Penulis: Kartika Putri Ramadhani dan Endhita Shafa Anargya, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Pancasila
Akhir-akhir ini, jagat musik Tanah Air kembali dihebohkan dengan isu royalti lagu. Bukan hal baru memang, namun kali ini sorotan datang dari musisi kawakan sekelas Armand Maulana dan musisi top lain seperti Ariel NOAH, BCL, dsb. Vokalis band Gigi ini secara vokal menyuarakan keresahannya mengenai sistem royalti yang dinilai belum sepenuhnya adil bagi para pencipta lagu dan musisi. Pernyataan Armand ini sontak memicu perdebatan sengit dan membuka kembali kotak pandora mengenai kompleksitas hukum kekayaan intelektual di industri musik, khususnya di era digital yang serba cepat ini.
Keresahan Armand Maulana berpusat pada minimnya transparansi dan keadilan dalam pembagian royalti. Ia menyoroti bagaimana pencipta lagu, yang merupakan "jantung" dari sebuah karya musik, seringkali tidak mendapatkan hak yang sepadan dengan nilai ekonomi dari lagu-lagu mereka. Di sisi lain, para penikmat musik di era digital semakin mudah mengakses lagu melalui berbagai platform streaming, YouTube, dan media sosial. Namun, apakah kemudahan akses ini berbanding lurus dengan kesejahteraan para pencipta lagu?
Pertanyaan fundamental ini yang menjadi inti dari kegelisahan Armand. Ia mengindikasikan bahwa ada ketidakseimbangan dalam distribusi pendapatan dari penggunaan lagu, di mana para pencipta lagu seringkali berada di posisi yang dirugikan, sementara pihak-pihak lain dalam ekosistem musik mungkin mendapatkan bagian yang lebih besar.
Menggugat Keadilan dalam Payung Undang-Undang Hak Cipta
Secara hukum, isu royalti lagu ini diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Undang-undang ini merupakan payung hukum utama yang melindungi hak-hak pencipta dan pemilik hak terkait lainnya.
Beberapa poin krusial yang relevan dengan keresahan Armand Maulana adalah Hak Ekonomi Pencipta: Pasal 9 UU Hak Cipta dengan tegas menyatakan bahwa pencipta atau pemegang Hak Cipta memiliki hak ekonomi untuk melakukan berbagai hal, termasuk penerbitan Ciptaan, Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuk, Pendistribusian Ciptaan, dan Pengumuman Ciptaan. Penggunaan lagu oleh platform digital, baik streaming maupun penggunaan di media sosial untuk tujuan komersil, seharusnya masuk dalam kategori penggunaan yang memerlukan izin dan pembayaran royalti. Selain itu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK): Undang-undang ini juga mengakui peran LMK (seperti WAMI, KCI, RAJALi) sebagai pihak yang berwenang untuk mengelola hak ekonomi para pencipta dan pemilik hak terkait. Idealnya, LMK bertugas mengumpulkan royalti dari pengguna lagu dan mendistribusikannya secara adil kepada para pemegang hak. Namun, di sinilah seringkali muncul persoalan transparansi dan akuntabilitas.
Perkembangan teknologi membawa tantangan tersendiri bagi penegakan hak cipta. Penggunaan lagu di platform digital memerlukan mekanisme yang jelas dalam penghitungan dan pendistribusian royalti. Apakah formula yang digunakan oleh platform digital sudah sesuai dengan ketentuan hukum dan apakah ada sinkronisasi data yang memadai antara platform, LMK, dan para pencipta lagu? Ini adalah pertanyaan besar yang perlu dijawab.
Hak Moral: Selain hak ekonomi, Undang-Undang Hak Cipta juga melindungi hak moral pencipta, yaitu hak untuk tetap dicantumkan namanya pada ciptaannya, hak untuk mengubah ciptaannya sesuai kepatutan, dan hak untuk mempertahankan integritas ciptaannya. Meskipun tidak berkaitan langsung dengan royalti finansial, pelanggaran hak moral juga merupakan isu penting yang kerap terjadi di era digital.
Tantangan dan Jalan ke Depan
Keresahan Armand Maulana adalah cerminan dari persoalan sistemik yang belum terselesaikan di industri musik Indonesia. Permasalahan ini tentu bukan hanya masalah dihadapi oleh penyanyi dan pencipta lagu ibu kota saja, penyanyi daerah dan pencipta lagu daerah tentu juga menghadapi persoalan yang sama namun tidak beraninya mereka speak up atau menggugat bukan berarti mereka mau menerima, mereka hanya pasrah oleh keadaan. Kedepan banyak sekali tantangan yang harus segera diselesaikan mengenai hak cipta ini, yang diharapkan bisa menemukan keadilan bagi semua pihak, yakni antara lain:
Transparansi dan Akuntabilitas LMK: Perlu adanya peningkatan transparansi dalam mekanisme pengumpulan dan pendistribusian royalti oleh LMK. Audit independen secara berkala dan akses data yang lebih terbuka bagi para pemegang hak dapat meningkatkan kepercayaan.
Adaptasi Regulasi dengan Teknologi: Meskipun UU Hak Cipta sudah cukup komprehensif, implementasinya di era digital memerlukan penyesuaian dan pemahaman yang mendalam mengenai model bisnis platform digital. Perlu ada sinergi antara regulator, pelaku industri, dan platform untuk menciptakan sistem yang adil dan efisien.
Edukasi dan Kesadaran Hukum: Banyak musisi dan pencipta lagu yang mungkin belum sepenuhnya memahami hak-hak mereka. Edukasi mengenai hukum hak cipta sangat krusial agar mereka dapat memperjuangkan hak-haknya secara efektif.
Peran Pemerintah: Pemerintah, melalui Kementerian Hukum serta kementerian terkait lainnya, memiliki peran sentral dalam memastikan penegakan hukum hak cipta berjalan efektif. Intervensi dan fasilitasi dialog antara berbagai pihak sangat dibutuhkan untuk mencari solusi terbaik.
Suara Armand Maulana adalah alarm penting bagi seluruh pemangku kepentingan di industri musik. Ini bukan hanya tentang berapa banyak uang yang diterima seorang musisi, melainkan tentang penghargaan terhadap karya intelektual, keadilan dalam distribusi ekonomi, dan keberlanjutan ekosistem musik itu sendiri. Harapannya, polemik ini dapat menjadi momentum untuk perbaikan sistem royalti lagu di Indonesia, sehingga keadilan hukum benar-benar dirasakan oleh mereka yang menjadi tulang punggung kreativitas bangsa.
0 Comments