Ticker

6/recent/ticker-posts

TASAPO DAN RESEP BADAH AYAM: NARASI SAKIT DAN UPAYA PEMULIHAN HOLISTIK DI TENGAH KOMUNITAS MINANGKABAU

 


Penulis:

1. Farel Hezkiel Siahaan, 

2.Azzany Yatul Azmy, 

3.Dita Pramudia Erina Sawitri, 

4. Wifa Raihana Tiyasa

Departmen Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas farelhezkiel01@gmail.com


ABSTRACT


Penelitian ini menganalisis praktik etnomedisin sinkretik dalam sistem penyembuhan lokal di Jorong Tarok, Nagari Tanjung Alam, Minangkabau. Fokus utama adalah ritual Tawa Nan Ampek dan resep pasca-ritual Badah Ayam untuk mengobati penyakit budaya, khususnya Tasapo, yang diyakini berakar dari gangguan spiritual dan ditandai dengan gejala fisik dan psikologis.


Melalui pendekatan kualitatif, artikel ini membedah bagaimana dimensi spiritual, mitologis, dan herbal berinteraksi. 


Ditemukan bahwa Tawa Nan Ampek merupakan wujud sinkretisme yang kuat. 


Ritual ini menggabungkan penggunaan empat tanaman penawar (Sitawa, Sidingin, Sikarau, Sikumpai) dengan pembacaan Surah Al-Ikhlas dan An-Nas sebagai bagian dari prosedur pengobatan. Keyakinan lokal diperkuat melalui penambahan tanaman Jari Angau untuk kasus Tasapo berat, yang secara mitologis dikaitkan dengan kisah Nabi Sulaiman dan jin. Sementara itu, resep tertulis pasca Badah Ayam, dengan detail simbolis seperti 21 helai daun Pandan, melengkapi transisi pemulihan. Secara keseluruhan, praktik ini menegaskan bahwa penyembuhan di Jorong Tarok adalah proses holistik yang mengatasi dualitas tubuh dan roh, serta memperkuat eksistensi medical pluralism di tengah masyarakat Minangkabau.


Kata Kunci/Key Words: Etnomedisin, Tawa Nan Ampek, Tasapo, Badah Ayam, Sinkretisme, Minangkabau, Illness.


PENDAHULUAN


Antropologi kesehatan memahami bahwa pengalaman sakit (illness) adalah fenomena yang tidak hanya melibatkan dimensi biologis (disease), tetapi juga merupakan konstruksi budaya, sosial, dan spiritual. Di Indonesia, fenomena medical pluralism koeksistensi sistem pengobatan modern dan tradisional masih sangat kental, menuntut analisis mendalam terhadap sistem penyembuhan lokal. Masyarakat Minangkabau, dengan kekayaan tradisi dan kuatnya pengaruh Islam, menampilkan sistem etnomedisin yang unik, di mana alam, keyakinan leluhur, dan ajaran agama berpadu dalam upaya pemulihan.


Penelitian ini memfokuskan studi kasus pada praktik penyembuhan tradisional di Jorong Tarok, Nagari Tanjung Alam, Kecamatan Tanjuang Baru, Kabupaten Tanah Datar. Di komunitas ini, salah satu penyakit yang menuntut respons etnomedisin adalah Tasapo suatu kategori penyakit budaya yang dipercaya disebabkan oleh gangguan spiritual atau makhluk halus. Gejala Tasapo mencakup manifestasi fisik seperti munculnya warna kebiruan pada kulit dan gejala psikologis seperti sering mengalami mimpi buruk, bahkan dapat berkembang menjadi kerasukan atau kesurupan. Perbedaan mendasar dalam etiologi penyakit ini dari perspektif biomedis menunjukkan perlunya analisis antropologis untuk memahami model penjelasan (explanatory models) yang digunakan oleh komunitas lokal.


Respons terhadap Tasapo diwujudkan dalam ritual Tawa Nan Ampek (Empat Penawar). Ramuan ini terdiri dari empat tanaman inti Sitawa, Sidingin, Sikarau, dan Sikumpai yang cara pengambilannya pun diiringi pembacaan sholawat , dan penggunaannya didahului oleh pembacaan Surah Al-Ikhlas dan An-Nas. Praktik ini jelas menunjukkan sinkretisme agama dan budaya. Lebih lanjut, dalam kasus Tasapo yang berat, ramuan ini ditambahkan dengan tanaman Jari Angau, yang memiliki narasi mitologis unik, dikisahkan berasal dari makhluk jadi-jadian di zaman Nabi Sulaiman yang kemudian berubah menjadi jin dan tanaman berkhasiat. Selain Tawa Nan Ampek, proses penyembuhan ini juga melibatkan ritual lain seperti Badah Ayam, yang resep pasca-ritualnya (misalnya, penggunaan 21 helai daun pandan dan 3 buah cincau kapeh) sarat dengan simbolisme angka dan herbal yang perlu diinterpretasi. Pengetahuan ini diwariskan secara turun-temurun, menegaskan otoritas penyembuh tradisional dalam sistem kesehatan local.


METODE DAN LOKASI KAJIAN


Penelitian ini mengadopsi pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus, yang berfokus pada analisis praktik etnomedisin Tawa Nan Ampek dan Badah Ayam dalam konteks budaya masyarakat Minangkabau. Metode kualitatif dipilih karena memungkinkan eksplorasi mendalam terhadap sistem kepercayaan, simbolisme, dan model penjelasan lokal (explanatory models) tentang penyakit. Lokasi penelitian ditetapkan secara spesifik (purposive) di Jorong Tarok, Nagari Tanjung Alam, Kecamatan Tanjuang Baru, Kabupaten Tanah Datar, yang merupakan wilayah yang kaya akan tradisi penyembuhan yang diwariskan secara turun-temurun.


Informan kunci (key informant) dalam penelitian ini adalah Bapak Mardias (Sutan Sampono), 65 tahun, seorang pewaris pengetahuan pengobatan tradisional. Pemilihan informan didasarkan pada posisinya yang otoritatif dalam menguasai prosedur ritual, komposisi ramuan, dan narasi mitologis terkait praktik yang diteliti. Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam (in-depth interview) untuk menggali secara rinci konsep penyakit Tasapo (yang ditandai dengan kulit kebiruan dan mimpi buruk), tahapan pengobatan Tawa Nan Ampek (termasuk penggunaan empat tanaman penawar dan pembacaan doa keagamaan), serta kisah asal-usul tanaman Jari Angau yang dikaitkan dengan Nabi Sulaiman.


Selain wawancara, teknik pengumpulan data didukung oleh dokumentasi berupa data visual resep pengobatan pasca-ritual Badah Ayam. Data ini, yang memuat detail bahan seperti Pandan 21 helai dan Cincau Kapeh 3 buah, berfungsi sebagai bahan analisis sekunder untuk memahami simbolisme angka dan herbal dalam proses pemulihan. Seluruh data, baik transkrip wawancara maupun dokumen visual, dianalisis menggunakan analisis tematik. Proses analisis meliputi reduksi data, pengkodean tema (coding) seperti "Sinkretisme Agama-Lokal" dan "Klasifikasi Penyakit", dan diakhiri dengan interpretasi antropologis, yaitu menghubungkan temuan di Jorong Tarok dengan kerangka teori illness vs. disease dan sinkretisme untuk menghasilkan kesimpulan yang kontekstual.


HASIL DAN PEMBAHASAN


Temuan mengenai Tasapo di Jorong Tarok secara fundamental menegaskan perbedaan antara konsep penyakit biomedis (disease) dan pengalaman sakit yang dikonstruksi budaya (illness). Berbeda dengan kerangka patologis yang akan melihat gejala seperti demam atau kebiruan kulit sebagai gangguan biologis murni, masyarakat lokal mengidentifikasinya sebagai penyakit spiritual yang etiologinya berakar pada gangguan makhluk halus atau non-manusia. Model penjelasan lokal (explanatory model) yang didominasi oleh kepercayaan spiritual ini menentukan bahwa pemulihan tidak hanya memerlukan intervensi fisik, tetapi juga penanganan terhadap dimensi spiritual dan sosial yang terganggu. Jika Tasapo berkembang hingga menyebabkan kerasukan atau kesurupan, ini semakin memperkuat interpretasi bahwa pengobatan harus melibatkan mobilisasi kekuatan supernatural yang mampu menetralkan entitas pengganggu.


Respons pengobatan yang diwujudkan dalam ritual Tawa Nan Ampek (Empat Penawar) merupakan contoh nyata dari sinkretisme yang kuat dalam budaya Minangkabau. Ritual ini secara efektif menggabungkan dua domain otoritas penyembuhan. Di satu sisi, ia memanfaatkan kearifan lokal melalui penggunaan empat tanaman penawar herbal (Sitawa, Sidingin, Sikarau, Sikumpai) yang mencerminkan khasiat tradisional. Di sisi lain, praktik ini dilegitimasi secara agama dengan mengintegrasikan ritual keislaman, seperti membaca sholawat saat pengambilan bahan dan pembacaan Surah Al-Ikhlas serta An-Nas sebelum ramuan diminum. Perpaduan ini menunjukkan upaya penyembuh tradisional (Sutan Sampono) untuk memobilisasi kekuatan ganda kekuatan alam/herbal dan kekuatan Ilahi demi memberikan efek penyembuhan yang komprehensif.


Aspek sinkretisme semakin mendalam melalui narasi mitologis terkait tanaman Jari Angau yang ditambahkan untuk kasus Tasapo berat. Penggunaan tanaman ini didasarkan pada narasi mitologis yang menghubungkannya dengan kisah Nabi Sulaiman dan perubahan makhluk jadi-jadian menjadi jin. Mitos ini memvalidasi efektivitasnya dalam melawan gangguan makhluk halus dan memberikan otoritas kosmis pada ritual, karena menghubungkannya dengan figur kenabian. Dalam konteks ini, praktik yang diwariskan secara turun-temurun menjadi sumber otoritas yang memvalidasi hak penyembuh dalam mengelola sakit dan pemulihan dalam komunitas, menjadikannya praktik biopolitik lokal.


Analisis terhadap resep pasca-ritual Badah Ayam melengkapi pemahaman tentang proses penyembuhan sebagai sebuah transisi ritual. Resep tertulis ini sarat dengan simbolisme angka dan herbal, seperti penggunaan 21 helai daun Pandan dan 3 buah Cincau Kapeh. Angka-angka ini tidak hanya bersifat kuantitatif, tetapi merujuk pada perhitungan ritualistik yang diyakini mendukung keberhasilan pengobatan atau melambangkan siklus kosmologis. Dominasi bahan-bahan yang secara tradisional bersifat "mendinginkan" (seperti cincau) dan aromatik (pandan) dalam resep pasca-ritual menunjukkan upaya untuk menetralkan atau menstabilkan kondisi tubuh dan energi pasien setelah melalui ritual yang mungkin dianggap "panas" atau intens. Resep ini menjadi bagian penting dari illness narrative, menandai transisi menuju pemulihan yang berlanjut melalui pemeliharaan diet dan herbal terstruktur. Secara keseluruhan, praktik Tawa Nan Ampek dan Badah Ayam merupakan manifestasi nyata dari pluralisme medis di Jorong Tarok. Sistem ini secara bersamaan mengintegrasikan herbalisme lokal, ritual keagamaan Islam, dan kepercayaan mitologis tentang roh/jin, menegaskan bahwa bagi masyarakat lokal, pemulihan sejati mencakup dimensi fisik, spiritual, dan sosial.


Ritual penyembuhan di Jorong Tarok tidak berhenti pada pemberian ramuan, tetapi juga mencakup tahapan pemeliharaan pasca-ritual, sebagaimana terlihat dari resep pasca-ritual Badah Ayam. Resep tertulis ini sarat dengan simbolisme angka dan herbal, seperti penggunaan 21 helai daun Pandan dan 3 buah Cincau Kapeh. Angka-angka ini tidak hanya bersifat kuantitatif, tetapi merujuk pada perhitungan ritualistik yang diyakini mendukung keberhasilan pengobatan atau melambangkan siklus kosmologis. Dominasi bahan-bahan yang secara tradisional bersifat "mendinginkan" (seperti cincau) dan "menenangkan" (pandan) dalam resep pasca-ritual menunjukkan upaya untuk menetralkan atau menstabilkan kondisi tubuh dan energi pasien setelah melalui ritual yang mungkin dianggap "panas" atau intens. Resep ini menjadi bagian penting dari illness narrative, menandai transisi menuju pemulihan yang berlanjut melalui asupan diet dan herbal terstruktur.


Secara keseluruhan, praktik Tawa Nan Ampek dan Badah Ayam merupakan manifestasi nyata dari pluralisme medis di Minangkabau. Sistem ini secara bersamaan mengintegrasikan herbalisme lokal, ritual keagamaan Islam, dan kepercayaan mitologis tentang roh/jin. Kehadiran dan efektivitas yang diyakini oleh masyarakat lokal menunjukkan bahwa bagi mereka, kesehatan sejati (well-being) hanya dapat dicapai ketika ketidakseimbangan, baik yang bersifat fisik, spiritual, maupun sosial, berhasil dipulihkan melalui lensa budaya mereka sendiri.


KESIMPULAN


Penelitian ini menegaskan bahwa sistem etnomedisin di Jorong Tarok, Nagari Tanjung Alam, Minangkabau, merupakan praktik penyembuhan yang kompleks, holistik, dan menunjukkan sinkretisme budaya yang kuat. Konsep penyakit Tasapo didefinisikan secara lokal sebagai illness spiritual yang berakar pada gangguan makhluk halus, menuntut respons yang melampaui kerangka biomedis. Etiologi spiritual ini dijawab melalui ritual Tawa Nan Ampek.


Ritual Tawa Nan Ampek merupakan perpaduan efektif antara kearifan herbal lokal (Sitawa, Sidingin, Sikarau, Sikumpai) dengan legitimasi agama Islam melalui pembacaan surah-surah Al-Qur'an dan sholawat. Unsur sinkretisme diperkuat oleh keyakinan mitologis pada tanaman Jari Angau, yang dikaitkan dengan narasi kosmis Nabi Sulaiman. Mitos ini berfungsi untuk memvalidasi otoritas penyembuh dan efektivitas ritual dalam melawan entitas non-manusia.


Lebih lanjut, analisis resep pasca-ritual Badah Ayam, dengan penggunaan bahan spesifik seperti 21 helai Pandan dan 3 buah Cincau Kapeh, menunjukkan bahwa proses pemulihan diatur oleh simbolisme angka dan herbal yang bertujuan menyeimbangkan kembali kondisi tubuh pasien pasca-ritual. Secara keseluruhan, praktik Tawa Nan Ampek dan Badah Ayam adalah manifestasi nyata dari pluralisme medis di Jorong Tarok, di mana kesehatan sejati dipahami dan dicapai melalui integrasi dimensi fisik, spiritual, dan sosial dalam bingkai budaya Minangkabau.




DAFTAR PUSTAKA


Mardias, Sutan Sampono. 2025. Wawancara Mendalam mengenai Etnomedisin Tawa Nan Ampek dan Badah Ayam di Jorong Tarok. Wawancara dilakukan oleh Tim Peneliti pada 22 November 2025


Supardi. 2025. Foto Resep Pasca-Ritual Badah Ayam. Dokumentasi Lapangan, Jorong Tarok, Nagari Tanjung Alam.


Good, B. J. 1994. Medicine, Rationality, and Experience: An Anthropological Perspective. Cambridge University Press.


Helman, C. G. 2007. Culture, Health and Illness (5th ed.). Hodder Arnold.


Kleinman, A. 1980. Patients and Healers in the Context of Culture: An Exploration of the Borderland between Anthropology, Medicine, and Psychiatry. University of California Press.

Skeat, W. W. 1900. Malay Magic: Being an Introduction to the Folklore and Popular Religion of the Malay Peninsula. Macmillan.


Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS