Oleh : Wirdhatul Sayidina Armi mahasiswa sastra Jepang Universitas Andalas Padang
1. Pendahuluan
Pemerintah adalah lembaga yang memiliki kekuasan dan hukum untuk membuat suatu kebijakan, Pemerintah menjadi pengelola suatu wilayah bahkan negara.
Berbagai gaya kepemimpinan atau sistem pemerintahan yang berbeda setiap wilayah nya.
Dalam novel “Memory Police” karya Ogawa Yoko juga terdapat gaya pemerintahan di dalam nya.
Pada “Memory Police” terdapat sebuah wilayah dan pemerintah yang berkuasa pada saat itu di sebut degan “Polisi Kenangan”, segala bentuk hal di dalam masyarakat di atur semua oleh Polisi Kenangan.
Contoh nya Polisi Kenangan mengatur ingatan setiap orang secara kolektif dan bahkan bisa menghilangkan tubuh atau anggota badan dari masyarakatnya.
Masyarakat di dalam kekuasaan sang Polisi Kenangan pun juga harus patuh atas segala bentuk tindakan mereka tersebut, walaupun sang penguasa mengambil ingatan, anggota tubuh, benda, hewan, menggeledah rumah sembarangan dan sebagiannya masyarakat nya wajib patuh terhadap tindakan polisi kenangan tersebut.
Walaupun hal itu sudah berjalan bertahun-tahun lamanya. Hal ini lah yang di sebut dengan Totaliter. Totaliter adalah bentuk pemerintahan yang membatasi kebebasan rakyat dan dipimpin oleh seorang diktator atau kelompok partai politik yang tidak memiliki batasan kekuasaan.
Para pemimpin totalitarian biasanya memiliki visi tentang masyarakat ideal dan berusaha mewujudkannya dengan membuat aturan yang mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan serta hak-hak warga negara.
Pemerintahan ini menuntut ketaatan mutlak, tidak mengizinkan perlawanan, protes, maupun kritik.
Totalitarianisme merujuk pada bentuk kediktatoran paling ekstrem yang berusaha menciptakan kesempurnaan dan memprioritaskan negara, sedangkan rakyat tidak dianggap penting (Brooks, 2006: 320).
Paksaan dan teror merupakan dua ciri utama yang selalu ada dalam negara totalitarian (Linz, 2000: 28). Dalam karyanya, The Origins of Totalitarianism, Hannah Arendt (2017: 341) mengemukakan bahwa totalitarian isme tidak hanya mengandalkan aturan, tetapi juga menarik dukungan massa melalui propaganda dan teror.
Kedua elemen ini digunakan secara bersamaan untuk mengendalikan masyarakat.
Berdasarkan konteks tersebut, penulis menyatakan bahwa tujuan tulisan ini adalah untuk menggambarkan bentuk totalitarianisme dalam novel, menganalisis penyebab dan dampak dari totalitarianisme, serta mendeskripsikan berbagai bentuk perlawanan yang dilakukan oleh para tokoh terhadap kekuasaan totalitarian. Tema totalitarianisme diangkat karena masih relevan dengan kondisi dunia saat ini, mengingat beberapa negara yang masih menerapkan sistem pemerintahan totalitarian, dengan kontrol ketat terhadap rakyat, pembatasan akses informasi dari luar, dan pengendalian penuh atas media serta gaya hidup masyarakat.
2. Pembahasan
Lembaga “Memory Police” dalam novel “The Memory Police” karya Ogawa Yoko berfungsi sebagai simbol kekuasaan totalitarian yang mencerminkan kontrol absolut terhadap individu dan masyarakat. Sebagai entitas yang mengawasi dan menghapus ingatan serta pengalaman kolektif penduduk pulau, Memory Police mewakili mekanisme represif yang digunakan oleh rezim totalitarian untuk mempertahankan kekuasaan.
Mereka tidak hanya menghilangkan benda-benda yang dianggap tidak sesuai dengan ideologi pemerintah, tetapi juga menciptakan suasana ketakutan melalui ancaman penangkapan dan penghilangan individu yang melanggar aturan. Dengan mengontrol informasi dan menyebarkan propaganda yang mendukung rezim.
Tindakan mereka yang menghapus ingatan dan identitas individu menciptakan kondisi dehumanisasi, di mana penduduk kehilangan jati diri dan kemanusiaan mereka. Melalui penggambaran lembaga ini, Ogawa mengajak pembaca untuk merenungkan dampak totalitarianisme terhadap individu dan masyarakat, serta pentingnya ingatan dan identitas dalam mempertahankan kemanusiaan.
Dalam novel “The Memory Police”, pihak berwenang melakukan berbagai bentuk kontrol yang mencerminkan sifat totalitarianisme. Di antara nya:
1. Mereka melakukan penghapusan benda dan ingatan
di mana objek-objek tertentu dihapus dari keberadaan dan masyarakat dipaksa untuk melupakan keberadaan benda-benda tersebut.
2. Terdapat pengawasan dan kekerasan terhadap individu yang “mengingat”
Berusaha mempertahankan ingatan mereka tentang benda-benda yang dihapus. Tindakan represif ini menciptakan suasana ketakutan yang mendalam di kalangan penduduk.
3. Penyebaran ketakutan dan kepasrahan sosial
Menjadi alat untuk menegakkan kontrol, di mana masyarakat merasa tertekan dan tidak berdaya untuk melawan kekuasaan yang ada.
Dampak dari kontrol totalitarian yang diterapkan oleh “Memory Police” dalam novel “The Memory Police” sangat signifikan terhadap kehidupan sosial, termasuk dalam aspek keluarga, pertemanan, dan hubungan antarmanusia. Pertama, dalam konteks keluarga, penghapusan ingatan dan benda-benda tertentu menyebabkan keretakan dalam ikatan keluarga. Anggota keluarga yang mungkin masih mengingat atau mempertahankan ingatan tentang benda-benda yang dihapus dapat mengalami isolasi dan ketidakpahaman dari anggota keluarga lainnya, yang telah dipaksa untuk melupakan.
Hal ini menciptakan ketegangan dan konflik di dalam rumah tangga, di mana komunikasi dan pemahaman antar anggota keluarga menjadi semakin sulit.
Kedua, dalam hal pertemanan, kontrol yang ketat dan pengawasan dari pihak berwenang menciptakan suasana ketidakpercayaan di antara individu. Teman-teman menjadi curiga satu sama lain, karena takut bahwa salah satu dari mereka mungkin “mengingat” dan melanggar aturan. Ini mengakibatkan hilangnya kedekatan emosional dan solidaritas, di mana hubungan yang seharusnya saling mendukung justru terancam oleh ketakutan akan pengkhianatan.
Ketiga, hubungan antarmanusia secara keseluruhan mengalami dehumanisasi. Dengan adanya pengawasan dan kekerasan, individu merasa terasing dan tidak berdaya, sehingga interaksi sosial menjadi dangkal dan penuh dengan ketidakpastian.
Masyarakat yang seharusnya saling mendukung dan berkolaborasi justru terpecah belah oleh ketakutan dan kepasrahan. Akibatnya, kehidupan sosial menjadi terdistorsi, di mana hubungan yang seharusnya berbasis pada kepercayaan dan empati tergantikan oleh ketidakpastian dan ketidakpercayaan, menciptakan lingkungan yang tidak sehat bagi perkembangan individu dan komunitas.
4. Analisis
Swingewood berpendapat bahwa, pada tahapan dasar, sosiologi dan karya sastra mengemukakan ikhtisar yang sama. Dalam kerangka teori sosiologi sastra, Alan Swingewood menekankan bahwa karya sastra tidak dapat dipisahkan dari struktur sosial tempat karya itu lahir. Sastra, menurut Swingewood, merupakan refleksi sekaligus kritik terhadap realitas sosial. Melalui pendekatan ini, The Memory Police karya Ogawa dapat dibaca sebagai alegori tentang represi sosial dan pengendalian budaya dalam masyarakat totaliter.
1. Sastra sebagai cerminan masyarakat : Swingewood berpendapat bahwa sastra mencerminkan struktur sosial dan kondisi zaman. Dalam The Memory Police , hilangnya benda-benda mencerminkan represi budaya dan kontrol totaliter dalam masyarakat yang tidak bebas. Proses penghapusan benda-benda tersebut menggambarkan bagaimana kekuasaan dapat mengendalikan ingatan kolektif dan identitas masyarakat.
Kutipan:
“. Aku baru berpikir apakah itu adalah salah satu makhluk yang pernah kulihat bersama ayahku, ketika aku menyadari bahwa segala sesuatu yang kuketahui tentang makhluk itu sudah menghilang dari dalam diriku” halaman 14
2. Sastra sebagai alat kritik sosial: Sastra bisa digunakan untuk mengkritik ketidakadilan sosial atau penindasan. Tokoh utama yang terus menulis di tengah pelarangan memori menunjukkan bentuk perlawanan terhadap sistem yang menindas kebebasan berpikir. Melalui penulisan, ia berusaha mempertahankan ingatan dan identitas, meskipun berada dalam lingkungan yang berusaha menghapusnya.
Kutipan :
“Kau bisa mengarang cerita tentang apa saja, dari awal. Kau bisa menulis tentang sesuatu yang tidak bisa kaulihat, seolah-olah kau melihatnya sendiri. Kau mengarang sesuatu yang tidak ada hanya dengan menggunakan kata-kata.
Itulah sebabnya R berkata kita tidak boleh menyerah, walaupun ingatan kita lenyap.” Halaman 211
3. Hubungan antara individu dan struktur kekuasaan: Swingewood menyoroti bagaimana individu berinteraksi dengan institusi sosial yang dominan. Karakter-karakter dalam novel yang pasrah atau diam terhadap hilangnya hal-hal penting menggambarkan bagaimana kekuasaan dapat mematikan kesadaran kolektif. Ketidakberdayaan mereka mencerminkan dampak dari kontrol totaliter yang menghilangkan kemampuan individu untuk melawan atau mempertahankan identitas mereka.
“Tidak seorang pun dari mereka mengatakan sesuatu. Bahkan ketika gaji yang mereka terima dari pekerjaan baru itu lebih rendah, mereka sepertinya tidak menyesal kehilangan pe-kerjaan yang lama. Tentu saja, apabila mereka mengeluh, mereka mungkin akan menarik perhatian Polisi Kenangan” halaman 14
Swingewood melihat sastra sebagai medium untuk memahami hubungan antara individu dan kekuasaan. Tokoh utama dalam novel tetap menulis meskipun lingkungan sosialnya terus kehilangan makna dan memori.
Ini mencerminkan peran seniman atau sastrawan sebagai subjek yang mencoba bertahan dan bersuara di tengah represi sosial. Dalam hal ini, The Memory Police bukan hanya cerminan dari masyarakat tertindas, tetapi juga kritik terhadap hilangnya kebebasan berpikir dan berekspresi. Melalui lensa sosiologi sastra ala Swingewood, The Memory Police menjadi lebih dari sekadar fiksi distopia; ia menjadi representasi dari masyarakat yang kehilangan identitas karena kekuasaan yang menindas, serta perlawanan sunyi dari individu yang mencoba menjaga jejak memori sebagai bentuk keberadaan sosial.
5. Penutup
The Memory Police karya Ogawa tidak hanya menyuguhkan kisah fiksi distopia yang menarik, tetapi juga menyajikan refleksi mendalam tentang dampak totalitarianisme terhadap individu dan masyarakat melalui lensa sosiologi sastra. Melalui penggambaran lembaga Memory Police dan mekanisme penghapusan ingatan, novel ini menggambarkan bagaimana kekuasaan yang menindas mampu menghapus identitas, kebebasan berpikir, dan hubungan sosial. Dengan demikian, karya ini mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya memori dan kebebasan sebagai fondasi keberadaan manusia serta memperkuat kesadaran akan bahaya dari sistem totalitarian yang berusaha mengendalikan semua aspek kehidupan. Melalui perjuangan tokoh utama yang terus menulis dan mempertahankan ingatan, Ogawa mengilustrasikan harapan akan perlawanan sunyi yang tetap hidup di tengah tekanan represif, menjadikan The Memory Police sebuah karya sastra yang relevan dan menggugah bagi masa kini.
6. Referensi
Ogawa, Yoko. 1994. Hisoyaka na Kesshō [密やかな結晶]. Tokyo: Kōdansha.
Kumar, M. S., & Singh, R. (2024). Suppression of Memory as Totalitarian Strategy: A Critique of Yoko Ogawa’s The Memory Police. Literary Voice, 109-117.
Došen, A. (2024). The Memory Police: Rehashing the Image of Totalitarianism or Intentionally Anachronistic Writing?. AM Časopis za studije umetnosti i medija, (35), 49-57.
Bintang, R. M., & Adek, M. (2024). Potret Negara Totaliter dalam Novel Bungkam Suara karya JS Khairen. Persona: Kajian Bahasa dan Sastra, 3(2), 154-166.
0 Comments