Oleh ,:Aziza Putri Maharani (2310423017)
Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Andalas
Penebangan hutan yang masif dan tidak terkendali merupakan salah satu akar penyebab utama dari meningkatnya frekuensi serta intensitas bencana banjir dan longsor yang melanda provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada penghujung November dan awal Desember 2025, sebuah peristiwa yang menunjukkan dengan jelas bagaimana kerusakan ekosistem hutan di kawasan hulu daerah aliran sungai (DAS) dapat memperparah bencana hidrometeorologis yang sejatinya dipicu oleh cuaca ekstrem. Fenomena tersebut terjadi setelah Pusaran Tropis Cyclone Senyar membawa curah hujan ekstrem di atas normal selama beberapa hari, menghantam wilayah barat laut pulau Sumatra sehingga sungai-sungai utama meluap dan lereng perbukitan runtuh, menyebabkan banjir bandang, tanah longsor, serta kerusakan infrastruktur skala besar. Namun, para ahli dan organisasi lingkungan menekankan bahwa hujan deras saja tidak cukup menjelaskan skala kehancuran yang terjadi; perubahan penggunaan lahan dan deforestasi jangka panjang telah melemahkan daya serap alami hutan sehingga wilayah hulu kehilangan fungsi ekologisnya sebagai “sponge” yang menahan dan mengatur aliran air.
Data terbaru menunjukkan bahwa dalam kurun beberapa tahun terakhir, wilayah Aceh, Sumut, dan Sumbar telah mengalami deforestasi signifikan akibat alih fungsi lahan untuk perkebunan, pertambangan, dan kegiatan ekonomi lainnya, dengan hilangnya jutaan hektare tutupan hutan sejak 2016, sebuah tren yang dipandang sebagai faktor yang memperburuk kondisi banjir serta longsor yang terjadi di akhir tahun 2025. Pada saat hujan ekstrem melanda, daerah-daerah yang sebelumnya kehilangan vegetasi penutup tanah tidak lagi mampu menahan aliran permukaan, sehingga air hujan langsung mengalir ke sungai-sungai tanpa terserap oleh tanah, mempercepat pendangkalan sungai dan mengurangi kapasitas penyaluran air, yang pada akhirnya memicu banjir bandang yang menyapu permukiman warga di hilir DAS. Beberapa video dan laporan lapangan yang beredar bahkan memperlihatkan potongan kayu dan log besar yang terbawa arus banjir fenomena yang menjadi tanda visual pengrusakan hulu DAS akibat perambahan dan penebangan hutan yang berlangsung lama.
Dampak dari peristiwa ini sangat luas dan mendalam. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan laporan kemanusiaan, korban jiwa akibat banjir dan longsor telah mencapai ratusan orang, dengan ribuan lainnya terluka atau hilang, serta ratusan ribu orang terpaksa mengungsi dari rumahnya yang rusak atau hancur. Infrastruktur publik seperti sekolah, fasilitas kesehatan, dan jembatan mengalami kerusakan parah, sementara jaringan komunikasi dan aksesibilitas terputus di banyak daerah akibat longsor dan banjir. Selain itu, kesehatan masyarakat terdampak ikut terganggu karena penyebaran penyakit yang meningkat di lokasi pengungsian, serta gangguan layanan medis akibat rusaknya fasilitas kesehatan.
Secara ekologis, bencana ini juga berdampak pada keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem. Kerusakan hutan menyebabkan hilangnya habitat bagi flora dan fauna yang bergantung pada tutupan vegetasi yang ada, memperlemah kemampuan ekosistem untuk pulih dari gangguan, dan menambah tekanan terhadap spesies yang sudah rentan terhadap perubahan lingkungan. Kejadian ini menunjukkan bahwa banjir besar di Aceh, Sumut, dan Sumbar bukan semata-mata fenomena alam yang tak terelakkan, tetapi merupakan bencana ekologis yang dipicu dan diperparah oleh aktivitas manusia yang telah melemahkan struktur dan fungsi lingkungan secara sistemik.
Dari sudut pandang manajemen risiko bencana dan kebijakan publik, kasus banjir ini memberikan pelajaran penting bahwa upaya mitigasi bencana tidak dapat dipisahkan dari pengelolaan sumber daya alam yang bijak. Ketika hutan ditebang tanpa berlandaskan prinsip konservasi dan keberlanjutan, kapasitas alam untuk merespons hujan ekstrem secara alami mengalami penurunan drastis, sehingga masyarakat yang tinggal di hilir menjadi pihak yang menanggung akibatnya. Hal ini memperlihatkan bahwa banjir besar di Sumatera pada akhir 2025 bukan hanya sebuah krisis lingkungan, tetapi juga krisis tata kelola yang mencerminkan kelemahan dalam penegakan hukum terhadap praktik penebangan liar serta lemahnya perencanaan ruang yang sensitif terhadap risiko bencana.
Respons pemerintah terhadap bencana ini mencakup investigasi terhadap kemungkinan keterkaitan antara praktik penebangan dan kerusakan hutan dengan tingginya dampak banjir, termasuk penelusuran apakah kayu yang terbawa banjir berasal dari wilayah deforestasi ilegal, serta tinjauan atas izin-izin penggunaan lahan yang mungkin telah melemahkan ketahanan ekologis kawasan hulu DAS. Selain itu, pemerintah mengumumkan rencana revisi rencana tata ruang dan penggunaan lahan pascabencana, dengan fokus memperkuat fungsi hutan dan area kritis sebagai langkah mitigasi bencana di masa depan.
Dari perspektif keadilan sosial dan pembangunan berkelanjutan, keterkaitan antara deforestasi dan banjir besar di Aceh, Sumut, dan Sumbar menuntut refleksi mendalam mengenai hubungan antara manusia dan lingkungan, di mana komodifikasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan dampak ekologis jangka panjang justru membawa dampak sosial yang menghancurkan kehidupan masyarakat luas. Masyarakat yang kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, dan keamanan lingkungan bukan saja menghadapi trauma jangka pendek, tetapi juga membawa dampak jangka panjang terhadap kemiskinan, pendidikan, dan kesejahteraan generasi berikutnya, yang konsekuensinya harus ditanggulangi dengan program pemulihan yang terintegrasi dan berkelanjutan.
Dengan demikian, peristiwa banjir besar yang terjadi di tiga provinsi di Sumatra pada akhir 2025 merupakan cerminan dari apa yang terjadi ketika pohon tumbang dan bencana menuntut balas; sebuah panggilan nyata bahwa keseimbangan ekologis yang dirusak akan kembali berdampak secara brutal kepada umat manusia, dan bahwa solusi jangka panjang menuntut tata kelola lingkungan yang berorientasi pada keberlanjutan dan keadilan ekosistem-masyarakat.
Bencana banjir yang melanda Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh juga memperlihatkan lemahnya integrasi antara kebijakan pembangunan daerah dengan prinsip mitigasi bencana berbasis ekosistem. Di banyak wilayah terdampak, izin pemanfaatan hutan dan alih fungsi lahan di kawasan hulu DAS masih diberikan tanpa mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan secara memadai, sehingga mempercepat degradasi lanskap alami yang seharusnya berperan sebagai penyangga bencana. Kondisi ini diperburuk oleh fragmentasi hutan yang menyebabkan terputusnya konektivitas ekologis, sehingga kemampuan hutan dalam menyerap dan mengatur aliran air menjadi semakin lemah.
Selain itu, minimnya partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan turut memperbesar risiko bencana, karena pengetahuan lokal mengenai tanda-tanda kerusakan lingkungan dan pola alam sering kali diabaikan dalam proses perencanaan pembangunan.

.jpg)






























0 Comments