Ticker

6/recent/ticker-posts

DARIMANA GELONDONG KAYU ITU BERASAL?

Oleh: Tri Elsa Saddika mahasiswa Biologi universitas Andalas Padang 


Indonesia sedang berduka. Banjir dan longsor menimpa tiga provinsi yang ada di sebelah barat pulau Sumatra, yaitu Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. 

Dalam hitungan jam, pemukiman penduduk yang sebelumnya ramai berubah menjadi genangan lumpur, rumah-rumah hanyut, ladang tak tersisa, jembatan terputus, dan suara tangis kehilangan terdengar di setiap sudut. Ratusan rumah hancur, ribuan nyawa melayang, dan banyak keluarga kini hidup tanpa sanak saudara. Bencana ini bukan hanya menyapu bangunan, tetapi juga menyapu rasa aman manusia.

Namun, pasca banjir dan longsor, tersisa pemandangan yang sangat memilukan. Terlihat gelondongan kayu bertebaran di tepi pantai, sungai, dan lingkungan sekitar rumah warga. Ukurannya besar, kulitnya baru terkelupas, rantingnya masih segar. Masyarakat menjelaskan bahwa gelondongan kayu tersebut dibawa oleh arus banjir. Namun, darimana gelondong kayu ini berasal? Apakah pohon tersebut tumbang sendiri? Pohon yang sudah lama mati? Atau ada pihak yang tidak bertanggung jawab yang sudah menebangnya secara liar?

Pertanyaan itu bukan sekedar retorika, ia adalah kunci memahami mengapa banjir dan longsor semakin sering terjadi dan semakin memakan korban besar. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan hutan hujan tropis terluas di dunia, sejajar dengan Brasil dan Kongo. Hutan-hutan ini bukan hanya terdiri dari rentetan pohon yang berdiri tanpa tujuan, namun sebuah sistem kehidupan besar yang bekerja seperti jantung bumi, memproduksi oksigen, menyerap karbon, menyimpan air, mengatur iklim, menjaga tanah dari erosi, serta menjadi rumah bagi ribuan spesies flora dan fauna. Setiap batang pohon bukan hanya kayu, tetapi pilar penyangga kehidupan. Namun sayang, kini pilar-pilar itu mulai runtuh.

Bayangkan sebuah lereng bukit beberapa tahun lalu: hijau rimbun, pepohonannya berdiri kokoh dengan akar-akar yang menjalar kuat memeluk tanah. Akar-akar itu bekerja seperti jaring, menjaga tanah tetap stabil dan memastikan air hujan meresap perlahan ke dalam bumi. Suara burung bersahutan, udara sejuk, sungai-sungai mengalir tenang. Lalu kini bayangkan tempat yang sama, setelah pohon-pohon ditebang satu per satu. Lahan yang dulu subur menjadi gundul. Ketika hujan turun deras, air tak lagi punya tempat untuk meresap. Ia mengalir deras, menyeret tanah, batang kayu, batu, dan menghantam apa saja yang dilaluinya.

Memang ada faktor cuaca ekstrem seperti siklon tropis yang dapat membawa curah hujan besar. Namun, hutan yang sehat seharusnya mampu meredam dampaknya. Masalahnya, banyak daerah hulu di Indonesia kini gundul akibat pembalakan liar. Tanpa akar pohon yang mengikat tanah, lereng bukit menjadi rapuh. Longsor pun terjadi dengan mudah, sementara air hujan mengalir liar ke bawah, menggenangi rumah-rumah penduduk dan memutus akses kehidupan. Gelondongan kayu yang kini berserakan di daerah bencana memperlihatkan ukuran yang seragam, bentuk yang tidak alami, dan tanda-tanda telah ditebang manusia. Semuanya menjadi peringatan keras bahwa hutan yang rusak tidak hanya kehilangan pepohonan, tetapi kehilangan kemampuan alaminya untuk melindungi manusia.

Bencana ini sesungguhnya membawa pesan. Alam seakan berkata, “Kembalikan aku seperti dulu.” Ketika banjir membawa gelondongan kayu hingga ke halaman rumah warga, itu adalah bukti bahwa ekosistem telah runtuh. Inilah saatnya kita berhenti menganggap bencana sebagai takdir semata. Kita perlu melihatnya sebagai alarm yang berbunyi keras, memaksa manusia untuk berubah.

Konservasi menjadi salah satu aksi nyata yang dapat dilakukan. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan. Tindakan pertama yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan rehabilitasi hutan dan daerah aliran sungai (DAS). Ini mencakup penanaman kembali pohon di daerah hulu, perlindungan kawasan konservasi, dan tidak membiarkan lahan gundul dibiarkan begitu saja. Reboisasi bukan pekerjaan sehari, tetapi sebuah investasi jangka panjang. Pohon yang ditanam hari ini mungkin baru akan memberi manfaat puluhan tahun kemudian, namun manfaat itu akan dirasakan oleh anak dan cucu kita.

Tindakan selanjutnya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pengawasan penebangan kayu yang harus diperketat. Pembalakan tidak boleh lagi terjadi tanpa regulasi dan pengawasan. Hutan harus dikelola dengan prinsip keberlanjutan. Jika kayu harus ditebang, maka penanaman kembali adalah kewajiban, bukan pilihan. Habitat yang rusak harus dipulihkan agar satwa liar tidak kehilangan rumahnya. Ketika satu spesies hilang, seluruh rantai ekosistem bisa runtuh.

Selain itu, masyarakat juga harus terlibat sebagai penjaga lingkungan. Kesadaran publik adalah fondasi dalam menjaga lingkungan. Warga harus berani melapor jika melihat aktivitas pembalakan liar. Selain itu, masyarakat bisa ikut menanam pohon, menjaga bantaran sungai, dan mengurangi aktivitas yang merusak alam. Edukasi lingkungan di sekolah, media, dan komunitas juga perlu digencarkan agar generasi muda tumbuh dengan kesadaran bahwa bumi bukan hanya tempat tinggal, tetapi amanah yang harus dijaga.

Dampak dari kerusakan hutan bukan hanya banjir dan longsor. Tanah menjadi tandus, sungai mendangkal, satwa kehilangan habitat, dan masyarakat kehilangan sumber mata pencaharian. Infrastruktur rusak, roda ekonomi berhenti, dan ratusan ribu warga harus memulai hidup dari nol. 

Semua ini adalah harga yang terlalu mahal untuk dibayar hanya demi keuntungan segelintir pihak yang merusak hutan.

Pada akhirnya, menjaga hutan berarti menjaga diri kita sendiri. 


Alam bekerja dengan logika sederhana: ketika kita merawatnya, ia memberikan kehidupan; tetapi ketika kita merusaknya, ia memberikan bencana. Kini alam telah mengirimkan pesan yang sangat jelas.

 Mari kita membalasnya dengan kepedulian, tindakan nyata, dan komitmen jangka panjang. 

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS