Ticker

6/recent/ticker-posts

Refleksi Kapabilitas Responsif dalam Penanganan Bencana Kasus Distribusi Bantuan Banjir Sumatera Utara


Oleh: Aginta Septiana Tarigan (Mahasiswi Dapartemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas, Padang)


Bencana banjir dan longsor yang melanda Sumatera Utara pada akhir November 2025 telah menewaskan ratusan korban dan menyisakan pertanyaan krusial mengenai kapabilitas responsif pemerintah daerah dalam menangani krisis kemanusiaan. 

Salah satu momentum yang memicu perdebatan publik adalah metode distribusi bantuan yang dilakukan Gubernur Sumut Bobby Nasution melalui helikopter, di mana bantuan berupa beras dan mie instan dijatuhkan dari udara ke wilayah terisolir. Video yang beredar menunjukkan kondisi bantuan yang remuk, berserakan, dan bercampur lumpur, sehingga warga harus memunguti butiran beras dari tanah. Peristiwa ini menjadi cermin bagi evaluasi mendalam tentang efektivitas tata kelola bencana di tingkat daerah.

Dari perspektif manajemen bencana, responsivitas bukan hanya soal kecepatan dalam bertindak, tetapi juga ketepatan metode dan kualitas layanan yang diberikan kepada korban. 

Kondisi geografis Tapanuli Tengah yang terisolir akibat longsor memang menjadi kendala logistik signifikan. Distribusi melalui udara merupakan pilihan rasional ketika akses darat terputus. Namun, implementasi teknisnya menimbulkan pertanyaan, apakah metode penjatuhan langsung tanpa parasut atau sistem pendaratan yang lebih terkelola merupakan satu-satunya opsi yang tersedia? 

Banyak contoh di berbagai negara menunjukkan bahwa bantuan kemanusiaan dari udara dapat dilakukan dengan lebih terstruktur menggunakan parasut kecil, kardus dengan bantalan, atau pendaratan di area yang lebih aman meski sedikit lebih jauh dari lokasi bencana.

Klaim Bapak Gubernur Bobby bahwa video yang viral telah diedit menambah kompleksitas narasi. Terlepas dari perdebatan soal editing, esensi masalahnya tetap sama, efektivitas penyaluran bantuan. Faktanya, warga di lapangan menemukan beras berserakan dan bercampur pasir, menandakan ada kegagalan dalam eksekusi distribusi. 

Dalam situasi krisis, persepsi publik sama pentingnya dengan realitas operasional, karena kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sangat bergantung pada bagaimana mereka melihat upaya penyelamatan dilakukan.

Aspek lain yang perlu dikritisi adalah perencanaan kontingensi. Sumatera Utara bukanlah wilayah yang asing dengan bencana alam banjir bandang, tanah longsor, bahkan gempa bumi adalah ancaman berulang. Pertanyaannya, mengapa infrastruktur dan protokol penanganan bencana sepertinya belum terintegrasi secara optimal? Ketersediaan helikopter dari TNI dan Polri memang membantu, tetapi apakah telah ada SOP yang jelas tentang bagaimana bantuan didistribusikan dari udara tanpa merusak barang atau membahayakan penerima? Kapabilitas responsif yang matang seharusnya sudah mempertimbangkan berbagai skenario dan solusi teknis sebelum bencana terjadi.

Dari sisi komunikasi krisis, respons Gubernur Bobby dalam konferensi pers menunjukkan upaya transparansi, namun nada defensif dan fokus pada editing video justru mengalihkan perhatian dari isu utama: bagaimana memperbaiki sistem distribusi bantuan. Komunikasi yang efektif dalam krisis seharusnya lebih berorientasi pada solusi dan akuntabilitas daripada klarifikasi teknis yang memancing perdebatan. Pernyataan "jangan memperkeruh suasana" kepada publik juga dapat dianggap kurang sensitif, karena kritik dari masyarakat adalah bentuk partisipasi warga dalam pengawasan kinerja pemerintah.

Namun demikian, tidak adil jika hanya menyoroti kekurangan tanpa mengakui kompleksitas tantangan yang dihadapi. Bencana dengan skala kerugian hampir 10 triliun rupiah dan ratusan korban jiwa bukanlah situasi yang mudah ditangani, apalagi dengan infrastruktur yang rusak parah. Tim tanggap darurat bekerja di bawah tekanan waktu dan sumber daya terbatas. Dalam konteks ini, niat baik pemerintah provinsi untuk segera menjangkau wilayah terisolir patut diapresiasi. Masalahnya bukan pada niat, melainkan pada kapasitas dan kesiapan sistem dalam mengeksekusi rencana dengan standar humaniter yang memadai.

Ke depan, pembelajaran dari kasus ini harus diarahkan pada penguatan kapasitas tanggap darurat yang lebih komprehensif. Pertama, investasi pada pelatihan personel dalam distribusi bantuan udara dengan metode yang aman dan efisien. Kedua, penyusunan SOP yang detail dan berbasis praktik terbaik internasional untuk setiap jenis bencana. Ketiga, pembangunan infrastruktur pra-bencana seperti landing zone alternatif di berbagai titik strategis. Keempat, simulasi rutin yang melibatkan semua stakeholder, termasuk TNI, Polri, BNPB, dan relawan. Terakhir, sistem komunikasi publik yang lebih adaptif dan empatik dalam menghadapi kritik.

Responsivitas pemerintah dalam bencana bukan hanya diukur dari kecepatan, tetapi dari kualitas bantuan yang sampai ke tangan korban dengan martabat yang terjaga. Beras yang berserakan dan harus dipungut dari lumpur bukan hanya soal efisiensi logistik yang buruk, tetapi juga simbol dari celah dalam sistem tata kelola bencana yang perlu segera diperbaiki. 

Pemerintah daerah Sumatera Utara memiliki kesempatan untuk menjadikan momentum ini sebagai titik balik dalam membangun sistem tanggap bencana yang lebih tangguh, terencana, dan berorientasi pada kemanusiaan bukan sekadar reaksioner, tetapi transformatif dalam menjaga keselamatan dan martabat masyarakat yang terdampak.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS