Oleh: Habby Ricsi Putra Prawira. Habby Ricsi Putra Prawira_Mahasiswa Universitas Andalas
Indonesia dikenal sebagai negeri yang kaya akan sumber daya alam, terutama tambang nikel, emas, dan batu bara. Namun, di balik kemewahan sumber daya itu tersimpan paradoks besar: kerusakan ekologi, konflik agraria, dan penderitaan masyarakat lokal. Paradoks inilah yang kemudian melahirkan bentuk baru dari perjuangan masyarakat sipil yang disebut gerakan sosial lingkungan, sebuah perlawanan hijau terhadap ekspansi industri ekstraktif yang rakus dan merusak. Gerakan ini tak sekadar menolak tambang, tetapi menantang paradigma pembangunan yang hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa memperhitungkan keberlanjutan hidup manusia dan alam.
Dalam perspektif teori Gerakan Sosial Baru (New Social Movement Theory), perjuangan lingkungan dipahami bukan sekadar reaksi terhadap ketimpangan ekonomi, tetapi lebih pada perjuangan identitas, nilai, dan kesadaran ekologis. Seperti dikemukakan oleh Alberto Melucci, gerakan sosial modern muncul karena perubahan nilai dan makna dalam masyarakat. Isu lingkungan menjadi simbol perjuangan atas hak hidup yang adil dan berkelanjutan. Sementara itu, menurut Resource Mobilization Theory (McCarthy & Zald), keberhasilan gerakan sosial sangat bergantung pada kemampuan kelompok untuk mengorganisir sumber daya mulai dari jaringan, dana, pengetahuan, hingga legitimasi publik. Dalam konteks Indonesia, jaringan seperti WALHI, JATAM, dan berbagai komunitas lokal menjadi motor penggerak utama dalam mengoordinasikan aksi-aksi kolektif. Selain itu, Political Opportunity Theory (Tarrow) menjelaskan bahwa perlawanan hijau tumbuh subur ketika struktur politik memberi ruang terbuka bagi gerakan sosial untuk menekan negara dan korporasi.
Fenomena perlawanan hijau tampak jelas dalam berbagai konflik tambang di Indonesia, seperti di Wawonii (Sulawesi Tenggara), Banyuwangi (Tumpang Pitu), Sawahlunto (Sumatera Barat), dan Halmahera (Maluku Utara). Masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya pada tanah dan laut berhadapan dengan korporasi besar yang mendapat izin eksploitasi dari negara. Melalui aksi demonstrasi, advokasi hukum, hingga kampanye digital dengan tagar seperti #SaveWawonii atau #TolakTambang, para aktivis mengubah isu lokal menjadi agenda nasional.
Di sini, kekuatan media sosial menjadi instrumen strategis bagi mobilisasi sumber daya dan penyebaran kesadaran ekologis. Namun, perjuangan mereka sering berhadapan dengan represi: kriminalisasi aktivis, intimidasi aparat, hingga stigmatisasi sebagai penghambat pembangunan. Perlawanan hijau di negeri tambang memperlihatkan bagaimana relasi kuasa antara negara, korporasi, dan masyarakat sipil terus diuji dalam kerangka demokrasi yang rapuh.
Gerakan sosial lingkungan tidak hanya menentang tambang sebagai aktivitas ekonomi, tetapi juga mengkritik model pembangunan yang eksploitatif. Dalam logika kapitalisme ekstraktif, alam diposisikan sebagai komoditas, bukan entitas hidup yang harus dijaga keseimbangannya. Di sinilah gerakan sosial memainkan peran ideologis menegaskan bahwa keberlanjutan lingkungan adalah bagian dari keadilan sosial. Mereka memperjuangkan konsep pembangunan alternatif yang menempatkan manusia dan alam sebagai subjek, bukan objek pembangunan.
Dengan demikian, gerakan sosial lingkungan berfungsi sebagai ruang baru bagi kesadaran kritis masyarakat tentang relasi manusia dan ekologi. Ia bukan lagi sekadar gerakan lokal, melainkan bagian dari arus global untuk menentang krisis iklim dan ketimpangan ekologis.
Perlawanan hijau di negeri tambang adalah cerminan kebangkitan kesadaran ekologis di tengah krisis lingkungan dan ketimpangan struktural. Gerakan ini memperlihatkan transformasi nilai dalam masyarakat, dari sekadar kepentingan ekonomi menuju solidaritas ekologis yang lebih luas. Dengan memanfaatkan strategi mobilisasi sumber daya, peluang politik, dan jaringan digital, gerakan sosial lingkungan berhasil menjadi kekuatan moral sekaligus politik dalam menantang hegemoni industri ekstraktif. Ke depan, gerakan ini akan terus menjadi penyeimbang antara kepentingan pembangunan dan keberlanjutan lingkungan, sekaligus mengingatkan bahwa kemajuan sejati bukan diukur dari jumlah tambang yang dibuka, tetapi dari kemampuan bangsa menjaga keseimbangan antara manusia dan alamnya.
Habby Ricsi Putra Prawira_Mahasiswa Universitas Andalas
0 Comments