Tesso Nilo merupakan sebuah nama yang seharusnya dapat membangkitkan citra hutan hujan tropis yang lebat, kaya akan keanekaragaman hayati, dan menjadi tempat tinggal bagi satwa- satwa ikonik Sumatera.
Namun, bagi masyarakat yang terlibat dalam upaya konservasi, Hutan Tesso Nilo lebih sering diiringin dengan rasa cemas. Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) yang dijuluki sebagai “Paru-Paru Sumatera” ini, kini berada dalam kondisi yang kritis akibat banyaknya ancaman masih dan berkelanjutan yang terjadi seperti, perambahan liar.
Taman Nasional Tesso Nilo, yang terletak di Provinsi Riau, merupakan salah satu habitat sangat penting di dunia. Pada awalnya, Tesso Nilo dikenal memiliki keragaman hayati pohon tertinggi di kawasan Asia Tenggara, dengan lebih dari 4.000 jenis spesies tumbuhan per hektar, yang mana menjadikan Tesso Nilo harta karun botani. Selain itu, kawasan ini adalah koridor kunci bagi pergerakan Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), dan Tapir (Tapirus indicus).
Namun, dalam dua puluh tahun terakhir, cerita indah tentang Tesso Nilo ini sudah berubah total menjadi kisah yang sangat menyedihkan. Alih-alih lestari, kawasan ini justru saat ini sedang menghadapi bencana lingkungan. Datanya menunjukkan bahwa kecepatan penebangan hutan di Tesso Nilo sudah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan.
Hutan-hutan itu terus-menerus dijadikan lahan lain secara ilegal. Kebanyakan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit, dan sebagian kecil juga diubah menjadi perkebun akasia.
Perambahan yang terjadi bukan sekadar aktivitas penebangan pohon yang biasa melainkan, operasi yang dirancang secara sistematis dan teroganisir yang sepenuhnya merupakan hasil campur tangan manusia dan juga menggunakan alat-alat berat, hingga pemanfaatan lubang- lubang hukum lemahnya penegakan pemerintah.
“Perambahan di Tesso Nilo ibarat kanker stadium lanjut. Setiap tahunnya, kita kehilangan ribuan hektar. Tidak hanya pohon, tetapi juga kemampuan alam untuk menahan air, menyerap karbon, dan juga menyediakan rumah bagi para satwa liat,” ujar seorang aktivis lingkungan dari Riau.
Konsekuensi dari hilangnya hutan Tesso Nilo jauh melampaui statistik deforestasi. Ia sangat berdampak langsung pada keseimbangan ekologis dan sosial.
Tesso Nilo merupakan rumah bagi para Gajah Sumatera terbesar kedua yang berada di luar Aceh. Gajah-gajah ini memerlukan area jelajah yang sangat luas untuk mencari makan dan berkembang biak. Ketika koridor hutan mereka dipotong oleh perkebunan sawit, mereka tidak mempunyai pilihan selain masuk ke wilayah permukinan dan perkebunan warga yang akan memicu konflik antara manusia dan gajah (KMG) yang nantinya berujung tragis, baik untuk gajah maupun para petani.
Prof. Tati yang merupakan dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) mengungkapkan bahwa penetepan TNTN sebagai taman nasional tidak lepas dari meningkatnya penggunaan lahan oleh manusia. Ketika perambahan manusia bertambah, ruang gajah menyempit dan akan meningkatkan potensi interaksi langsung dengan masyarakat sekitar. Karena gajah merupakan hewan yang hidup berkelompok, pergerakan satu individu ke area pemukiman atau perkebunan dapat diikuti oleh kelompok lainnya dan dapat menimbulkan konflik.
Para tim patrol dan tim mitigasi konflik harus bekerja siang dan malam, menggunakan teknik menggiring kembali gajah ke habitatnya dan terkadang juga memiliki risiko tinggi, Namun, selama habitat mereka menyusut, KMG akan menjadi fenomena yang tidak dapat terhindarkan.
Sebagian wilayah TNTN kini telah ditanami sawit oleh masyarakat dan saat ini bahkan memasuki masa produktif. Kondisi ini membuat penertiban maupun pemulihan ekosistem menjadi semakin kompleks karena berhubungan dengan kebutuhan ekonomi warga.
Sebagai hutan hujan dengan dataran rendah, Tesso Nilo sangat berperan penting dalam siklus air regional. Pohon-pohon yang ada berfungsi sebagai spons raksasa yang akan menyerap air hujan dan melepaskannya secara perlahan. Ketika hutan berganti menjadi perkebunan sawit, maka daya serap air akan berkurang secara drastis.
Musim kemarau menjadi lebih kering, memicu terjadinya kebarakan hutan dan lahan (Karhutla) yang parah dan dapat menghasilkan kabut asap yang sangat hebat. Sebaliknya, saat masuk musim penghujan, air mengalir deras tanpa adanya hambatan, dan menyebabkan banjir bandang yang akan merusak. Tesso Nilo bukan hanya paru-paru bagi Sumatera, tetapi juga merupakan regulator iklim dan air yang kini rusak parah.
Menurut Prof. Tati (Dosen ITB), upaya konservasi tidak dapat dilakukan hanya satu pihak saja. Namun, diperlukan kolaborasi oleh pengelola kawasan, pemerintahan, masyarakat lokal maupun pendatang, peneliti, hingga organisasi nonpemerintah untuk membangun komitmen bersama untuk saling menjaga keberlanjutan hutan.
Ia menekankan bahwa pentingnya melibatkan masyarakat lokal melalui pendekatan yang relevan dengan kebutuhan dasar mereka, misalnya dengan menciptakan aktivis yang dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial.
Balai Taman Nasional Tesso Nilo bersama kepolisian dan juga kejaksaan terus berupaya agar melakukan penegakan hukum. Saat ini kasus perambahan seringkali terjadi dan melibatkan sindikat yang rapi, sehingga proses penyidikan dan persidangan menjadi rumit.
Permasalahan terbesar yang dihadapi dalam penertiban kawasan hutan ini dengan cara merebut kembali area luas yang telah dikuasai dan ditanami oleh sawit secara ilegal yang sudah berlangsung selama puluhan tahun.
Upaya pengembalian lahan Taman Nasional Tesso Nilo ini bukan hanya sekadar tugas administratif, melainkan sebuah medan yang sarat dengan perlawanan sosial dan poliyik yang kuat dari berbagai pihak yang diuntukan pada saat ini. Sehingga diperlukan ketegasan pemerintah dan penertiban tanpa pandang bulu.
Salah satu contoh keberhasilannya pada pengelolaan Tangkahan di Sumatera Utara, yang mana komunitas lokal dapat mengelola hutan dengan cara ekowisata dan konservasi.
Saat ini Tesso Nilo merupakan penentu nasib satwa ikonik Sumatera dan penyeimbang ekologi kawasan. Sehingga dapat dikatakan, kehilangan Tesso Nilo berarti tidak hanya kehilangan hutan tetapi juga hilangnya harapan untuk mitigasi krisis iklim dan pelestarian keanekaragaman hayati global.
Yang jelas perjuangan ini bukan hanya tugas pemerintah atau para aktivis, tetapi tanggung jawab bersama. Saatnya kita tidak lagi membiarkan “Paru-Paru Sumatera” yang kita miliki terus sesak dan sekarat. Hutan Tesso Nilo harus diselamatkan, sekarang ini juga.






























0 Comments