Oleh Yulia Rahma. Mahasiswa Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Andalas Padang
Kondisi Pusat Latihan Gajah (PLG) Sebanga yang terletak di Kabupaten Bengkalis, Riau, kini menjadi sorotan.
Kawasan konservasi yang berdiri sejak akhir 1980-an tersebut kini menghadapi tekanan berat akibat penyusutan habitat, menurunnya tutupan hutan, dan keterbatasan sumber daya dalam pengelolaan satwa.
Luas kawasan hutan yang semula membentang lebar kini menyusut drastis, berganti menjadi perkebunan sawit, lahan garapan, maupun bentuk pemanfaatan lain. Data terbaru pengelola yang dikutip dari Kompas.com menunjukkan, dari lebih 5.700 hektar kawasan PLG Sebanga, hanya sekitar 10 persen yang masih berupa hutan alami.
Area penangkaran yang benar-benar memenuhi standar bahkan tinggal sekitar satu hektar. Dampak kondisi ini terlihat jelas dari berkurangnya jumlah gajah yang dirawat, dari enam ekor kini tinggal lima ekor setelah kematian anak gajah betina berusia satu tahun enam bulan pada 22 November 2025.
PLG Sebanga bukan hanya kawasan biasa, melainkan salah satu pusat konservasi gajah tertua di provinsi Riau. Fungsinya bukan hanya melatih dan merawat gajah, tetapi juga menjadi ruang perlindungan terakhir di tengah derasnya tekanan pembangunan yang ada. Pada masa awal berdirinya, kawasan ini dikelilingi oleh hutan alam yang masih relatif utuh. Gajah masih memiliki ruang jelajah luas, sumber pakan alami tersedia, dan interaksi dengan aktivitas manusia masih terbatas. Perubahan mulai terasa ketika alih fungsi lahan di sekitar kawasan tak lagi terbendung. Perkebunan sawit tumbuh cepat, disusul lahan garapan dan aktivitas lain yang perlahan memotong kawasan hutan. Jalur-jalur alami yang biasa dilalui gajah kini terputus-putus serta ruang hidup kian menyempit. Bagi satwa berukuran besar seperti gajah, kondisi ini bukan hanya sekadar soal berkurangnya lahan, tetapi juga soal keselamatan dan kesejahteraan.
Keterbatasan ruang berdampak langsung pada pengelolaan di dalam kawasan PLG Sebanga. Sumber pakan alami yang semakin berkurang memaksa pengelola untuk menyediakan pakan tambahan. Padahal, kebutuhan makan gajah tidaklah sedikit. Seekor gajah dewasa dapat menghabiskan puluhan kilogram pakan setiap harinya. Ketergantungan pada pakan suplai tentu menambah beban operasional, sementara dukungan anggaran dan fasilitas tidak selalu sebanding. Tekanan lingkungan juga berpengaruh pada kondisi kesehatan gajah. Ruang gerak yang terbatas dan lingkungan yang rusak dapat memicu stres pada satwa. Lingkungan yang rusak membuat gajah kehilangan banyak ruang alami untuk bergerak dan mencari pakan, sementara aktivitas manusia kian mendekat ke batas kawasan konservasi. Dalam jangka waktu yang panjang, kondisi ini berisiko menurunkan daya tahan tubuh dan meningkatkan kerentanan terhadap penyakit. Situasi tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi pengelola yang harus menjaga standar kesejahteraan satwa di tengah keterbatasan yang ada.
Kematian anak gajah betina pada November 2025 lalu menjadi kabar duka yang menyisakan keprihatinan mendalam. Anak gajah berusia satu tahun enam bulan itu merupakan simbol harapan regenerasi di PLG Sebanga. Kehilangannya bukan sekadar berkurangnya satu individu, tetapi juga pengingat betapa rapuhnya upaya konservasi gajah Sumatra saat ini. Dengan tingkat reproduksi yang rendah, setiap kelahiran dan setiap kehilangan memiliki arti yang besar. Persoalan PLG Sebanga sejatinya tidak berdiri sendiri. Apa yang terjadi di kawasan ini mencerminkan persoalan pengelolaan lingkungan yang lebih luas di provinsi Riau. Provinsi ini selama bertahun-tahun menghadapi tekanan alih fungsi hutan yang tinggi. Kepentingan ekonomi, terutama sektor perkebunan, kerap berbenturan dengan upaya pelestarian lingkungan. Dalam pusaran itu, kawasan konservasi sering kali berada di posisi yang paling rentan.
Sejumlah pemerhati lingkungan menilai, kondisi PLG Sebanga memerlukan perhatian yang lebih serius dan langkah nyata. Perlindungan kawasan tidak cukup hanya di atas kertas. Penataan ulang batas wilayah, penguatan status kawasan, serta perlindungan hutan penyangga dinilai mendesak agar ruang hidup gajah tidak semakin menyempit. Tanpa langkah tegas, luas kawasan yang tersisa dikhawatirkan akan terus berkurang.
Selain perlindungan kawasan, dukungan sumber daya juga menjadi kunci. Pengelolaan gajah membutuhkan tenaga terlatih, fasilitas kesehatan satwa yang memadai, serta pendanaan yang berkelanjutan. Tanpa itu, upaya menjaga kesejahteraan gajah akan selalu berada dalam kondisi serba terbatas. PLG Sebanga membutuhkan lebih dari sekadar komitmen moral; ia memerlukan dukungan yang nyata.
Peran masyarakat sekitar kawasan juga tidak kalah penting. Keterlibatan warga dalam menjaga kawasan, mencegah perambahan, dan mendukung program konservasi menjadi faktor penentu keberhasilan. Edukasi dan pendekatan persuasif perlu terus dilakukan agar masyarakat melihat PLG Sebanga sebagai aset bersama, bukan hanya sekadar kawasan tertutup yang terpisah dari kehidupan mereka. Di balik berbagai tantangan yang ada, PLG Sebanga sebenarnya menyimpan potensi besar. Kawasan ini dapat menjadi pusat edukasi lingkungan, ruang pembelajaran konservasi, bahkan destinasi wisata edukatif berbasis alam jika dikelola dengan baik dan berkelanjutan. Potensi tersebut bisa menjadi jalan tengah antara pelestarian lingkungan dan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Kini, masa depan PLG Sebanga berada di persimpangan. Apakah kawasan ini akan diperkuat sebagai rumah aman bagi gajah Sumatra, atau justru terus terdesak oleh kepentingan alih fungsi lahan. Pilihan yang diambil hari ini akan menentukan nasib lima gajah yang tersisa, sekaligus menjadi cermin komitmen Riau dalam menjaga warisan alamnya di tengah tekanan pembangunan. Ketika ruang hidup gajah semakin menyempit, yang sedang dipertaruhkan bukan hanya nasib satwa, tetapi juga keseimbangan hubungan manusia dengan alam.
Keputusan yang diambil hari ini akan meninggalkan jejak panjang, bukan hanya bagi generasi gajah berikutnya, tetapi juga bagi generasi manusia yang mewarisi alam Riau di masa depan.
































0 Comments