Oleh :Cindi iqlima (2501011016) PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATANFAKULTAS ILMU KESEHATANUNIVERSITAS DHARMAS INDONESIA
Dosen Pengampu: Dr,Amar Salahuddin S.pd, M.pd
Saat Rintik Berubah Menjadi Petaka: Surat Cinta untuk Sumatra
Hujan itu tidak seperti biasanya.
Ia tidak datang sebagai pembawa sejuk atau penyubur tanaman.
Pada akhir November 2025, langit di atas Pulau Sumatra seolah robek.
Air tumpah bukan dalam hitungan jam, melainkan hari demi hari, minggu demi minggu, tanpa jeda yang berarti. Suara rintik yang biasanya menenangkan berubah menjadi deru yang meneror mental siapa saja yang mendengarnya.
Di penghujung tahun ini, ketika kalender seharusnya diisi dengan rencana liburan atau refleksi akhir tahun, tiga provinsi utama di Sumatra Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat justru mencatatkan sejarah kelam.
Sebuah tragedi ekologis dan kemanusiaan yang skalanya membuat kita terhenyak, memaksa kita bertanya: apa yang salah dengan cara kita memperlakukan bumi ini?
Ini bukan sekadar berita tentang banjir. Ini adalah kisah tentang 1.072 nyawa yang hilang, tentang 186 orang yang tak kunjung pulang, dan tentang satu juta manusia yang kini hidup beratapkan terpal di tengah lumpur. Ini adalah catatan tentang bagaimana peradaban bisa lumpuh seketika ketika alam memutuskan untuk mengambil kembali haknya.
Semuanya bermula dari peringatan dini yang mungkin, bagi sebagian orang, terdengar seperti rutinitas tahunan.
Namun, alam punya rencana lain. Sistem cuaca di Samudra Hindia sedang bergejolak hebat.
Kelahiran Siklon Tropis KOTO dan Bibit Siklon 95B menjadi pemicu yang sempurna untuk sebuah bencana hidrometeorologi terbesar dalam satu dekade terakhir di wilayah ini.
Di wilayah Tapanuli dan Agam, bencana tidak mengetuk pintu. Ia mendobrak masuk saat warga terlelap.
Kesaksian para penyintas melukiskan gambaran yang seragam: suara gemuruh dari arah bukit yang terdengar seperti suara pesawat jet yang terbang rendah, diikuti oleh getaran tanah yang hebat. Bagi warga di kaki Gunung Marapi dan bukit-bukit curam di Tapanuli Tengah, longsoran tanah bercampur batu-batu besar seukuran mobil menghantam pemukiman dalam hitungan detik. Tidak ada waktu untuk menyelamatkan harta benda. Bagi banyak orang, bahkan tidak ada waktu untuk menyelamatkan diri. Desa-desa yang tadinya riuh oleh aktivitas warga, pagi harinya lenyap, tertimbun material cokelat pekat setinggi atap rumah. Sementara itu, di Aceh Tamiang, musuhnya adalah air. Sungai-sungai meluap dengan kecepatan yang tidak masuk akal. Dalam waktu kurang dari 24 jam, ketinggian air di beberapa titik mencapai atap rumah dua lantai. Arus air begitu deras hingga mampu menyeret truk tronton, menjebol dinding beton, dan mengubah jalan raya lintas provinsi menjadi sungai ganas yang mematikan. Kawasan ini lumpuh total Jalan nasional yang menjadi urat nadi ekonomi Aceh-Sumut putus. Ribuan kendaraan terjebak, menciptakan antrean kemacetan yang mengular hingga puluhan kilometer, sementara sopir dan penumpangnya kelaparan di tengah kepungan air.Hingga tanggal 19 Desember 2025, data yang dikumpulkan dari berbagai posko dan dirangkum dalam laporan resmi (seperti yang tercatat di Wikipedia dan rilis BNPB) menunjukkan statistik yang mengerikan. Namun, mari kita berhenti sejenak melihat angka ini sebagai matematika. Mari melihatnya sebagai nyawa.Seribu Tujuh Puluh Dua (1.072) Jiwa. Jumlah ini setara dengan populasi satu desa kecil yang musnah sepenuhnya. Mereka adalah ayah yang sedang bekerja, ibu yang sedang memasak, dan anak-anak yang sedang tidur. Proses identifikasi jenazah menjadi tantangan emosional yang berat bagi tim DVI (Disaster Victim Identification). Banyak jenazah ditemukan dalam kondisi yang sulit dikenali akibat terseret arus jauh atau tertimbun material longsor berhari-hari. Seratus Delapan Puluh Enam (186) yang Hilang. Bagi keluarga korban, status "hilang" adalah siksaan psikologis yang lebih kejam daripada kematian itu sendiri. Ada harapan yang terus menyala di tengah keputusasaan. "Apakah dia selamat dan hanyut ke desa sebelah?" atau "Apakah dia tertimbun di bawah tempat tidurnya?" Pertanyaan-pertanyaan ini menghantui 186 keluarga yang setiap hari mendatangi posko pencarian dengan tatapan kosong, memegang foto anggota keluarga mereka yang belum kembali.3,3 Juta Jiwa Terdampak. Angka ini mencakup mereka yang rumahnya rusak, sawahnya gagal panen, sekolahnya hancur, atau akses kesehatannya terputus. Ekonomi lokal di tiga provinsi ini praktis berhenti berdetak. Pasar-pasar tradisional di Bukittinggi, Sibolga, hingga Lhokseumawe sepi atau bahkan hancur. Kerugian ekonomi diprediksi mencapai triliunan rupiah, memukul mundur kemajuan pembangunan yang telah diupayakan bertahun-tahun. Bayangkan sebuah kota baru yang muncul tiba-tiba. Penduduknya satu juta orang. Tapi kota ini tidak punya mal, tidak punya taman, dan tidak punya kenyamanan. Kota ini bernama "Pengungsian". Lebih dari 1 juta warga kini berstatus pengungsi. Karena bencana ini mencakup wilayah yang sangat luas, titik pengungsian tersebar di ribuan lokasi. Ada yang beruntung mendapatkan tempat di gedung sekolah atau kantor pemerintahan yang masih kokoh. Namun, ratusan ribu lainnya harus puas tidur di bawah tenda terpal biru yang didirikan seadanya di pinggir jalan yang lebih tinggi, atau di bukit-bukit yang dianggap aman. Tiga pekan pascabencana, masalah baru mulai muncul: penyakit. Sanitasi yang buruk menjadi bom waktu. Air bersih menjadi barang mewah. Di Aceh Utara dan Aceh Tamiang, laporan tentang diare, penyakit kulit, dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) mulai mendominasi catatan medis para relawan kesehatan.Ibu-ibu menyusui kesulitan memberikan ASI karena stres dan kurang asupan gizi. Lansia yang memiliki penyakit bawaan terpaksa berhenti minum obat karena stok yang hanyut terbawa banjir. Anak-anak, yang jumlahnya mencapai ratusan ribu, mengalami trauma mendalam. Mereka histeris setiap kali mendengar suara hujan deras atau gemuruh petir. Tidak ada sekolah, tidak ada mainan, hanya lumpur dan ketidakpastian. Logistik menjadi mimpi buruk tersendiri bantuan menumpuk di posko utama di ibu kota provinsi, namun gagal mencapai titik-titik terisolasi karena akses yang terputus total. Helikopter menjadi satu-satunya harapan untuk menjatuhkan bahan makanan ke desa-desa yang terkepung air, namun cuaca buruk sering kali memaksa burung besi itu kembali ke pangkalan tanpa hasil. Salah satu dampak paling permanen dari bencana akhir 2025 ini adalah perubahan bentang alam. Jika kita melihat peta satelit sebelum dan sesudah kejadian, perbedaannya mencolok dan menakutkan. Laporan lapangan menyebutkan bahwa ratusan desa terdampak. Namun, frasa "terdampak" terasa terlalu halus untuk menggambarkan realitas di beberapa tempat. Ada desa-desa di pedalaman Aceh dan Tapanuli yang secara harfiah hilang.Bukan hilang karena ditinggalkan penduduknya, melainkan hilang dari peta geografis. Aliran sungai yang meluap dengan kekuatan jutaan kubik air telah membelah daratan, menciptakan jalur sungai baru yang membelah desa. Bekas alun-alun desa kini menjadi dasar sungai. Bekas masjid kini hanya menyisakan kubah yang menyembul di tengah aliran air keruh. Infrastruktur yang Runtuh Data mencatat 1.666 titik infrastruktur rusak parah. Angka ini mewakili jembatan gantung yang menjadi satu-satunya akses anak sekolah, jalan aspal yang amblas ke jurang, tanggul penahan banjir yang jebol, hingga tiang listrik dan gardu telekomunikasi yang roboh. Di Sibolga dan wilayah pantai barat Sumatera Utara, jalan-jalan yang menempel di dinding tebing longsor ke laut, memutuskan konektivitas antar-kabupaten. Upaya perbaikan darurat dilakukan siang malam oleh Kementerian Pekerjaan Umum, namun sifat tanah yang masih labil membuat alat berat sering kali tidak berdaya. Membangun jembatan bailey (jembatan darurat) membutuhkan waktu, sementara perut pengungsi tidak bisa menunggu.Sangat mudah untuk menuding langit dan menyalahkan curah hujan. Benar, hujan kali ini ekstrem. Benar, Siklon Tropis KOTO dan Bibit Siklon 95B adalah fenomena alam yang dahsyat. Namun, menyalahkan hujan semata adalah bentuk penyangkalan terhadap dosa ekologis yang telah lama kita tumpuk. Para ahli lingkungan dan hidrologi sepakat: bencana ini adalah hasil kolaborasi mematikan antara cuaca ekstrem dan degradasi lingkungan yang kronis.Sumatra, yang dulu dikenal sebagai "Paru-paru Dunia" bersama Kalimantan, kini sedang sakit parah. Wilayah hulu sungai di Bukit Barisan telah kehilangan tutupan hutannya secara masif dalam dua dekade terakhir. Alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit, pertambangan ilegal, dan perambahan hutan untuk pertanian semusim telah mengupas kulit pelindung bumi. Hutan berfungsi seperti spons raksasa. Akar-akar pohon menahan tanah dan menyerap air hujan, lalu melepaskannya perlahan ke sungai. Ketika pohon-pohon itu hilang, air hujan yang turun langsung meluncur deras di permukaan tanah (run-off), membawa serta lumpur dan bebatuan. Tanah yang gundul tidak memiliki daya cengkeram, sehingga ketika jenuh oleh air, ia akan meluncur ke bawah sebagai longsor. Inilah yang terjadi di Sumatera Barat dan Aceh. Banjir bandang (galodo) terjadi karena tidak ada lagi yang menahan laju air di hulu. Air meluncur bebas seperti di jalan tol, menghantam pemukiman di hilir dengan kekuatan penuh.Selain hutan, sistem sungai juga mengalami pendangkalan parah akibat sedimentasi. Sungai-sungai di Sumatra Utara dan Aceh kini semakin dangkal karena lumpur hasil erosi di hulu mengendap di dasar sungai. Akibatnya, daya tampung sungai menurun drastis. Hujan sedikit saja sudah bisa memicu luapan, apalagi hujan ekstrem berhari-hari seperti yang terjadi akhir November lalu. Di tengah kegelapan ini, muncul titik-titik cahaya kemanusiaan yang mengharukan. Kisah-kisah kepahlawanan lahir bukan dari film aksi, tapi dari lumpur setinggi pinggang. Mari bicara tentang Tim SAR Gabungan. Mereka adalah manusiamanusia yang kurang tidur, basah kuyup, dan bertaruh nyawa. Ada kisah tentang satu regu BASARNAS di Agam yang harus berjalan kaki selama 12 jam menembus hutan lebat dan medan longsor untuk mencapai satu desa terisolasi, hanya untuk mengantarkan obat-obatan dan mengevakuasi seorang ibu hamil yang hendak melahirkan. Ada pula kisah para relawan dapur umum. Ibu-ibu di desa tetangga yang tidak terdampak, secara sukarela memasak ribuan bungkus nasi setiap hari. Mereka bangun jam 2 pagi dan baru istirahat jam 10 malam, memastikan para pengungsi tidak kelaparan. Solidaritas sosial masyarakat Sumatra terbukti menjadi jaring pengaman paling kuat di saat sistem pemerintahan kewalahan. Namun, ada juga cerita pilu para relawan yang harus menahan air mata saat menemukan jenazah anak kecil yang masih memeluk bonekanya. Beban mental para penyelamat ini sering luput dari pemberitaan, padahal mereka adalah saksi mata paling dekat dengan tragedi ini. Kini, tanggal 20 Desember 2025. Hujan mulai mereda di beberapa wilayah, meski langit masih mendung. Banjir di beberapa titik mulai surut, meninggalkan endapan lumpur tebal yang mulai mengeras dan berbau busuk. Pekerjaan rumah terbesar baru saja dimulai. Fase tanggap darurat mungkin akan segera berakhir, digantikan oleh fase pemulihan dan rekonstruksi yang akan memakan waktu bertahun-tahun.Membangun kembali 1.666 infrastruktur bukan hal mudah. Diperlukan anggaran triliunan rupiah. Namun, tantangan terbesarnya bukan pada uang, melainkan pada tata ruang. Apakah kita akan membangun kembali rumah di lokasi yang sama?Jika rumah-rumah itu dibangun kembali di bantaran sungai atau di bawah tebing rawan longsor, kita hanya sedang menyiapkan kuburan massal untuk bencana berikutnya di masa depan. Relokasi adalah opsi yang logis tapi sulit secara sosial dan budaya. Masyarakat Sumatra memiliki ikatan batin yang kuat dengan tanah leluhur mereka. Memindahkan satu desa berarti mencabut akar budaya dan sejarah mereka. Lalu, bagaimana dengan jiwa-jiwa yang terguncang? Gedung bisa dibangun dalam setahun, tapi trauma anak yang kehilangan orang tuanya, atau orang tua yang kehilangan anaknya, mungkin tidak akan sembuh seumur hidup. Program trauma healing tidak boleh hanya menjadi formalitas sesaat. Ia harus berkelanjutan. Banjir besar dan tanah longsor di Sumatra pada akhir 2025 ini adalah tamparan keras bagi kita semua. Ia mengajarkan bahwa kita tidak bisa terus-menerus mengeksploitasi alam dan berharap alam akan diam saja. 1.072 nyawa yang melayang adalah martir dari ketidakseimbangan lingkungan yang kita ciptakan sendiri.
Tangisan 1 juta pengungsi adalah sirene peringatan yang meraung-raung, meminta kita untuk mengubah haluan. Mungkin, resolusi tahun baru 2026 bagi bangsa ini bukan lagi tentang target pertumbuhan ekonomi semata, melainkan tentang bagaimana berdamai dengan alam.
Bagaimana menjaga hutan yang tersisa, bagaimana menata ruang yang aman, dan bagaimana memanusiakan manusia di tengah ancaman krisis iklim yang semakin nyata. Sumatra sedang menangis.
Dan air matanya mengalir sampai ke hati kita semua. Saat artikel ini ditulis, bantuan masih terus mengalir, doa masih terus dipanjatkan.
Namun, setelah air surut nanti, jangan biarkan kepedulian kita ikut surut.
Karena bagi para korban, perjuangan hidup yang sebenarnya baru saja dimulai.

































0 Comments