Oleh : Lupita Dwicahyani Salsabila (2310421011) Departemen Biologi. Fakultas Mipa, Universitas Andalas
Transformasi besar-besaran yang terjadi pada kawasan seluas 100.000 hektare milik PT Tusam Hutani Lestari (THL) bukan sekadar persoalan perubahan tutupan lahan. Konversi hutan alam yang kaya struktur dan keanekaragaman menjadi hamparan monokultur pinus industri merupakan bentuk degradasi ekologis yang jauh lebih kompleks daripada sekadar hilangnya pohon. Perubahan ini menimbulkan defisit ekologi permanen, karena ekosistem yang pada awalnya memiliki fungsi dan interaksi biologis yang rumit kini digantikan oleh lanskap homogen yang miskin keanekaragaman hayati.
Hutan alam tropis memiliki karakteristik utama berupa lapisan kanopi bertingkat—mulai dari pohon emergent, kanopi utama, understory, hingga semak dan lantai hutan. Keberagaman struktur vertikal ini menyediakan ruang hidup bagi berbagai kelompok organisme, mulai dari burung penetap kanopi tengah, mamalia kecil yang beraktivitas di cabang rendah, hingga jamur dan serangga penghuni serasah. Ketika hutan kompleks tersebut diubah menjadi monokultur pinus, seluruh stratifikasi ekosistem itu otomatis hilang. Pinus yang ditanam dengan jarak seragam dan hanya membentuk satu lapisan kanopi yang tidak mampu menyediakan ceruk ekologi yang memadai bagi ribuan spesies asli yang sebelumnya berinteraksi dalam hutan. Pada wilayah seluas 100.000 hektare yang kini didominasi satu spesies pohon, ketidakseimbangan ekologis terjadi secara drastis sekaligus.
Ketiadaan tanaman bawah hutan dan berkurangnya variasi tumbuhan penyokong menyebabkan runtuhnya rantai makanan. Tumbuhan merupakan fondasi utama penyedia energi bagi herbivora, yang kemudian mendukung populasi predator. Ketika fondasi ini disederhanakan, seluruh jejaring ekologi ikut terpengaruh, mulai dari serangga polinator, burung pemakan buah, hingga predator besar yang membutuhkan ruang jelajah luas. Ekosistem monokultur pada dasarnya bersifat rapuh, tidak resilien, dan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan
Selain hilangnya struktur vegetasi, konsesi yang luas dan terfragmentasi ini juga memengaruhi pergerakan dan kelangsungan hidup satwa liar. Fragmentasi habitat memecah populasi menjadi kelompok-kelompok kecil yang terisolasi, menyebabkan berkurangnya keragaman genetik dan meningkatnya risiko kepunahan lokal. Foraging area yang terputus membuat satwa besar seperti kucing hutan, rusa, atau primata kehilangan jalur migrasinya. Sementara itu, spesies kecil seperti amfibi dan reptil semakin rentan terhadap perubahan suhu mikrohabitat dan kekeringan akibat tidak adanya peneduh alami.
Dampak ekologis yang sering kali terabaikan adalah hilangnya hutan adat yang selama ini menjadi sumber pengetahuan etnobiologi bagi masyarakat lokal. Kawasan hutan adat biasanya menjadi bank plasma nutfah, berisi tumbuhan obat, spesies endemik, serta organisme penting lainnya yang telah dikelola secara tradisional melalui praktik konservasi berbasis budaya. Ketika hutan adat digusur dan diganti pinus, bukan hanya biodiversitas yang hilang, tetapi juga pengetahuan lokal yang telah diwariskan selama ratusan tahun. Hilangnya hubungan masyarakat dengan hutan berarti hilangnya sistem pengelolaan alami yang terbukti berkelanjutan.
Dampak lain yang sangat krusial adalah perubahan sifat tanah akibat serasah pinus. Daun jarum pinus kaya senyawa fenolik dan bersifat asam, sehingga memerlukan waktu lama untuk terurai. Penumpukan serasah ini menyebabkan tanah menjadi lebih asam, menghambat aktivitas mikroorganisme tanah seperti bakteri dan jamur dekomposer. Mikroba inilah yang berperan penting dalam siklus nutrisi yang berakibat menguraikan serasah menjadi unsur hara yang dapat digunakan kembali oleh tumbuhan. Tanpa aktivitas mereka, tanah menjadi miskin nutrisi, tidak mampu mendukung keragaman tumbuhan asli, dan pada akhirnya bergantung pada input kimia seperti pupuk. Ketergantungan ini bukan hanya bertentangan dengan upaya konservasi, tetapi juga menciptakan biaya ekologis jangka panjang yang sulit diperbaiki.
Konsesi yang diberikan pada lahan seluas 100.000 hektare juga menunjukkan adanya ketimpangan dalam proses penilaian dampak lingkungan. Seharusnya, sebelum izin diberikan, analisis mengenai nilai biodiversitas, nilai sosial budaya hutan adat, hingga jasa ekosistem harus dilakukan secara mendalam. Jasa ekosistem seperti penyimpanan karbon, regulasi iklim mikro, filtrasi air, dan penahan erosi memiliki nilai ekonomi tinggi dan memberikan dampak ekologis jauh lebih besar daripada sekadar hasil kayu pinus industri. Ketika hutan alam digantikan monokultur, jasa-jasa ini hilang atau melemah secara signifikan.
Kehilangan biodiversitas akibat konversi hutan alam tidak dapat dipulihkan hanya dengan upaya reboisasi sederhana. Menanam kembali tidak sama dengan memulihkan ekosistem. Reboisasi yang hanya menanam bibit, apalagi spesies non-asli, tidak mengembalikan jaringan ekologi, tidak membangkitkan hubungan mutualistik antara tanaman dan mikroba tanah, dan tidak menciptakan kembali struktur hutan berlapis. Restorasi ekologis sejati harus berbasis spesies asli, memperhatikan pemulihan tanah, pola suksesi alami, ketersediaan habitat bagi satwa, dan keterlibatan masyarakat adat yang selama ini menjadi penjaga biodiversitas.
Oleh karena itu, PT THL perlu bertanggung jawab lebih dari sekadar memenuhi kewajiban administratif perizinan. Pemerintah juga perlu mempertimbangkan moratorium izin konversi hutan alam, khususnya di wilayah dengan nilai biodiversitas tinggi atau yang bersinggungan langsung dengan kawasan adat. Tanpa langkah tegas, kehilangan 100.000 hektare hutan bukan hanya tragedi ekologis masa kini, tetapi warisan kerusakan jangka panjang yang harus ditanggung generasi mendatang.
Pada akhirnya, transformasi kawasan hutan alam menjadi gurun hijau pinus adalah simbol kegagalan kita dalam menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dengan keberlanjutan ekologis. Kita mungkin dapat menebang, menanam ulang, atau memanen kayu, tetapi kita tidak dapat memulihkan ekosistem kompleks yang hilang. Hutan alam adalah sistem hidup yang berlapis, penuh interaksi, dan memiliki nilai ekologis jauh melampaui hasil industri. Ketika hutan hilang, kita kehilangan lebih dari sekadar pohon—we lose life, knowledge, and the ecological security of our future.

.jpg)






























0 Comments