Ticker

6/recent/ticker-posts

Citraan yang Terdapat Pada Puisi “Hey Teman Cepat Kesini, Hari Itu Berangsur Meninggalkanmu



Oleh : Hidayatul Irfani, Mahasiswa Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas



Dalam dunia kesusastraan, puisi hadir bukan hanya sebagai medium ekspresi, melainkan juga sebagai ruang perenungan yang mempertemukan bahasa, perasaan, dan imajinasi dalam satu kesatuan. Ia bukan sekadar menyampaikan pesan, tetapi juga menciptakan suasana dan pengalaman yang khas bagi pembacanya. Puisi berbicara dalam isyarat dan lapisan makna, membuka kemungkinan bagi siapa saja untuk menafsirkan dan merasakannya secara pribadi. Keunikan puisi terletak pada cara penyair mengolah kata-kata menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar komunikasi. Bahasa dalam puisi bukanlah bahasa sehari-hari tapi lebih padat, simbolik, dan penuh konotasi. Karena itulah, puisi sering kali menuntut kepekaan estetis dari pembacanya agar mampu menangkap makna yang tersembunyi di balik bentuknya yang ringkas. Melalui pendekatan estetika, pembaca diajak tidak hanya membaca, tetapi juga mengalami puisi sebagai karya seni yang hidup.

 Secara umum, estetika dipahami sebagai cabang filsafat yang membahas keindahan, pengalaman indrawi, dan cara manusia menilai atau merespons karya seni. Dalam dunia sastra, khususnya puisi, estetika berperan penting dalam membentuk kualitas artistik dan daya pikat karya. Estetika dalam puisi bukan hanya berkaitan dengan keindahan bunyi atau irama yang enak didengar, melainkan juga menyangkut kedalaman makna, kekuatan simbol, dan ketepatan imaji. Kata-kata dalam puisi bisa membangkitkan emosi tertentu, menciptakan suasana, atau membuka ruang tafsir yang luas. Bahkan citra yang sederhana dapat menghadirkan pengalaman batin yang mendalam. Dalam puisi, estetika tidak berhenti pada tampilan luar, tetapi menjadi cara berpikir dan merasakan yang disampaikan melalui struktur bahasa yang padat dan simbolik. Puisi yang estetis tidak hanya indah, tetapi juga mampu menyentuh dan menggerakkan pembacanya.

 Salah satu puisi yang menarik untuk ditelaah dari segi estetikanya adalah salah satu karya Aminudin Halimun Tawangsa dalam bukunya yang berjudul “Gelombang Laut” yang berjudul “Hey Teman Cepat Kesini, Hari Itu Berangsur Meninggalkanmu” yang menggambarkan perjalanan batin yang dilukiskan lewat peristiwa sehari-hari, namun sarat dengan simbol dan suasana yang reflektif. Larik-lariknya menghadirkan gambaran yang sunyi dan melankolis. Penyair membangun estetika lewat citraan sederhana yang akrab, namun menyimpan kesan tentang pergulatan batin dan kelanjutan hidup seseorang. 

 Citraan merupakan unsur estetika yang memungkinkan pembaca membayangkan, merasakan, atau mendengar sesuatu melalui bahasa. Dalam puisi, citraan berfungsi untuk menghadirkan suasana dan pengalaman seolah-olah pembaca sedang mengalaminya secara langsung. Adapun jenis-jenis citraan yaitu citraan penglihatan yang ditimbulkan oleh indra penglihatan (mata), citraan pendengaran yang berhubungan dengan kesan dan gambaran yang diperoleh melalui indra pendengaran (telinga), citraan perabaan atau citraan tactual adalah citraan yang dapat dirasakan oleh indra peraba (kulit), citraan perabaan atau citraan tactual adalah citraan yang dapat dirasakan oleh indra peraba (kulit), citraan penciuman atau citraan olfactory, citraan pencicipan, dan citraan gerak.

 Dalam puisi “Hey Teman Cepat Kesini, Hari Itu Berangsur Meninggalkanmu” Sejak awal, pembaca diajak menyusuri sebuah perjalanan yang tidak mudah. Dalam larik “merayap di atas pasir di bawah terik,” dihadirkan citraan visual dan citraan peraba dimana kita bisa membayangkan betapa beratnya bergerak perlahan di atas hamparan pasir, dengan matahari yang menyengat dari atas kepala. Panas itu bukan hanya membakar kulit, tapi juga mempertebal rasa letih dan beban yang harus dibawa. Kata “merayap” sendiri memberi kesan tubuh yang hampir tak kuat berdiri. 

 Lalu citraan visualnya diperkuat oleh gambaran jalan yang “lebar jauh” dan dipenuhi “kerikil pecahan benda tajam,” yang tidak hanya sekadar menggambarkan jalan rusak, tapi juga penuh ancaman kecil dari kerikil-kerikil tajam yang sewaktu-waktu bisa menyakitkan. Hal ini merupakan lambang dari perjalanan hidup yang tak selalu mulus, dipenuhi keping-keping luka, tak ada romantisasi dan hanya ada kenyataan yang harus dihadapi. Citraan visual berikutnya mucul juga dalam larik “bersuara si kaki mengalir warna merah,” yang dipadukan dengan citraan pendengaran imanjinatif yang dimana Darah bukan hanya cairan biologis, melainkan pesan diam dari tubuh. “Bersuara” di sini bukan suara yang terdengar, melainkan bisikan penderitaan yang tak terucap. Tampaknya penyair pada bait ini mencoba menbuat isyarat tubuh yang lelah namun tetap melangkah. 

 Selanjutnya ada citraan pendengaran dan citraan perasa (melalui udara dan kelembapan) yang terdapat pada larik “Ada suara binatang sawah / Angin sedikit gerimis rintik.” Kita mendengar suara-suara kecil dari alam, bukan suara bising, melainkan suara yang seperti sedang mengajak diam. Angin dan gerimis datang dengan pelan, membuat suasana menjadi lebih tenang. Larik ini adalah titik di mana dunia luar tak lagi menjadi hambatan, tapi menjadi teman. Bahkan burung hantu yang biasanya hadir sebagai lambang sunyi atau misteri, di sini “menyanyi merdu.” Ini membalik ekspektasi kita, bahwa gelap tidak selalu berarti akhir, dan suara malam bisa menjadi teman dalam kesendirian.

 Lalu pagi datang. “Embun di atas daun hijau segar” menjadi citraan visual yang menjadikan embun dan daun sebagai lambang ketenangan. Pagi yang dingin dan bersih datang tanpa suara, hanya lewat kilau embun di ujung daun. Estetika larik ini terletak pada kejernihan dan kesegaran suasana yang disampaikan. Tidak ada luka, tidak ada beban, hanya napas lega yang ditawarkan oleh pagi. Ini adalah larik penyembuhan. Setelah luka dan perjalanan yang berat, akhirnya tiba satu momen kecil yang memberi isyarat: semuanya belum berakhir, dan masih bisa segar kembali. Dan meskipun tubuh sudah ingin berhenti, langkah tetap dijaga. Tidak ada janji bahwa semua akan baik-baik saja. Tidak ada penghiburan besar. Hanya satu kalimat yang sederhana namun kuat yaitu “jalanlah terus.” Inilah simpul dari semua citraan yang hadir sebelumnya. Bahwa dalam luka, dalam sunyi, dalam panas atau dingin, kehidupan terus mengajak kita untuk melangkah. 

 Secara keseluruhan, puisi “Hey Teman Cepat Kesini, Hari Itu Berangsur Meninggalkanmu” tidak menampilkan keindahan dalam bentuk-bentuk yang mewah atau metafora yang rumit. Justru puisi ini tumbuh dari kesederhanaan, dari benda-benda kecil dan suara-suara yang bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari seperti pasir, kerikil, darah, suara binatang , dan embun di daun yang mengajak pembaca masuk ke dalam perjalanan yang mungkin tidak asing dalam kehidupan masing-masing manusia seperti perjalanan melewati luka, kesunyian, hingga sampai pada seberkas ketenangan. 


Hidayatul Irfani, Mahasiswa Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS