mereka sendiri tanpa harus melalui filter media massa atau elite politik. Demokratisasi ini menciptakan ruang partisipasi yang lebih inklusif dan memberikan peluang bagi suara-suara yang selama ini terbungkam untuk didengar oleh publik yang lebih luas.

Namun, kekuatan media sosial sekaligus menjadi kelemahannya. Kemudahan berpartisipasi justru menciptakan ilusi aktivisme. Berapa banyak dari kita yang merasa telah berkontribusi pada gerakan sosial hanya dengan membagikan postingan, menambahkan filter foto profil, atau menulis status panjang di Facebook? Fenomena "clicktivism" ini menciptakan kepuasan semu bahwa kita telah melakukan sesuatu, padahal dampak riilnya minimal. Evgeny Morozov dalam bukunya "The Net Delusion" memperingatkan bahwa media sosial dapat menjadi alat kontrol sosial yang efektif bagi rezim otoriter. Algoritma media sosial menciptakan echo chamber yang memperkuat polarisasi, bukan dialog. Kita terperangkap dalam gelembung informasi yang hanya menampilkan pandangan yang selaras dengan kita, sementara pihak lain terperangkap dalam gelembung yang berbeda. Hasilnya adalah fragmentasi gerakan sosial, bukan solidaritas.

Lebih mengkhawatirkan, aktivisme digital rentan terhadap manipulasi. Buzzer politik, disinformasi, dan fake news dapat dengan mudah mengalihkan narasi, mendiskreditkan gerakan, bahkan menciptakan perpecahan internal. Kasus penyebaran hoaks saat aksi 212 atau manipulasi opini publik jelang pemilu menunjukkan bagaimana ruang digital yang seharusnya demokratis justru menjadi medan perang informasi yang tidak seimbang. Dalam konteks ini, media sosial bukan hanya alat pemberdayaan tetapi juga instrumen manipulasi yang dapat melemahkan gerakan sosial dari dalam.

Gerakan sosial yang efektif membutuhkan lebih dari sekadar viral di media sosial. Studi menunjukkan bahwa gerakan yang berhasil adalah yang mampu mentransformasi mobilisasi online menjadi aksi offline yang terorganisir. Gerakan Coin melawan UU MD3 pada 2018 adalah contoh bagaimana petisi online yang mengumpulkan jutaan tanda tangan berhasil mendorong perubahan karena disertai dengan tekanan politik riil. Kita perlu melihat media sosial sebagai alat, bukan tujuan. Seperti yang dikatakan Zeynep Tufekci, sosiolog yang meneliti gerakan sosial digital, media sosial sangat efektif untuk mobilisasi tetapi lemah dalam membangun kapasitas organisasional jangka panjang. Gerakan yang hanya mengandalkan viralitas tanpa struktur organisasi yang jelas cenderung cepat padam setelah momentum awal.

Masa depan gerakan sosial terletak pada pendekatan hybrid yang mengombinasikan kekuatan mobilisasi digital dengan kekuatan organisasi konvensional. Media sosial harus digunakan sebagai alat untuk memperkuat, bukan menggantikan, kerja-kerja pengorganisasian di lapangan. Pendidikan politik, pembangunan solidaritas riil, dan konsolidasi organisasi tetap menjadi prasyarat gerakan sosial yang berkelanjutan. Sebagai generasi digital native, tanggung jawab kita bukan hanya menjadi pengguna media sosial yang aktif, tetapi menjadi aktivis yang kritis. Kita harus mampu membedakan antara partisipasi simbolik dengan aksi transformatif, antara viralitas dengan dampak riil, antara echo chamber dengan dialog publik yang genuine.

Aktivisme digital adalah kekuatan yang tidak dapat diabaikan, tetapi juga bukan solusi ajaib untuk semua masalah sosial. Hanya dengan pemahaman yang matang terhadap kekuatan dan keterbatasannya, kita dapat memanfaatkan media sosial sebagai alat emansipasi, bukan sekadar ilusi perubahan. Kombinasi antara kekuatan mobilisasi digital dan kerja pengorganisasian konvensional akan menentukan apakah gerakan sosial di era digital mampu menghasilkan transformasi sosial yang berkelanjutan atau hanya menjadi fenomena sesaat yang cepat meredup.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS