Oleh: Yosa Adelia Mahasiswa sastra Minangkabau Universitas Andalas
Di Minangkabau terdapat aturan-aturan yang mengatur kelangsungan hidup masyarakatnya. Salah satunya adalah aturan berbicara. Cara berbicara masyarakat Minangkabau mengandung nilai etika yang masih berlangsung hingga sekarang, bahkan masyarakat Minangkabau menempatkan aturan berbicara sebagai salah satu aspek penting dalam kebudayaannya. Bagi masyarakat Minangkabau, orang yang memiliki etika dalam berbicara dapat mengangkat derajat mereka lebih tinggi dari orang lain dan dianggap sebagai orang mempunyai budi pekerti yang baik. Teradapat peribahasa yang berbunyi “manusia tahan kias, kerbau tahan palu”, yang artinya manusia harus paham dengan kata kiasan, berbeda dengan hewan yang harus dipalu dahulu agar mengerti”.
Dalam budaya Minangkabau, terdapat filosofi kato nan ampek yang menjadi acuan untuk menjaga norma sopan santun dalam berbicara sehari-hari. Menurut Aslinda dalam Revita, kato nan ampek merupakan aturan tuturan dalam Bahasa Minangkabau yang penggunaannya tergantung pada hubungan sosial yang terjadi antara penutur dengan mitra tutur dalam kehidupan sehari-hari. Dan bagi orang yang tidak menjadikan kato nan ampek sebagai acuan, akan dianggap sebagai urang yang indak tau diampek yang artinya orang yang tidak mempunyai sopan santun, tidak beradat, tidak bermalu, serta tidak beradab.
Pembentukan kato nan ampek dipengaruhi oleh norma-norma kesopanan yang terdiri atas kato mandaki, kato manurun, kato malereng, dan kato mandata. Kato mandaki merupakan kato yang digunakan oleh orang yang lebih muda dan ditujukan kepada orang yang lebih tua. Saat kita berbicara kepada orang yang lebih tua dari kita, kita harus memperhatikan setiap tutur kata yang kita gunakan dan kita harus tahu kapan saatnya berbicara yang serius ataupun bercanda. Kato mandaki biasanya digunakan oleh seorang seorang anak kepada orang tuanya, kemenakan kepada mamaknya, adik kepada kakak, murid kepada guru, mahasiswa kepada dosen, dan lain-lain. Dalam kato mandaki, cara bicara kepada kepada orang yang lebih tua harus menggunakan etika yang baik dan sopan. Tutur kata yang digunakan dalam kato mandaki, yaitu penggunaan kata ganti orang pertama, kedua, dan ketiga bersifat khusus, ambo untuk orang pertama, panggilan kehormatan untuk orang yang lebih tua yaitu: mamak, inyiak, uda, tuan, uni, etek, amai serta baliau untuk orang ketiga.
Kato manurun merupakan kato yang digunakan untuk orang yang lebih tua kepada orang yang usianya lebih muda. Kato manurun biasanya ditujukan oleh orang tua kepada anaknya, kakak kepada adik, mamak kepada kemenakan, guru kepada murid, dosen kepada mahasiswa, dan lain-lain. Walaupun kita berbicara kepada orang yang usianya lebih muda dari kita, kita juga harus memperhatikan tutur kata agar lawan bicara kita merasa dihargai dalam pembicaraan tersebut. Dalam kato manurun, cara bicara dan bahasa yang kita gunakan harus lemah lembut, pelan, dan boleh tegas saat kita ingin menasehatinya. Tutur kata yang digunakan untuk kata ganti orang pertama, kedua dan, ketiga bersifat khusus. Wak den atau awak den atau, (asalnya dari awak aden) untuk orang pertama. Awak ang atau wak ang adalah untuk orang kedua laki-laki, awak kau atau wak kau adalah untuk orang kedua perempuan. Wak nyo atau awak nyo untuk orang ketiga.
Kato malereng ialah kato yang penggunaannya hampir sama dengan kato mandaki, yaitu berbicara kepada yang lebih tua, tetapi kato malereng ditujukan kepada orang yang kita segani. Maksud orang yang kita segani adalah mamak rumah kepada sumando, mertua kepada menantu, antar tokoh adat, agama dan pemimpin. Bahasa yang kita gunakan dalam kato malereng harus sesuai dengan situasinya dan kita juga dituntut untuk menggunakan kiasan yang penuh makna untuk menjaga kesopanan berbahasa kepada lawan bicara. Oleh karena itu kita harus memikirkan kata-kata yang ingin kita sampaikan. Tutur kata yang digunakan dalam kato malereng, yaitu kata pengganti orang pertama, kedua, dan ketiga bersifat khusus. Wak ambo untuk orang pertama, gelar dan panggilan kekerabatan yang diberikan keluarga untuk orang kedua. Dan baliau untuk orang ketiga.
Dan yang terakhir ialah kato mandata (kata mendatar). Kato mandata biasa kita gunakan kepada teman sebaya atau orang yang seumuran denga kita. Di kato mandata kita lebih bebas menyampaikan tutur kata karena lawan bicara kita berada dalam tingkatan usia yang sama. Dalam kato mandata, teman sebaya merupakan teman baik yang selalu ada saat kita sedang duka cita maupun dalam suka cita, jujur dalam segala hal yang berbentuk kebaikan. Dan dalam berteman jangan sampai kita mangguntiang dalam lipatan dan manuhuak kawan sairiang yang artinya adalah janganlah kita menjadi orang yang berlaku baik hanya dihadapan teman kita. Tutur kata yang digunakan adalah memakai suku kata terakhir atau kata-katanya tidak lengkap yaitu den atau aden untuk orang pertama. Ang untuk orang kedua laki-laki. Kau untuk orang kedua perempuan. Dan inyo untuk orang ketiga. Menurut Moussay, bahwa penggunaan tatabahasa atau “acuan persona” Bahasa Minangkabau berbeda dengan Bahasa lain. Penggunaan tersebut sangat beragam karena diujarkan dalam situasi yang berbeda.
Dilihat dari unsur bahasa, kato nan ampek berhubungan erat dengan faktor-faktor sosial budaya masyarakat dan aturan yang dipahami oleh masyarakat Minangkabau itu sendiri. Penggunaan bahasa Minnagkabau melahirkan berbagai bentuk kesusastraan yang berkembang di Minangkabau. Bentuk-bentuk kesusastraan Minangkabau tidak lepas dari norma-norma yang ada dalam tuturan lisan karena dasarnya pengembangan bahasa Minangkabau dari mulut ke mulut. Berikut contoh bentuk kesusastraan Minangkabau yaitu petatah petitih, Indang, pidato adat, dendang, teka-teki, mamangan kaba, dan lain-lain.
0 Comments