Oleh : Nabilah Ummi 2310422035 mahasiswa universitas Andalas Padang
Pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: kapan terakhir kali kita benar-benar menghargai setetes air? Pertanyaan itu mungkin terasa jauh dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi mereka yang kerannya masih mengalir lancar. Tetapi di banyak kota Indonesia, air bersih pelan-pelan berubah menjadi barang yang tidak lagi mudah didapatkan. Di Makassar, Dumai, dan beberapa kota pesisir lain, warga harus berjibaku dengan keran yang kian jarang hidup, sumur yang berubah payau, serta biaya air yang terus membengkak. Situasi tersebut menunjukkan bahwa krisis air bukan lagi ancaman masa depan, melainkan kenyataan yang dihadapi hari ini.
Laporan Mongabay Indonesia beberapa waktu lalu mengisahkan bagaimana warga Kelurahan Tallo di Makassar harus menunggu berjam-jam hanya untuk mendapatkan sedikit air dari keran publik. Sumur mereka sudah lama tak bisa digunakan karena airnya asin akibat intrusi laut. Sebagian warga mandi dengan air yang rasanya getir, sementara kebutuhan memasak dan minum bergantung pada air galon yang makin mahal harganya. Di sana, air bukan sekadar kebutuhan, tetapi perjuangan harian yang melelahkan terutama bagi ibu-ibu yang harus bolak-balik mengangkut jerigen.
Situasi yang tidak jauh berbeda juga terjadi di Dumai, Riau. Dalam laporan World Bank, kota pelabuhan dan industri tersebut masih berjuang mengejar layanan air bersih yang stabil. Jaringan distribusi PDAM banyak yang sudah tua, sehingga kebocoran menjadi masalah yang berulang. Sebagian kawasan bahkan belum terhubung jaringan sama sekali. Warga akhirnya bergantung pada air isi ulang atau membeli air curah, meski harganya jauh lebih mahal. Bagi keluarga kecil, tambahan pengeluaran ini cukup memberatkan, apalagi ketika kondisi ekonomi sedang tidak stabil.
Jakarta yang sering disebut sebagai kota dengan segala fasilitas lengkap juga tidak luput dari masalah. Layanan air perpipaan belum merata, sementara penggunaan air tanah terus meningkat karena kebutuhan warga. Penurunan muka tanah yang sudah lama terjadi memperparah intrusi air laut. Akibatnya, banyak sumur yang sebelumnya menghasilkan air tawar kini terasa asin. Detik News mencatat bahwa pemerintah daerah sedang mempercepat pembangunan sistem penyediaan air minum, tetapi pekerjaan besar seperti ini tentu tidak selesai dalam waktu singkat.
Di sejumlah daerah lain, masalah air bersih muncul ketika bencana melanda. Pada kasus banjir dan longsor di Sumatera Barat akhir 2025, akses air bersih menjadi salah satu persoalan paling mendesak. Sumber air rusak, pipa distribusi patah, dan masyarakat tidak punya pilihan selain membeli air dari mobil tangki. RMOL Sumbar menulis bahwa sebagian warga bahkan rela mengeluarkan uang ratusan ribu rupiah demi beberapa puluh liter air layak pakai. Kondisi seperti ini memperlihatkan bahwa dalam situasi darurat, air dapat menjadi komoditas yang sangat menentukan keselamatan warga.
Jika ditarik ke belakang, krisis air bersih yang kini terjadi merupakan akibat dari masalah yang tidak diselesaikan sejak lama. Urbanisasi yang cepat menyebabkan permukaan kota tertutup beton, menyisakan sedikit ruang hijau dan area resapan air. Di hulu sungai, pembukaan lahan membuat tanah kehilangan kemampuan menahan air. Sungai yang seharusnya menjadi sumber kehidupan berubah menjadi saluran limbah rumah tangga dan industri. Belum lagi persoalan perubahan iklim yang menghadirkan musim kering lebih panjang dan curah hujan yang sulit diprediksi.
Tak hanya infrastruktur dan lingkungan, kebiasaan kita sehari-hari juga turut menyumbang persoalan. Air sering kali digunakan tanpa perhitungan, seakan tak ada batasnya. Padahal, di banyak tempat, warga harus antre, membeli, atau membawa air dari tempat yang jauh. Kontras ini memperlihatkan jurang besar antara ketersediaan dan kesadaran.
Pemerintah sejatinya telah mengambil beberapa langkah. Kementerian PUPR membentuk satuan tugas khusus untuk meningkatkan layanan air minum di berbagai daerah. Beberapa proyek besar sistem penyediaan air minum sedang berjalan, meski belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat. Di tingkat lokal, PDAM berupaya memperbaiki jaringan yang sudah tua dan memperluas cakupan pelayanan. Namun, banyak daerah membutuhkan intervensi yang lebih mendalam, terutama terkait kualitas air baku dan pengelolaan lingkungan.
Di tengah berbagai kendala itu, muncul inisiatif warga yang patut diapresiasi. Kelompok Perempuan Pejuang Air Bersih di Makassar, misalnya, aktif menyuarakan kondisi lapangan dan mendorong adanya pembenahan sistem distribusi. Inisiatif ini mungkin tidak mengatasi seluruh persoalan, tetapi setidaknya menunjukkan bahwa warga memiliki peran penting dalam memperjuangkan hak atas air.
Krisis air bersih yang dihadapi Indonesia seharusnya menjadi pengingat bahwa air bukan sekadar kebutuhan, melainkan fondasi kehidupan.
Jika kita baru menghargai air ketika krisis datang, itu berarti ada sesuatu yang terlewat dalam cara kita memandang sumber daya ini. Melihat kondisi yang terjadi di berbagai kota, jelas bahwa pengelolaan air harus menjadi prioritas Bersama mulai dari kebijakan, tata ruang kota, hingga kebiasaan sehari-hari.
Pada akhirnya, pertanyaannya kembali lagi: kapan terakhir kali kita menghargai setetes air?
Di tengah perubahan iklim dan tekanan lingkungan yang semakin besar, mungkin inilah waktu yang paling tepat untuk mulai menjawabnya, sebelum air benar-benar menjadi sesuatu yang harus diperjuangkan setiap hari di semua tempat, bukan hanya sebagian.
































0 Comments