Masa remaja merupakan fase terpenting dalam proses pendewasaan, fase yang memiliki kenangan terdalam, dan punya peranan krusial dalam pembentukan karakter seseorang. Masa remaja adalah fase peralihan dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan, yang ditandai dengan perubahan dalam aspek fisik, emosi, pola pikir, dan hubungan sosial dengan orang lain. Selama proses pendewasaan itu, seringkali “kenakalan remaja” muncul sebagai tantangan besar yangmemberi dampak negatif dalam pembentukan karakter seseorang. Pada dasarnya, kenakalan yang muncul dikalangan remaja terjadi karena mereka merupakan individu rapuh yang masih membutuhkan arah dan bimbingan, tetapi sering kali menganggap dirinya sudah cukup dewasa untuk mengambil keputusan sendiri dan berakhir dalam jurang kebingungan.Kenakalan remaja biasanya diawali dengan metode coba-coba atau sekadar iseng demi mendapat pengakuan dari teman sebaya, juga faktor lingkungan—dimana perilaku menyimpang sudah menjadi kebiasaan yang membuat seseorang tanpa sadar mengikutinya. Jika bicara tentang kenakalan remaja, narkoba atau obat-obatan terlarang menjadi ‘bumbu pahit’ yang sering dipakai sebagai pelengkap seakan kenakalan ringan tak cukup bagi pelakunya. Menurut Kurniawan (2008), narkoba ialah zat kimia yang dapat mengubah psikologi mirip perasaan, fikiran, suasana hati serta prilaku jikalau masuk kedalam tubuh insan baik dengan cara dimakan, diminum, dihirup, suntik, intravena dan lain sebagainya. Remaja sering kali lupa atau tidak memahami adanya hukum kausalitas dari setiap tindakan yang dilakukan. Narkoba tidak hanya merusak tubuh, namun juga merampas masa depan dan hubungan sosial seseorang.Fenomena “life destruct” atau pergaulan bebas ini muncul sebagai manifestasi kenakalan remaja yang sering disalahartikan sebagai bentuk pengalaman hidup (modernitas) dan kebebasan ekspresif. Dalam perspektif sosiologis, pergaulan bebas ini merupakan sebuah konstruksi sosial di mana batas-batas norma dan nilai etika dalam interaksi antarindividu menjadi kabur. Faktor penyebabnya kompleks, mulai dari tekanan kelompok sebaya (peer pressure) yang kuat, kegagapan dalam menghadapi arus globalisasi dan informasi digital, hingga lemahnya filter budaya yang seharusnya menjadi panduan.Dampak yang ditimbulkan bersifat multidimensional dan sistemik. Pada tingkat individu, praktik pergaulan bebas berpotensi besar menyebabkan masalah kesehatan reproduksi, trauma psikis, hingga disfungsi dalam membangun relasi yang sehat di masa depan. Pada tingkat yang lebih makro, hal ini berkontribusi pada degradasi atau penurunan moral generasi muda dan menjadi beban sosial bagi masyarakat. Lebih jauh, pergaulan bebas tidak dapat dipisahkan dari kegagalan sosialisasi primer. Ketika keluarga dan pendidikan formal gagal memberikan pemahaman komprehensif tentang nilai-nilai etika, remaja mencari referensi dari sumber-sumber tidak terfilter seperti media sosial. Hegemoniatau pengaruh budaya asing melalui berbagai platform digital turut memperparah situasi, menciptakan distorsi atau perubahan persepsi tentang makna kebebasan yang sebenarnya dalam pergaulan. Tidak jarang, pergaulan bebas berujung dengan penyalahgunaan narkoba, menciptakan sebuah siklus deviasi atau simpel nya ialah penyimpangan moral yang saling memperparah.Kasus penyalahgunaan narkoba pada remaja menunjukkan peningkatan setiap tahunnya, sebuah kondisi yang memprihatinkan karena narkoba tidak hanya berdampak buruk pada prestasi akademik, tetapi juga menimbulkan ancaman serius bagi kesehatan fisik maupun mental. Data Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2018 mencatat bahwa sedikitnya 2,2 juta remaja dari 13 provinsi di Indonesia terlibat dalam penggunaan narkoba, menunjukkan bahwa permasalahan ini telah menyebar luas dan menjadi tantangan serius bagi dunia pendidikan dan masyarakat. Fenomena meningkatnya prevalensi ini juga mengindikasikan adanya kesalahan persepsi di kalangan remaja, khususnya anggapan bahwa penggunaan narkoba dapat menjadi bagian dari tren pergaulan masa kini.Padahal, narkoba sama sekali tidak dapat dipandang sebagai bagian dari gaya hidup modern. Alih-alih membentuk *lifestyle*, narkoba justru menjadi *life destruction* yang membawa kerusakan secara perlahan. Sebagian remaja mungkin menganggap narkoba sebagai sarana untuk menunjukkan eksistensi atau mengikuti arus teman sebaya, namun anggapan tersebut hanyalah ilusi yang menyesatkan. Kenikmatan singkat yang ditawarkan tidak sebanding dengan dampak jangka panjang berupa kerusakan kesehatan, hilangnya peluang masa depan, dan terhambatnya pengembangan potensi diri. Lebih jauh, keterlibatan dalam narkoba juga menimbulkan risiko sosial, hukum, dan psikologis yang berat. Oleh karena itu, sangat penting bagi remaja untuk memahami bahwa narkoba bukanlah simbol gaya hidup, melainkan ancaman nyata yang dapat menghancurkan kehidupan secara menyeluruh.Selain berimplikasi pada kesehatan fisik dan psikologis, keterlibatan remaja dalam penyalahgunaan narkoba juga berkaitan dengan dinamika sosial yang lebih luas. Penanganan yang mengedepankan pendekatan represif sering kali gagal menyentuh akar persoalan, yakni minimnya akses terhadap pendidikan kesehatan mental, layanan konseling, serta kurangnya ruang ekspresi aman bagi remaja. Dalam banyak kasus, remaja yang berhadapan dengan narkoba bukan hanya sekadar “pembangkang nilai,” melainkan individu yang berusaha melarikan diri dari tekanan keluarga, ekspektasi akademik, atau situasi sosial yang tidak menyediakan alternatif penyaluran emosi.Dalam perspektif hukum, pendekatan pemidanaan konvensional juga perlu ditinjau ulang. Pemidanaan tanpa rehabilitasi hanya memperkuat stigma, menghambat reintegrasi sosial, dan justru meningkatkan peluang residivisme. Remaja yang seharusnya dibina malah terjebak dalam identitas kriminal akibat label sosial. Dengan kata lain, penyelesaian masalah narkoba pada remaja membutuhkan kebijakan yang tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga memperkuat program pencegahan, intervensi dini, serta penguatan komunitas.Fenomena penyimpangan remaja ini juga tidak terlepas dari konstruksi media dan industri budaya populer. Representasi perilaku destruktif sebagai simbol keberanian atau kebebasan sering kali menciptakan ilusi bahwa penyimpangan adalah bentuk valid dari ekspresi diri.
Akibatnya, batas antara pemberontakan simbolik dan tindakan destruktif kabur, dan remaja mudah terjebak dalam simulasi identitas yang dikendalikan tren, bukan kesadaran diri.
Oleh karena itu, memahami kenakalan remaja tidak cukup dengan menuding perubahan zaman sebagai biang kerok. Yang lebih mendesak justru membangun ekosistem sosial yang sehat: pendidikan yang relevan secara emosional, keluarga yang komunikatif, lingkungan pergaulan yang suportif, serta media yang lebih bertanggung jawab dalam membentuk narasi budaya.
Kenakalan remaja dan penyalahgunaan narkoba bukan sekadar persoalan moral atau gaya hidup modern, melainkan fenomena kompleks yang dipengaruhi interaksi berbagai faktor, mulai dari tekanan sosial, lemahnya filter budaya, kurangnya edukasi kesehatan mental, hingga konstruksi media yang membentuk persepsi kebebasan secara keliru.
Mengatasinya tidak cukup melalui pendekatan hukuman, ceramah moral, atau pelabelan negatif terhadap remaja.Solusi yang berkelanjutan menuntut pendekatan multidisipliner yang berfokus pada pencegahan, rehabilitasi, dan pemberdayaan.
Remaja harus dipandang bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai generasi yang perlu difasilitasi untuk mengembangkan identitas, kemandirian, dan masa depan yang sehat tanpa ketergantungan pada perilaku destruktif. Narkoba bukan representasi kebebasan; ia adalah penghalang tumbuhnya potensi manusia.
Masyarakat, keluarga, negara, dan institusi pendidikan memiliki tanggung jawab kolektif untuk menciptakan ruang hidup yang memungkinkan remaja memilih jalan yang lebih sehat dan bermakna.
































0 Comments