Nama : Aulia Rahmi
NIM : 2010421027
Asal Instansi : Departemen Biologi, Universitas Andalas
Nomor handphone : 081268321192
Email : auliar936@gmail.com
Dewasa ini, ada banyak sekali gaya hidup yang dapat diikuti. Berbeda ketika dahulu, dimana sumber daya terbatas dan mata pencaharian belum terlalu bervariasi. Kini, gaya hidup condong bergerak mengikuti dinamika aktivitas seseorang. Sebagai contoh, seseorang dengan jam kerja padat dan sering overtime memilih untuk memesan makanan atau membeli makanan cepat saji di restoran yang kini banyak menjamur. Hal ini terjadi karena mereka tidak punya waktu untuk pergi membeli bahan-bahan segar ke pasar atau supermarket, mengolah kemudian memasaknya menjadi makanan siap konsumsi. Contoh lain, seseorang dengan pekerjaan yang menyita waktu cenderung tidak punya waktu untuk berolahraga dibandingkan seseorang dengan jam kerja yang lebih fleksibel. Inilah fenomena dimana gaya hidup bukanlah pengatur aktivitas kita, namun aktivitas kitalah yang akan mempengaruhi gaya hidup secara keseluruhan.
Salah satu gaya hidup atau pola makan yang kini ramai diperbincangkan adalah vegan. Berbeda dengan pola makan vegetarian, kelompok yang menganut prinsip vegan tidak mengkorporasikan sedikitpun unsur hewani dalam makanan dan gaya hidup mereka. Kelompok vegetarian diketahui masih bisa mengonsumsi telur dan menggunakan tas berbahan dasar kulit hewan dalam kesehariannya, namun kelompok vegan menolak semua itu. Pola makan 100% berbasis tumbuhan (plant-based), tidak menggunakan barang dengan bahan dasar hewan, menolak menggunakan produk yang melibatkan hewan dalam proses pembuatannya, mengecam brand yang menggunakan hewan sebagai hewan ujinya dan banyak lagi. Sekilas, gerakan pola hidup ini sangat ekstrim dan tidak praktis untuk diikuti di negara berkembang seperti Indonesia.
Namun siapa sangka, gaya hidup vegan ini ternyata memiliki pengaruh yang besar terhadap konservasi alam. Dilansir dari thehumanleague.com, ada beberapa dampak positif bagi lingkungan jika banyak dari kita mulai mengikuti gaya hidup vegan, seperti mengurangi emisi karbon dari industri daging dan susu, mengurangi emisi gas rumah kaca (nitrous oxide), mengurangi konsumsi energi, menjaga persediaan air, menstabilkan perairan laut, melindungi hutan tropis, menjaga habitat dan mencegah kepunahan hewan, menjaga kondisi tanah, mengurangi pemakaian sumber daya dan meningkatkan kesehatan. Semua manfaat tersebut tentu saja berdampak secara langsung dan tidak langsung terhadap lingkungan. Pengurangan emisi karbon? Say goodbye pada pemanasan global. Peningkatan kesehatan masyarakat? Nice!
Tetapi apakah tidak ada dampak negatif gaya hidup veganisme ini terhadap lingkungan, khususnya konservasi? Semua kajian dan pandangan hendaknya dilakukan dari dua sisi, menapik semua aspek baik-buruk yang dihasilkan dari suatu entitas. Tentu, veganisme memberikan dampak krusial bagi kita dalam menata kembali alam yang rusak karena industri yang melibatkan hewan dalam proses dan hasil akhirnya. Namun apakah benar menghilangkan seluruhnya tidak mengundang malapetaka bagi konservasi? Sebagai contoh, jika kita semua memandang sapi sebagai penghasil emisi karbon yang besar dan menolak memakan daging sapi atau melibatkan diri dalam industri daging sapi, maka apa yang akan terjadi kepada spesies sapi yang sudah susah payah kita domestikasi? Apakah kita akan menghilangkan fungsi sapi sebagai sumber makanan dan membiarkan seluruh sapi hidup tanpa dimanfaatkan?
Jawabannya: tentu saja kurang tepat. Dalam ilmu konservasi, ada tiga prinsip yang harus dilakukan; study it, use it dan save it. Salah satunya adalah use it (gunakanlah). Dengan demikian, salah satu upaya kita dalam konservasi adalah menggunakan apapun sumber daya yang ada sehingga sumber daya tersebut tidak kehilangan fungsinya. Jika suatu sumber daya telah kehilangan fungsi dalam hidup manusia, biasanya sumber daya tersebut tidak akan dimonitor atau diregulasi lagi. Jika suatu sumber daya tidak diregulasi, bagaimana cara kita mengambil tindakan tepat untuk menyelamatkannya? Tujuan veganisme memang tepat dalam hal menjaga kelestarian hewan, namun ada kalanya dimana kegiatan melestarikan yang benar adalah dengan menggunakan hewan atau sumber daya tersebut setelah kita mempelajari bagaimana manfaatnya bagi kehidupan. Tentu saja, dalam penggunaannya manusia sering terlupa satu prinsip; save it. Dalam penggunaannya, semua sumber daya harus dijaga dan dilestarikan agar penggunaannya dapat diteruskan dalam jangka panjang. Bentuk penjagaan, monitor dan pelestarian ini akan menyeimbangkan jumlah sumber daya yang kita gunakan dan yang masih ada di alam.
Sebaliknya, jika kita hanya membiarkan hewan hasil domestikasi seperti sapi dan ayam tadi untuk berkeliaran saja tanpa dimanfaatkan, maka kita akan lengah dalam monitoring dan upaya pelestariannya. Spesies sapi dan ayam yang membeludak tanpa dimanfaatkan dapat berkembang menjadi spesies invasif yang sulit dikendalikan. Angka kecukupan gizi juga menjadi poin yang bisa dikemukakan. Memang benar kita dapat memperoleh sumber protein yang cukup dari diet berbasis tumbuhan, namun protein hewani adalah komponen yang tidak kalah penting implementasinya dalam kebutuhan gizi kita. Salah satu masalah kesehatan yang masih marak terjadi di Indonesia adalah stunting atau kekurangan gizi pada anak-anak. Dengan membatasi diet mereka dengan hanya tumbuhan (yang tidak semua orang memiliki akses dan preferensi makan yang sama), tentu akan berdampak pada meningkatnya angka stunting. Makanan berbasis hewan juga merupakan entitas yang tertanam erat dalam berbagai budaya di Indonesia. Alternatif mengganti bahan baku daging hewan dengan tumbuhan merupakan solusi yang baik dan futuristik, namun mungkin saja tidak berlaku untuk seluruh lapisan masyarakat dan budaya di Indonesia.
Intinya, prinsip vegan yang menolak menggunakan produk hewani dalam gaya hidupnya merupakan hal yang sangat impresif dan memang berdampak langsung pada pelestarian sumber daya, namun tidak tepat jika diimplementasikan untuk semua orang. Gaya hidup ini mungkin berpengaruh sangat besar jika diarahkan kepada konservasi hewan-hewan langka seperti melarang penggunaan kulit buaya untuk bahan tas, atau bulu rubah langka untuk baju musim dingin. Hal ini memang perlu dikecam karena jumlah hewan yang dimanfaatkan sudah mulai menipis di alam, dan pemanfaatan yang dilakukan tidak sejalan dengan konservasinya. Sebaliknya, untuk kasus pemanfaatan hewan yang sudah didomestikasi dan dibiakkan untuk konsumsi, hal paling tepat yang bisa kita lakukan adalah dengan memanfaatkannya dengan baik demi kelangsungan hidup. Ingat, tujuan konservasi adalah untuk melestarikan sumber daya demi menunjang keberlangsungan hidup manusia, dan jika tujuan itu gagal kita penuhi karena alasan ingin melestarikan mereka–maka ini hanya akan menjadi lingkaran setan yang tidak ada habisnya. Untuk kaum vegan di luar sana, terima kasih telah berkontribusi banyak untuk lingkungan! Untuk kaum ‘omnivora’, tidak perlu merasa bersalah. Kuncinya adalah keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian!
0 Comments