Oleh Fadillah Zahwa Sahara Mahasiswa Jurusan Biologi Universitas Andalas
Hujan lebat yang melanda beberapa bagian Sumatera belakangan ini kembali memicu bencana banjir, yang menggenangi pemukiman warga, memutus akses transportasi, sehingga memaksa penduduk untuk mengungsi. Di tengah berbagai tanda kehancuran ini, ada fenomena aneh yang sangat memprihatinkan: Pantai Parkit di Padang dipenuhi oleh tumpukan kayu besar yang terbawa arus dari daratan. Kayu-kayu ini bukan hanya sampah alami biasa, melainkan potongan batang dengan potongan yang sangat rapi dengan diameter yang hamper sama, hal ini menunjukkan bahwa sebagian hutan ikut terseret banjir. Keberadaannya di tepi pantai seakan menjadi peringatan kuat dari alam bahwa kerusakan di daerah hulu kini telah mencapai hilir tanpa bisa dihentikan.
Banjir sering dianggap sebagai bencana murni dari peristiwa alam akibat curah hujan berlebihan. Namun, ternyata penyebabnya lebih kompleks. Hilangnya tutupan hutan karena pembukaan lahan, penebangan, dan perubahan fungsi area penyerapan air membuat hujan tidak lagi meresap ke tanah. Akibatnya, air mengalir deras ke sungai, membawa lumpur, sampah organik, dan potongan kayu dalam jumlah yang masif. Saat volume air melampaui kapasitas sungai, banjir terjadi dan menyapu segala yang menghalangi aliran. Kayu-kayu besar yang akhirnya mendarat di Pantai Parkit adalah bukti nyata kerusakan sistem pengatur air di dataran tinggi. Ini bukan sekadar benda tak bernyawa, melainkan saksi kehilangan pohon yang seharusnya mencegah erosi, mengontrol aliran air, dan mengurangi risiko bencana.
Dampak kerusakan lingkungan ini tidak terbatas di daerah hulu. Masyarakat pesisir juga menderita berat. Nelayan sulit berlayar karena kayu menyumbat jalur perahu kecil, aktivitas wisata terhambat meski cuaca sudah cerah, dan pedagang pantai kehilangan pendapatan sementara akibat berkurangnya pengunjung. Kerusakan fasilitas pantai dan infrastruktur kecil menambah beban bagi warga yang awalnya tidak berkontribusi besar pada penyebab bencana. Ironisnya, kejadian di Pantai Parkit menunjukkan bahwa mereka yang paling jauh dari lokasi penebangan justru merasakan efeknya paling dini dan parah.
Fenomena kayu yang bertebaran di pesisir Padang tidak boleh dianggap sebagai insiden biasa yang cepat berlalu. Bencana ini adalah seruan mendesak bagi semua pihak, khususnya pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat di area berhutan. Alam sedang memberikan sinyal, dan pertanyaannya: apakah kita bersedia mendengarkan? Membersihkan Pantai Parkit memang penting, tapi langkah krusial adalah memperbaiki kondisi di hulu agar bencana serupa tidak terus berulang. Hutan yang terus ditebang tanpa kontrol dan sungai yang tersumbat sedimen akan memastikan banjir berikutnya hanya menunggu waktu. Kita tidak bisa hanya bersimpati pada korban setiap bencana, sambil membiarkan masalah pokoknya tak tersentuh.
Ke depannya, penegakan hukum terhadap penebangan ilegal dan pembukaan hutan tanpa izin harus dilakukan tanpa toleransi. Pengelolaan daerah aliran sungai harus memprioritaskan kelestarian, bukan keuntungan jangka pendek. Serta rehabilitasi area kritis perlu dilakukan terus-menerus dengan melibatkan masyarakat sebagai pengawas hutan sejati, bukan hanya melalui proyek sementara yang tidak berkelanjutan. Sumatera memiliki keanekaragaman hayati luar biasa, dan hilangnya hutan berarti kehilangan penopang kehidupan manusia. Banjir saat ini bukan sekadar peristiwa alam, melainkan hasil dari perilaku manusia yang terlalu lama memperlakukan alam sebagai objek eksploitasi.
Pantai Parkit memang bisa pulih dan cantik kembali, tapi upaya pemulihannya tidak boleh berhenti di tepi pantai. Ini harus disertai perubahan cara pandang dalam menangani hutan dan ekosistem daratan. Jika bencana ini dijadikan pembelajaran, suatu hari anak-anak bisa bermain di pantai tanpa menemukan potongan batang pohon yang lebih besar dari tubuh mereka. Namun jika sinyal ini diabaikan, Pantai Parkit dan daerah lain di Sumatera hanya akan menjadi lokasi berulangnya bencana serupa.
Akhirnya, tolok ukur kemajuan suatu wilayah bukan hanya dari jumlah pembangunan fisik, melainkan dari seberapa besar perhatian pada kelangsungan ekosistem untuk generasi mendatang. Banjir yang membawa kayu-kayu ke Pantai Parkit bukan sekadar cuaca buruk, melainkan gambaran runtuhnya keseimbangan alam. Jika kita ingin hidup harmonis dengan alam, saatnya menjadikannya partner, bukan korban.
Alarm konservasi sudah berdering dan ini adalah waktu bagi kita semua untuk merespons dengan aksi nyata, bukan penyesalan belakangan.






























0 Comments