Oleh : Fatma Anzani Safitri (Mahasiswa Biologi, Universitas Andalas)
Di tengah Pulau Sumatera, Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) pernah menjadi tempat bernaung bagi ribuan spesies langka, sebuah surga alam yang kini semakin terancam.
Dikenal sebagai hutan dataran rendah yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, Tesso Nilo bukan hanya kebanggaan Indonesia, tapi juga aset ekologi global.
Hutan yang dahulu dipenuhi oleh suara burung, derap langkah gajah, dan hembusan angin di sela pepohonan kini tak lagi sehidup dulu. Keheningan mulai menggantikan riuhnya kehidupan.
Di banyak sudut, rimba yang seharusnya hijau kini telah berubah menjadi hamparan tanaman monokultur yang seragam.
Apa yang dulu menjadi simbol kekayaan alam kini perlahan mulai kehilangan nyawanya.
Dahulu, Tesso Nilo adalah bentang alam yang menyimpan beragam kehidupan, yang merupakan rumah bagi satwa besar dan kecil, tumbuhan khas dataran rendah, hingga mikroorganisme unik yang tidak ditemukan di tempat lain.
Namun kontrasnya dengan kondisi saat ini begitu menyakitkan.
Perambahan hutan yang kian meluas, pembalakan liar, serta ekspansi perkebunan membuat bentang alam yang dulu megah semakin terpecah.
Pohon-pohon tumbang, satwa kehilangan jejak, dan sunyi bergantung di antara batang-batang yang tersisa.
Jika hutan hilang, satwa kehilangan rumahnya. Tetapi lebih jauh dari itu, kita sebagai manusia kehilangan masa depan yang seharusnya kita jaga.
Keunikan Tesso Nilo tak terbantahkan. Kawasan ini menjadi habitat penting bagi gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) dan harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae), dua spesies kunci yang saat ini berada di ambang kepunahan. Selain itu, ratusan jenis flora dan fauna endemik menjadikan kawasan ini sebagai salah satu laboratorium alam yang tak ternilai.
Peran ekologis Tesso Nilo sangat besar. Hutan ini berfungsi sebagai penyerap karbon alami, menstabilkan iklim, menjaga ketersediaan air, dan menjadi rumah bagi berbagai organisme yang menjaga rantai kehidupan tetap seimbang. Bagi masyarakat lokal, hutan ini menjadi sumber kehidupan adat dan komunitas lokal, baik melalui hasil hutan bukan kayu maupun jasa ekosistem yang menopang pertanian serta ketersediaan air bersih. Hutan bukan sekadar ruang hijau, ia adalah sumber belajar, sumber kehidupan, dan pelindung dari bencana.
Namun semua potensi ini terus tergerus oleh ancaman yang terus mengintai.
Deforestasi akibat ekspansi sawit menjadi luka dan ancaman terbesar bagi Tesso Nilo. Ribuan hektare kawasan konservasi telah berubah menjadi kebun monokultur, menghancurkan habitat alami yang telah terbangun selama ratusan tahun. Pembalakan liar pun tak kalah menyumbang kerusakan, meninggalkan lubang-lubang kosong yang tak lagi mampu menahan air hujan.
Fragmentasi habitat memaksa satwa liar keluar dari jalur alaminya. Gajah yang kehilangan rimba tempat mencari makan dan bermigrasi, terpaksa bergerak ke permukiman warga. Konflik manusia–gajah kini menjadi fenomena yang terus meningkat. Bagi satwa, manusia terlihat sebagai penghalang. Namun bagi kita, satwa dianggap sebagai ancaman. Padahal akar masalahnya adalah hilangnya rumah mereka akibat ulah manusia sendiri.
Di sisi lain, perburuan dan perdagangan satwa liar illegal juga turut mempercepat hilangnya biodiversitas. Ironisnya, meski ancaman begitu nyata di depan mata, kesadaran masyarakat mengenai kondisi Tesso Nilo masih sangat minim. Minimnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya konservasi semakin memperparah keadaan. Banyak yang tidak menyadari bahwa krisis ekologis ini berkaitan langsung dengan bencana yang kini semakin sering melanda Sumatra.
Saat ini, Sumatra kembali berduka. Banjir bandang dan longsor terjadi di beberapa daerah Sumatra, membawa potongan kayu dari hutan yang terbabat habis. Rumah-rumah hancur tersapu derasnya air, desa-desa lumpuh, dan korban jiwa kembali berjatuhan. Tragedi ini menjadi bukti nyata bahwa hutan tak lagi dapat dipandang sebagai isu lingkungan semata, melainkan ancaman terhadap keselamatan manusia.
Ketika hutan seperti Tesso Nilo hilang, akar-akar besar yang selama ini mengikat tanah tak lagi mampu menahan air di musim hujan. Aliran sungai meluap, lereng yang rapuh kini mulai runtuh, dan air bah membawa apapun yang menghalangi jalannya. Tanpa kita sadari, potongan kayu yang menghempas rumah-rumah korban banjir adalah tanda bahwa hutan sedang berteriak meminta tolong.
Bila Tesso Nilo terus kehilangan tutupan hutan, hilang pula benteng alam yang selama ini melindungi ribuan keluarga dari bencana ekologis.
Meskipun tantangannya besar, upaya penyelamatan Tesso Nilo tetap dilakukan. Pemerintah melalui Balai Taman Nasional Tesso Nilo bersama berbagai lembaga konservasi terus memperkuat patroli hutan, memperbaiki kawasan yang rusak, dan mencoba menghentikan perambahan.
Peran masyarakat adat dan komunitas lokal juga sangat penting. Mereka adalah pihak yang paling dekat dengan hutan, memahami ritme alam, dan menjadi garda terdepan dalam menjaga kawasan dari penyusup. Program rehabilitasi satwa, penelitian ilmiah, hingga edukasi lingkungan terus dikembangkan. Namun upaya ini tidak mudah. Tantangan lapangan, keterbatasan dana, dan tekanan ekonomi membuat proses konservasi sering kali berjalan lambat.
Menyelamatkan Tesso Nilo bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau pegiat lingkungan. Ini adalah tanggung jawab bersama. Kita, sebagai masyarakat memiliki peran besar dalam menentukan apakah Tesso Nilo akan pulih, atau hilang selamanya.
Kita bisa mulai dari hal sederhana: mengikuti dan mendukung kampanye konservasi, menolak produk dari lahan perambahan, mendukung wisata berbasis konservasi, tidak membeli satwa liar, hingga menggunakan media sosial untuk menyebarkan edukasi. Aksi kecil yang dilakukan banyak orang akan menjadi gelombang besar perubahan.
Melestarikan alam bukan tentang menyelamatkan hutan saja, tetapi menyelamatkan hidup kita sendiri. Bencana yang terjadi di Sumatra menjadi pengingat bahwa ketika hutan runtuh, manusia ikut terseret.
Di tengah gelapnya situasi, secercah harapan masih ada. Tesso Nilo mungkin sedang sekarat, namun ia belum sepenuhnya mati. Selama masih ada pohon yang berdiri dan satwa yang bertahan, masih ada kesempatan untuk memulihkan hutan ini menjadi rumah yang layak bagi semua makhluk.
Kita hanya perlu memilih untuk peduli. Sebab jika tidak, generasi mendatang hanya akan mengenal gajah, harimau, dan kehidupan hutan Sumatra dari gambar—bukan dari alam yang sesungguhnya.
Dan pada akhirnya, masa depan Tesso Nilo bukan ditentukan oleh kekuatan alam, melainkan oleh keputusan manusia hari ini.






























0 Comments