Oleh : Diah Zhawzha Angani1. Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas Padang, Padang-Indonesia.
Abstract:
This research aims to understand the language acquisition process in early childhood with speech delay from a psycholinguistic perspective.
The study is based on the phenomenon that some children do not develop according to their age stage, especially in verbal ability.
This research uses a descriptive qualitative method with direct observation of a three-year-old child who shows limited language production ability.
The findings indicate that the child can only produce simple vocabulary such as “cucu” (milk), “aak” (brother), and “mam” (eat), and is not yet able to construct sentences according to age-level development.
However, word use in communication context shows that meaning comprehension has begun to develop. Intensive verbal interaction in the family environment suggests that the delay is not caused by lack of stimulation, but more likely influenced by internal developmental factors such as neurological maturation.
This research concludes that a psycholinguistic approach is needed to identify causal factors and support appropriate intervention strategies such as speech therapy or further stimulation.
Keywords: Language acquisition; Early childhood; Speech delay; Psycholinguistics; Speech therapy
Abstrak:
Penelitian ini bertujuan untuk memahami proses pemerolehan bahasa pada anak usia dini yang mengalami keterlambatan bicara melalui perspektif psikolinguistik.
Latar belakang penelitian ini berangkat dari fenomena bahwa beberapa anak tidak berkembang sesuai tahapan usia, terutama dalam kemampuan tutur.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan observasi langsung terhadap seorang anak berusia tiga tahun yang menunjukkan keterbatasan kemampuan produksi bahasa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek hanya mampu mengucapkan beberapa kosakata sederhana seperti “cucu” (susu), “aak” (kakak), dan “mam” (makan), serta belum mampu menyusun struktur kalimat sesuai perkembangan usia.
Namun, penggunaan kata dalam konteks komunikasi menunjukkan bahwa pemahaman makna sudah terbentuk.
Lingkungan keluarga yang memberikan interaksi verbal intensif tidak menjadi penyebab hambatan, sehingga faktor internal seperti kematangan neurologis diduga lebih dominan.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa pendekatan psikolinguistik diperlukan untuk memahami penyebab hambatan serta sebagai dasar penyusunan intervensi seperti terapi wicara atau stimulasi lanjutan.
Kata kunci: Pemerolehan bahasa; Anak usia dini; Keterlambatan bicara; Psikolinguistik; Terapi wicara. corresponding author: Maisya Anindita. Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas Padang, Padang-Indonesia.
E-mail addresss: dzhawzha@gmail.com
Submitted Reviewed Revised Accepted Published
Introduction
Bahasa merupakan instrumen utama manusia dalam berkomunikasi dan berinteraksi sosial sejak masa awal kehidupan. Pemerolehan bahasa pada anak berlangsung secara bertahap melalui proses mendengar, meniru, memahami, hingga pada akhirnya menghasilkan tuturan secara mandiri (Tarigan, 2008; Suhartono, 2015). Pemerolehan bahasa pertama (bahasa ibu) terjadi secara alami melalui interaksi anak dengan lingkungan terdekat, khususnya orang tua dan keluarga (Suryana, 2016; Anjani, 2017). Dalam konteks ini, bahasa tidak hanya dipandang sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai sistem simbol bunyi yang digunakan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, serta kebutuhan (Tarigan, 2008).
Kajian psikolinguistik membantu memahami bagaimana proses mental bekerja ketika anak memproses bunyi bahasa, menyimpan informasi semantik, dan menghasilkan tuturan (Chaer, 2003; Wibowo, 2014). Pendekatan ini memandang bahasa sebagai hasil kerja kompleks sistem kognitif, neurologis, dan interaksi lingkungan. Lestari (2018) menegaskan bahwa psikolinguistik memberikan kerangka komprehensif untuk menelaah perkembangan bahasa, terutama ketika terdapat gangguan atau deviasi dari perkembangan normal.
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa tidak semua anak mencapai perkembangan bahasa sesuai tahapan usianya. Speech delay merupakan salah satu gangguan perkembangan bahasa yang ditandai dengan keterbatasan kosakata dan ketidakmampuan menghasilkan struktur bahasa sesuai standar usia (Hidayat, 2020; Astuti, 2017). Faktor penyebab speech delay dapat berasal dari kondisi neurologis, kurangnya stimulasi verbal, atau hambatan dalam pemrosesan informasi kognitif (Herlina, 2021; Dewi, 2018). Hakim (2019) menyatakan bahwa speech delay tampak nyata melalui minimnya respons verbal dan struktur kalimat yang sederhana atau tidak lengkap.
Penelitian sebelumnya sebagian besar berfokus pada faktor penyebab speech delay serta penanganan terapi wicara, namun belum banyak penelitian yang mengintegrasikan perspektif psikolinguistik untuk menjelaskan mekanisme kognitif dan linguistik yang terlibat dalam keterlambatan pemerolehan bahasa pada anak usia dini. Selain itu, studi yang memadukan tinjauan linguistik, neurologis, dan pengaruh lingkungan dalam satu kerangka analisis masih terbatas.
Gap ini membuka ruang penelitian untuk menelaah keterlambatan bicara bukan hanya sebagai gejala klinis, namun sebagai proses bahasa yang terhambat dalam sistem akuisisi linguistik.
Penelitian ini menawarkan kebaruan berupa analisis perkembangan bahasa anak dengan keterlambatan bicara melalui perspektif psikolinguistik yang mengintegrasikan faktor kognisi, neurologi, dan lingkungan bahasa. Pendekatan ini diharapkan memberikan pemetaan konsep yang lebih komprehensif dibandingkan penelitian sebelumnya yang cenderung terfokus pada aspek klinis atau stimulasi bahasa secara terpisah. Bagaimana peran psikolinguistik dalam memahami proses pemerolehan bahasa pada anak usia dini yang mengalami keterlambatan bicara (speech delay)?
Method
Bagian metode penelitian ini menjelaskan secara rinci pendekatan penelitian yang digunakan, desain penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, serta teknik analisis yang diterapkan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif karena penelitian difokuskan untuk menggambarkan fenomena keterlambatan bicara pada seorang anak secara alamiah tanpa manipulasi variabel atau perlakuan tertentu. Pendekatan ini memungkinkan peneliti memahami konteks perkembangan bahasa berdasarkan realitas subjek penelitian.
Participant
Subjek penelitian adalah seorang anak berusia tiga tahun yang menunjukkan gejala keterlambatan bicara. Pemilihan subjek dilakukan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu pemilihan berdasarkan karakteristik tertentu yang relevan dengan tujuan penelitian. Lingkungan sosial keluarga dijadikan fokus pengamatan karena dianggap sebagai konteks komunikasi utama bagi perkembangan bahasa anak.
Instruments and data collection procedures
Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri sebagai human instrument, dibantu lembar catatan observasi untuk mendokumentasikan data secara sistematis. Data penelitian diperoleh melalui observasi langsung berulang terhadap perilaku tutur anak dalam interaksi sehari-hari.
Selama proses pengumpulan data, peneliti mencatat jenis kosakata yang diucapkan, struktur ujaran, konteks penggunaan bahasa, serta respons lingkungan terhadap komunikasi anak. Selain observasi, dokumentasi pendukung berupa rekaman audio percakapan anak digunakan sebagai bahan konfirmasi data (triangulasi teknik).
Data analysis techniques
Data yang dikumpulkan dianalisis menggunakan teknik analisis kualitatif, melalui tahapan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Analisis dilakukan dengan mengaitkan temuan lapangan dengan teori pemerolehan bahasa, perkembangan kognitif, dan psikolinguistik. Proses analisis dilakukan secara berkelanjutan sejak data mulai dikumpulkan hingga penelitian selesai untuk memastikan kesesuaian antara data empiris dan interpretasi teori.
Dengan metode ini, penelitian diharapkan memberikan gambaran komprehensif mengenai kondisi perkembangan bahasa subjek, faktor yang mempengaruhi keterlambatan bicara, serta dinamika proses komunikasi yang terjadi dalam lingkungan keluarga.
Results
Bagian ini berisi data penelitian yang diperoleh melalui observasi langsung terhadap subjek berusia tiga tahun. Data penelitian disajikan untuk menjawab pertanyaan penelitian mengenai bentuk kemampuan tutur anak serta faktor yang memengaruhi keterlambatan perkembangan bahasa. Penggunaan tabel dan uraian deskriptif bertujuan memberikan gambaran komprehensif mengenai kemampuan produksi bahasa subjek.
Tabel berikut menyajikan jumlah kosakata yang telah dapat diproduksi subjek beserta bentuk artikulasinya.
Tabel 1.
Kemampuan Produksi Kosakata Subjek
No Kata yang Diucapkan Bentuk Kata Sebenarnya Fungsi Penggunaan
1 cucu susu Meminta minum 2 aak kakak Memanggil orang 3 nyam minum Meminta minum 4 tuih duit Menyebut objek 5 eh es Menyebut objek 6 mam makan Menyatakan kebutuhan
Discussion
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterlambatan bicara pada subjek lebih berkaitan dengan faktor internal dibandingkan faktor eksternal seperti kurangnya stimulasi sosial. Temuan ini selaras dengan pandangan perkembangan bahasa dalam psikolinguistik yang menempatkan bahasa sebagai proses kompleks antara fungsi kognitif, neurologis, serta sistem representasi mental.
Field (2003) menjelaskan bahwa pemerolehan bahasa terjadi melalui beberapa tahapan meliputi pengenalan bunyi, pemahaman makna, pengorganisasian bentuk bahasa, hingga produksi ujaran. Berdasarkan hasil penelitian, subjek tampak telah melewati tahap pengenalan dan pemaknaan kata, namun belum mencapai tahap kompetensi sintaksis untuk membentuk frasa atau kalimat.
Temuan ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa anak dengan keterlambatan bicara tetap mampu menunjukkan kemampuan reseptif yang baik meskipun kemampuan ekspresifnya terbatas. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa hambatan bahasa tidak selalu disebabkan oleh kurangnya interaksi verbal atau stimulasi lingkungan, tetapi dapat berasal dari belum matangnya sistem neurolinguistik.
Kontribusi penting penelitian ini terletak pada pemahaman bahwa keterlambatan bicara harus dipandang sebagai proses perkembangan yang bersifat bertahap, bukan sebagai gangguan instan. Penelitian ini juga menegaskan bahwa peran lingkungan tetap penting untuk menjaga kontinuitas respons dan rangsangan bahasa pada anak.
Keterbatasan penelitian ini terletak pada jumlah subjek yang hanya satu orang sehingga tidak dapat digeneralisasi. Oleh karena itu, penelitian lanjutan dengan jumlah subjek lebih besar diperlukan untuk analisis komparatif dan diagnosis perkembangan bahasa yang lebih komprehensif. Apabila diperlukan, intervensi profesional seperti terapi wicara dapat dipertimbangkan untuk membantu optimalisasi perkembangan bahasa subjek.
Conclusion
Berdasarkan hasil analisis dan temuan penelitian, diperoleh pemahaman bahwa psikolinguistik berperan penting dalam menjelaskan proses pemerolehan bahasa pada anak usia dini, terutama pada anak dengan keterlambatan bicara. Kondisi keterlambatan tutur tidak selalu berkaitan dengan kurangnya interaksi atau stimulasi lingkungan, melainkan dapat dipengaruhi oleh aspek internal seperti kesiapan mental, perkembangan kognitif, dan kematangan neurologis dalam memproses bahasa. Temuan penelitian ini juga menunjukkan bahwa meskipun anak telah mampu memahami dan mengucapkan beberapa kosakata dalam konteks komunikasi, kemampuan dalam menyusun struktur bahasa secara utuh belum berkembang optimal sehingga proses pemerolehan bahasanya masih berada pada tahap awal. Melalui perspektif psikolinguistik, kondisi keterlambatan bahasa dapat dipahami sebagai proses bertahap yang melibatkan pemrosesan bunyi, pemahaman konsep, dan penyimpanan makna dalam sistem kognitif anak. Penelitian ini memberikan kontribusi penting dalam pengembangan ilmu psikolinguistik, khususnya sebagai dasar dalam merancang strategi pendampingan, stimulasi bahasa, serta intervensi profesional yang sesuai untuk mendukung perkembangan bahasa anak secara maksimal.
References
Anjani, D. (2017). Peran orang tua dalam mengembangkan kemampuan berbahasa anak. Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 8(2), 60–66.
Astuti, W. (2017). Faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan bicara pada anak usia dini. Jurnal Ilmiah Psikologi, 5(2), 80–88.
Chaer, A. (2003). Psikolinguistik: Kajian teori. Rineka Cipta.
Dewi, S. (2018). Gangguan bahasa dan terapi wicara pada anak. Jurnal Terapi Anak, 4(2), 88–95.
Hakim, L. (2019). Pemerolehan bahasa anak usia 2 tahun. Jurnal Pendidikan Bahasa Indonesia, 6(1), 15–21.
Herlina, E. (2021). Perkembangan bahasa anak dalam tinjauan psikolinguistik. Jurnal Edukasi Anak, 11(1), 10–17.
Hidayat, A. (2020). Studi kasus anak speech delay dan penanganannya. Jurnal Konseling dan Psikologi, 9(2), 60–67.
Lestari, A. (2018). Psikolinguistik dan implikasinya dalam pembelajaran bahasa. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, 18(2), 122–129.
Maulida, D. (2021). Analisis pemerolehan bahasa anak usia dini dalam perspektif psikolinguistik. Jurnal Educhild, 10(1), 45–53.
Musthofa, B. (2022). Peran keluarga dalam pemerolehan bahasa anak usia dini. Jurnal Pendidikan Anak, 9(1), 22–28.
Suhartono. (2015). Pemerolehan bahasa pertama dan kedua. Graha Ilmu.
Suryana, D. (2016). Pengaruh interaksi sosial terhadap pemerolehan bahasa anak. Jurnal Ilmu Pendidikan, 3(1), 24–31
Tarigan, H. G. (2008). Pengajaran bahasa. Angkasa.
Wibowo, A. (2014). Psikolinguistik: Antara bahasa dan pikiran. Jurnal Kajian Bahasa, 10(2), 55–61.
Yulianti, K. (2020). Pemerolehan bahasa anak dalam kajian psikolinguistik. Jurnal Humanika, 27(1), 33–42.


































0 Comments