(KAJIAN PSIKOANALISIS JACQUES LACAN)*1
Oleh Greyta Sarah Fernanda mahasiswa universitas Andalas Padang
1. Pendahuluan
Novel merepresentasikan potret kehidupan masyarakat dalam kurun waktu tertentu, mencerminkan realitas sosial dan perilaku manusia pada masa penulisannya. Sebagaimana dijelaskan oleh Reeve (dalam Nofrita & Hendri, 2017:80), karya sastra ini berfungsi sebagai cermin yang memantulkan dinamika kehidupan nyata sesuai konteks zaman. Salah satu novel yang dipilih untuk dikaji adalah Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela (2008) karya Tetsuko Kuroyanagi. Novel terjemahan ini mengisahkan petualangan seorang gadis kecil bernama Totto-Chan di lingkungan sekolah yang unik. Keistimewaan novel ini terletak pada kemampuannya menyajikan kisah inspiratif yang relevan bagi beragam kalangan, baik orang tua, pendidik, maupun anak-anak. Melalui narasi yang sederhana namun penuh makna, pembaca dapat memetik nilai-nilai kehidupan tentang pendidikan, pengembangan diri, dan cara memandang dunia dengan perspektif yang humanis.
Novel Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela tidak hanya menyoroti dinamika psikologis anak, tetapi juga mengangkat praktik pendidikan humanis yang kontras dengan situasi zaman perang. Latar cerita yang berlatar Jepang pasca-Perang Dunia II memperlihatkan bagaimana sistem pendidikan di Tomoe Gakuen (sekolah Totto-Chan) justru menolak pendekatan otoriter dan militeristik yang khas pada masa perang. Kepala sekolah Sosaku Kobayashi menerapkan metode belajar berbasis kebebasan eksplorasi dan penghargaan terhadap individualitas. Sebuah antitesis dari pola pendidikan disiplin ketat yang lazim di era konflik. Padahal, di tengah tekanan sosial pascaperang yang sarat trauma, pendekatan ini justru menjadi ruang penyembuhan bagi anak-anak seperti Totto-Chan, yang kerap dianggap "bermasalah" oleh sistem konvensional.
Ironisnya, meski novel ini berlatar belakang kekacauan pascaperang, nilai-nilai pendidikannya justru relevan untuk menjawab tantangan zaman sekarang. Seperti halnya orang tua Totto-Chan yang berjuang menemukan sekolah yang memahami kebutuhan psikologis anak di tengah situasi sosial yang tidak stabil, orang tua masa kini juga kerap menghadapi dilema serupa dalam memilih pendidikan yang ramah terhadap perkembangan mental anak. Esai ini bertujuan mengungkap bagaimana proses pendidikan alternatif dalam novel mampu menjadi solusi bagi krisis kepercayaan diri, rasa tidak aman, dan tekanan psikologis anak-anak. Isu yang tidak hanya muncul di masa perang, tetapi juga dalam masyarakat modern yang penuh kompetisi dan ketidakpastian.
Pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah kejiwaan para tokoh fiksional yang terkandung dalam karya sastra, (Ratna, dalam Nur 2015: 3). Proses perkembangan psikologis tokoh dapat dianalisis melalui pendekatan psikoanalisis, khususnya teori Jacques Lacan yang menyinergikan linguistik dan psikologi. Lacan membagi perkembangan manusia ke dalam tiga ranah: Real (kebutuhan fisik), Imajiner (permintaan akan pengakuan melalui relasi dengan "yang Lain"), dan Simbolik (hasrat yang terekspresi melalui bahasa dan norma sosial). Ketiganya merepresentasikan tahapan perkembangan jiwa dari bayi hingga dewasa, sekaligus menjadi kerangka untuk memahami dinamika ketaksadaran sebagai inti kehidupan psikis.
2. Pembahasan
Sebelum memasuki pembahasan berikut ini merupakan beberapa data yang menggambarkan betapa pentingnya peran orang tua, sekolah, dan lingkungan pertemanan dalam perkembangan anak.
Aspek Real Tokoh Utama
Menurut Lacan, fase Real ditandai oleh kepenuhan tanpa adanya rasa kekurangan. Dalam novel, Totto-Chan digambarkan sebagai anak yang seluruh kebutuhannya terpenuhi secara fisik dan emosional.
Totto-Chan tidak tahu Mama merasa khawatir. Jadi Ketika mata mereka bersitatap, dia berkata riang, “aku berubah pikiran. Aku akan bergabung dengan kelompok pemusik jalanan yang selalu berkeliling sambil mengiklankan toko-toko baru!”
(Tetsuko Kuroyanagi, 2018:11)
Dari kutipan diatas Ia bebas mengekspresikan keinginannya seperti bercita-cita menjadi pemusik jalanan atau penjual karcis tanpa mendapat penolakan dari Mama.
Mama punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Dia sibuk mengisi kotak bekal dengan “sesuatu dari laut dan sesuatu dari pegunungan” sambil memberikan sarapan kepada Totto-Chan. Mama juga memasuka karcis abonemen kereta Totto-Chan ke dompet plastik yang akan dikalungkan di leher Totto-Chan dengan tali agar tidak hilang.
(Tetsuko Kuroyanagi, 2018:31)
Dukungan penuh orang tua tercermin dari perhatian Mama dalam menyiapkan bekal bergizi dan memastikan kebutuhan sekolahnya terpenuhi. Hal ini menciptakan rasa aman yang membuat Totto-Chan tidak merasa kehilangan atau terbatas, sesuai karakteristik fase Real.
Aspek Imajiner Tokoh Utama
Fase Imajiner muncul ketika tokoh mulai menyadari "kekurangan" dirinya melalui interaksi dengan lingkungan.
Tentu saja ketika itu Totto-chan tidak tahu bahwa dia dikeluarkan dari sekolah karena gurunya sudah kehabisan akal menghadapinya. Watak yang periang dan terkadang suka melamun, membuat Totto-Chan berpenampilan polos. Tapi, jauh dalam hatinya, dia merasa dirinya dianggap aneh dan berbeda dari anak-anak yang lain. Bagaimanapun, kepala sekolah membuatnya merasa aman, hangat, dan senang. Dia ingin bersama kepala sekolah selama-lamanya.
(Tetsuko Kuroyanagi, 20018:27).
Totto-Chan mengalami fase Imajiner setelah dikeluarkan dari sekolah sebelumnya karena dianggap "aneh". Perasaan tidak diterima oleh guru dan teman-teman membuatnya merasa berbeda, meski ia belum sepenuhnya memahami alasan pengusirannya.
Mama tidak bilang kepada Totto-Chan bahwa dia dikeluarkan dari sekolah. dia tahu, Totto-Chan takan mengerti mengapa dia di anggap telah berbuat salah dan mama tidak ingin putrinya menderita tekanan batin, jadi diputuskannya untuk tidak memberi tahu Totto-Chan sampai dia dewasa kelak. Mama hanya berkata, “bagaimana kalau kau pindah ke sekolah baru? Mama dengar ada sekolah yang sangat bagus.”
(Tetsuko Kuroyanagi, 2018:18)
Mama sengaja menyembunyikan fakta ini untuk melindungi psikisnya, tetapi ketidaktahuan justru memperkuat perasaan Totto-Chan sebagai "yang Lain" (the Other). Konflik ini memicu keinginannya untuk mencari pengakuan, terutama dari figur otoritas seperti kepala sekolah Tomoe Gakuen.
Aspek Simbolik Tokoh Utama
Pada fase Simbolik, Aspek simbolik merupakan tahap di mana seseorang akan melalukan hal-hal yang dapat memuaskan hasratnya, dalam hasrat hanya ada kepuasan untuk menjadi dan memiliki apa yang diinginkan. Totto-Chan mulai menginternalisasi norma sosial melalui bahasa dan relasi.
Totto-chan merasa dia telah bertemu dengan orang yang benarbenar disukainya. Belum pernah ada orang yang mau mendengarkan dia sampai berjam-jam seperti kepala sekolah. Lebih dari itu, kepala sekolah sama sekali tidak menguap atau tampak bosan. Dia selalu tampak tertarik pada apa yang diceritakan Totto-chan, sama seperti Totto-chan sendiri.
(Tetsuko Kuroyanagi, 2018: 27)
Setelah kepala sekolah berkata, “sekarang kau murid sekolah ini,” Totto-chan tak sabar menunggu esok tiba. Belum pernah dia bersemangat menyambut hari baru seperti itu. Biasanya mama kesulitan membangunkan Totto-chan di pagi hari, tapi hari itu dia sudah bangun sebelum yang lain terjaga, sudah rapi berpakaian, dan menunggu dengan tas sekolah tersandung dibahunya.
(Tetsuko Kuroyanagi, 2018:31)
Penerimaan kepala sekolah Tomoe Gakuen yang mendengarkan ceritanya tanpa menghakimi menjadi katalis perubahan.
Setiap hari di Tamoe Gakuen selalu penuh kejutan bagi Tottochan. Ia begitu bersemangat pergi kesekolah hingga merasa fajar tidak pernah cukup cepat datang. Dan setiap kali pulang, ia tak bisa berhenti berbicara. Ia akan bercerita pada Rocky, Mama, dan Papa tentang semua yang dilakukannya di sekolah hari itu, betapa asyiknya semua kegiatannya, dan betapa sekolahnya selalu penuh kejutan. Sampai akhirnya, mama harus berkata, “Cukup, sayang. Berhentilah bicara dan makan kuemu.”
(Tetsuko Kuroyanagi, 2018:52)
Fakta yang paling aneh adalah Totto-chan. Baru beberapa bulan sebelumnya ia selalu menggegerkan seisi sekolah karena berbicara dengan pemusik jalanan dari jendela ketika pelajaran berlangsung. Sejak hari pertama bersekolah di sekolah Tomoe, Totto-chan selalu rajin belajar dan berusaha bersikap baik. Kalau saja guru dari sekolahnya yang lama melihat Totto-chan sekarang, duduk manis di dalam kereta api bersama anak-anak lain, mereka pasti bilang, “pasti itu anak lain!”
(Tetsuko Kuroyanagi, 2018:95)
Di sekolah baru ini, ia belajar mengekspresikan hasrat secara konstruktif seperti antusiasme bercerita tentang kegiatan sekolah atau tekad menjadi anak yang "baik". Transformasi ini menunjukkan internalisasi nilai-nilai simbolik (seperti disiplin dan penerimaan diri) yang membantunya beradaptasi dengan tatanan sosial, sekaligus memenuhi hasrat untuk diakui sebagai individu utuh.
3. Pembahasan
Aspek Real Tokoh Utama
Menurut teori Lacan, Aspek Real tercermin dari kepenuhan kebutuhan fisik dan emosional tokoh. Totto-Chan digambarkan sebagai anak yang seluruh keinginannya terpenuhi berkat pola asuh orang tuanya yang penuh kasih sayang dan dukungan. Orang tuanya menerapkan prinsip pengasuhan holistik—seperti menyiapkan bekal bergizi, memenuhi kebutuhan sekolah, dan merespons imajinasi Totto-Chan tanpa menghakimi—sesuai dengan pandangan Subagia (2021) tentang pentingnya parenting dalam membentuk karakter anak. Harmoni keluarga Totto-Chan (Setiawan, 2014) menjadi fondasi perkembangan psikologisnya, di mana ia tumbuh tanpa merasakan "kekurangan" atau ketiadaan (absence), sesuai karakteristik fase Real Lacan.
Aspek Imajiner Tokoh Utama
Fase Imajiner muncul ketika Totto-Chan menyadari "kekurangan" dirinya setelah dikeluarkan dari sekolah pertama. Perlakuan guru yang menganggapnya "aneh" dan "nakal" menciptakan krisis identitas: ia merasa tidak diterima sebagai bagian dari "yang Lain". Ketidaktahuannya tentang alasan pengusiran (yang sengaja disembunyikan Mama) justru memperkuat perasaan terasing ini. Menurut Pritama (2015), hilangnya kepercayaan diri seperti ini dapat memengaruhi kemandirian, toleransi, dan cara pengambilan keputusan. Konflik ini juga menyoroti kegagalan guru dalam memahami psikologi anak (Marbun, 2018), di mana fokus pada nilai akademik mengabaikan kebutuhan emosional Totto-Chan.
Aspek Simbolik Tokoh Utama
Pada fase Simbolik, Totto-Chan mencapai kepenuhan identitas melalui penerimaan di Tomoe Gakuen. Sekolah ini menjadi ruang simbolik di mana hasratnya untuk diakui sebagai individu "baik" dan "rajin" terpenuhi. Metode pendidikan humanis kepala sekolah seperti kebebasan berekspresi dan penghargaan terhadap keunikan anak mendorong internalisasi nilai disiplin dan tanggung jawab. Perubahan ini sejalan dengan teori Masganti (dalam Dewi dkk., 2020) tentang perkembangan anak yang dipengaruhi kematangan dan pengalaman. Transformasi Totto-Chan dari anak "nakal" menjadi bersemangat belajar menunjukkan keberhasilan fase Simbolik dalam memuaskan hasrat melalui adaptasi dengan tatanan sosial.
4. Penutup
Melalui pendekatan psikoanalisis Lacan, penelitian ini mengungkap dinamika perkembangan kejiwaan Totto-Chan dalam tiga ranah: Real, Imajiner, dan Simbolik. Pada fase Real, kepenuhan kebutuhan fisik dan emosional dari keluarga harmonis membentuk fondasi kepercayaan dirinya. Namun, ketika memasuki fase Imajiner, interaksi dengan lingkungan sekolah pertama yang represif menciptakan krisis identitas—ia merasa menjadi "yang Lain" akibat ketidakmampuan sistem pendidikan memahami keunikannya. Transformasi terjadi pada fase Simbolik ketika Tomoe Gakuen menjadi ruang negosiasi hasrat: melalui penerimaan tanpa syarat dan kebebasan berekspresi, Totto-Chan menemukan cara menginternalisasi nilai-nilai sosial tanpa kehilangan jati dirinya.
Novel ini bukan sekadar kisah personal, melainkan kritik reflektif terhadap sistem pendidikan yang sering mengabaikan psikologi anak. Pesan utama pengarang jelas: lingkungan yang humanis, baik di keluarga maupun sekolah, adalah kunci mengubah "kenakalan" menjadi potensi. Dalam konteks kekinian, kisah Totto-Chan relevan sebagai pengingat bahwa setiap anak—seperti halnya tokoh utama—memerlukan ruang untuk tumbuh melalui eksplorasi, bukan tekanan. Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya mengisi celah akademis dalam kajian psikologi sastra, tetapi juga mengajak pembaca merefleksikan ulang praktik pengasuhan dan pendidikan yang berpusat pada kebutuhan hakiki anak.
Daftar Pustaka
Kuroyanagi, T. (2018). Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela (Terj. Widjajati PH). PT Gramedia Pustaka Utama.
Nofrita & Hendri. (2017). Psikologi Sastra: Teori dan Aplikasi. Penerbit Pustaka Pelajar.
Nur, A. (2015). Kajian Psikologi Tokoh dalam Karya Sastra. CV Budi Utama.
Rini, S. (2015). Teori Hierarki Kebutuhan Maslow dalam Psikologi Pendidikan. Penerbit Andi.
Subagia, I. N. (2021). Pola Asuh Anak: Konsep dan Implementasi. PT Remaja Rosdakarya.
Setiawan, H. (2014). Peran Keluarga dalam Perkembangan Psikologis Anak. Penerbit Bintang Pustaka.
Pritama, D. (2015). Kepercayaan Diri dan Dampaknya terhadap Kepribadian. Jurnal Psikologi Anak, 10(2), 1-12.
Marbun, M. S. (2018). Psikologi Pendidikan: Pendekatan Humanis untuk Guru. Penerbit Indeks.
Dewi, P. M., dkk. (2020). Perkembangan Anak: Teori dan Praktik. Penerbit Erlangga.
0 Comments