Mengutip potongan kata -kata JS.Khairen seorang penulis asal Sumatra Barat “Kekayaan Sumatera Milik Nasional,Bencananya Tidak” memicu ketertarikan saya untuk membahas bencana banjir dan longsor yang terjadi di Sumatra.
Bencana banjir dan longsor besar-besaran yang melanda pulau Sumatra pada akhir November–Desember 2025 telah menewaskan ratusan orang, menghancurkan ribuan rumah, merusak infrastruktur, dan memaksa jutaan warga mengungsi.
Namun bencana ini bukan sekadar soal hujan deras dan cuaca ekstrem. Di balik air yang meluap dan tanah yang ambles, ada kisah panjang tentang rusaknya ekosistem deforestasi besar-besaran, alih fungsi hutan, dan perizinan kehutanan yang longgar. Artikel ini mencoba menelusuri bagaimana kebijakan perizinan termasuk di era Zulkifli Hasan (saat menjabat Menteri Kehutanan 2009-2014) berkontribusi terhadap krisis ekologis yang kini memakan korban manusia. Menurut data dari lembaga pemantau kehutanan, hingga 2024, Sumatra hanya menyisakan sekitar 12 juta hektare hutan alam, atau sekitar 25% dari total daratan pulau.Dalam kurun 1990–2024, pulau ini kehilangan jutaan hektare hutan alam karena konversi lahan ke perkebunan sawit, pertanian, tambang, dan proyek industri besar lainnya. Antara 2016–2025 saja, di tiga provinsi yang kini terdampak parah (Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat) diperkirakan telah terjadi pembukaan lahan seluas 1,4 juta hektare untuk perkebunan dan tambang. Tahun 2023–2024, deforestasi di Sumatra dilaporkan melonjak tajam hilang sekitar 222.360 hektare hanya dalam setahun saja.
Salah satu periode yang kembali menjadi sorotan publik ialah masa kepemimpinan Zulkifli Hasan sebagai Menteri Kehutanan (2009–2014). Video wawancara ditahun 2013 antara Zulkifli Hasan dan Harisson Ford yang kembali viral memperlihatkan Ford mengatakan bahwa hanya 18% hutan Indonesia yang tersisa. Pernyataan itu, tanpa disadari, menjadi cermin dari betapa parahnya kondisi kehutanan Indonesia termasuk hasil dari kebijakan perizinan pada era tersebut. Banyak pihak kemudian mempertanyakan kembali bagaimana perizinan dikeluarkan, kepada siapa, dan apakah terdapat penyimpangan dalam prosesnya.
Sumatra kehilangan lebih dari 6 juta hektare hutan sejak tahun 2000, salah satu tingkat deforestasi tertinggi di Asia Tenggara. Di provinsi seperti Riau, Jambi, dan Sumatra Selatan, hilangnya hutan terjadi terutama karena ekspansi perkebunan sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI), dan pertambangan. Kondisi ini membuat pulau yang dahulu hijau kini berubah menjadi bentang lahan gundul dan kanal-kanal perkebunan Ketika hutan hilang, kemampuan tanah menahan air ikut melemah. Akar-akar pohon yang dulu berfungsi sebagai spons alami telah digantikan oleh ruang terbuka, jalan logging, dan perkebunan monokultur. Akibatnya, hujan tidak lagi meresap, tetapi mengalir deras menuju pemukiman. Banjir dan longsor bukan lagi fenomena yang “alamiah” ia merupakan konsekuensi dari perubahan lanskap akibat keputusan manusia.
Perizinan di Era Zulkifli Hasan dan Jejak Masalahnya Era Zulkifli Hasan dikenal sebagai masa ketika perizinan kehutanan mengalami lonjakan signifikan. Ratusan izin konsesi dikeluarkan untuk perusahaan sawit, HTI, dan tambang. Beberapa organisasi masyarakat sipil saat itu telah memperingatkan bahwa banyak izin terbit tanpa kajian lingkungan memadai atau tumpang tindih dengan kawasan lindung.
Kita tentu tidak bisa serta-merta menyimpulkan bahwa seluruh izin tersebut bermasalah. Namun beberapa fakta menguatkan kecurigaan publik:
1. Banyak izin diberikan di kawasan yang sebelumnya berfungsi sebagai hutan lindung.
2. Laporan audit keuangan dan temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Kajian Sistem Perizinan Sektor Kehutanan (2013) menunjukkan adanya potensi kerugian negara akibat lemahnya pengawasan penerbitan izin.
3. Pola deforestasi meningkat secara drastis pada wilayah yang mendapatkan izin pada periode tersebut.
Isu-isu itu menimbulkan pertanyaan yang wajar: apakah kebijakan perizinan saat itu sekadar keputusan teknokratis, atau ada kepentingan politik dan ekonomi yang bermain?
Celah Korupsi dalam Pengelolaan Hutan,Sektor kehutanan merupakan salah satu sektor paling rawan korupsi di Indonesia. KPK menyebut bahwa praktik korupsi di bidang perizinan sering melibatkan:
1. jual beli izin
2. manipulasi dokumen analisis dampak lingkungan
3. pengabaian rekomendasi teknis
4. pemberian izin di kawasan tidak layak
5. konflik kepentingan antara pejabat dan pelaku usaha
Dalam konteks ini, dugaan bahwa proses perizinan pada era Zulkifli Hasan membuka ruang korupsi bukanlah tuduhan personal, tetapi bagian dari kritik terhadap sistem tata kelola hutan Indonesia yang carut-marut. Sistem perizinan yang longgar, pengawasan minim, dan tingginya tekanan politik membuat sektor hutan menjadi ladang empuk bagi korupsi struktural. Dengan kata lain, dugaan praktik korupsi bukan sekadar isu moral, tetapi berhubungan langsung dengan bencana ekologis yang kita hadapi hari ini.
Masyarakat yang Menanggung Akibat,Ironisnya, sekalipun perusahaan menikmati keuntungan dari pembukaan hutan, masyarakatlah yang membayar biayanya. Ketika banjir datang, bukan para pemberi izin atau pemilik korporasi yang harus mengungsi. Warga desa, petani kecil, nelayan sungai, dan keluarga miskinlah yang kehilangan rumah dan mata pencaharian.Setiap kali hujan turun dan sungai meluap, masyarakat terutama di pedesaan terpaksa menanggung dampak dari keputusan politik yang dibuat jauh dari tempat mereka nggal. Bencana ekologis bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri; ia adalah ujung dari kebijakan yang gagal mengutamakan keberlanjutan.Sebagai bagian dari generasi muda, kita punya tanggung jawab moral untuk bersuara. Kerusakan hutan bukan hanya persoalan lingkungan; ia adalah persoalan manusia, kebijakan, politik, dan keadilan. Ketika hutan dibuka tanpa pengawasan dan ketika praktik korupsi dibiarkan merajalela, rakyatlah yang menjadi korban pertama.
Jejak perizinan pada era Zulkifli Hasan perlu ditelusuri kembali secara transparan. Jika ada kesalahan kebijakan, maka negara wajib memperbaikinya. Jika ada penyimpangan yang menyebabkan kerusakan lingkungan, maka penegakan hukum harus bergerak.Sumatra tenggelam bukan semata karena hujan deras ia tenggelam karena negara gagal menjaga hutan dari kepentingan jangka pendek






























0 Comments